Tampilkan postingan dengan label Fiqih. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiqih. Tampilkan semua postingan

Fiqh Puasa dan Keutamaannya

Fiqh Puasa dan Keutamaannya

DR Nasrul Syarif M.Si.

Penulis Buku Gizi Spiritual dan Buku Buatlah Tanda di Alam Semesta

Tsaqofatuna.id - Sobat. Sebentar lagi kita akan memasuki bulan suci Ramadhan, Maka sudah seharusnya kita belajar mengenai Fiqh Puasa Ramadhan. Syarat-syarat wajib puasa itu : Islam, Baligh, berakal sehat dan mampu berusaha.

Sebagaimana firman-Nya :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” ( QS. Al-Baqarah (2) : 183 )

Sobat. Para ulama banyak memberikan uraian tentang hikmah berpuasa, misalnya: untuk mempertinggi budi pekerti, menimbulkan kesadaran dan kasih sayang terhadap orang-orang miskin, orang-orang lemah yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, melatih jiwa dan jasmani, menambah kesehatan dan lain sebagainya.

Uraian seperti di atas tentu ada benarnya, walaupun tidak mudah dirasakan oleh setiap orang. Karena, lapar, haus dan lain-lain akibat berpuasa tidak selalu mengingatkan kepada penderitaan orang lain, malah bisa mendorongnya untuk mencari dan mempersiapkan bermacam-macam makanan pada siang hari untuk melepaskan lapar dan dahaganya di kala berbuka pada malam harinya.

Begitu juga tidak akan mudah dirasakan oleh setiap orang berpuasa, bahwa puasa itu membantu kesehatan, walaupun para dokter telah memberikan penjelasan secara ilmiah, bahwa berpuasa memang benar-benar dapat menyembuhkan sebagian penyakit, tetapi ada pula penyakit yang tidak membolehkan berpuasa. Kalau diperhatikan perintah berpuasa bulan Ramadan ini, maka pada permulaan ayat 183 secara langsung Allah menunjukkan perintah wajib itu kepada orang yang beriman.

Orang yang beriman akan patuh melaksanakan perintah berpuasa dengan sepenuh hati, karena ia merasa kebutuhan jasmaniah dan rohaniah adalah dua unsur yang pokok bagi kehidupan manusia yang harus dikembangkan dengan bermacam-macam latihan, agar dapat dimanfaatkan untuk ketenteraman hidup yang bahagia di dunia dan akhirat.

Pada ayat 183 ini Allah mewajibkan puasa kepada semua manusia yang beriman, sebagaimana diwajibkan kepada umat-umat sebelum mereka agar mereka menjadi orang yang bertakwa. Jadi, puasa sungguh penting bagi kehidupan orang yang beriman. Kalau kita selidiki macam-macam agama dan kepercayaan pada masa sekarang ini, dijumpai bahwa puasa salah satu ajaran yang umum untuk menahan hawa nafsu dan lain sebagainya.

Perintah berpuasa diturunkan pada bulan Sya'ban tahun kedua Hijri, ketika Nabi Muhammad saw mulai membangun pemerintahan yang berwibawa dan mengatur masyarakat baru, maka dapat dirasakan, bahwa puasa itu sangat penting artinya dalam membentuk manusia yang dapat menerima dan melaksanakan tugas-tugas besar dan suci.

أَيَّامٗا مَّعۡدُودَٰتٖۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدۡيَةٞ طَعَامُ مِسۡكِينٖۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيۡرٗا فَهُوَ خَيۡرٞ لَّهُۥۚ وَأَن تَصُومُواْ خَيۡرٞ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ

“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” ( QS. Al-Baqarah (2) : 184 )

Sobat. Ayat 184 dan permulaan ayat 185, menerangkan bahwa puasa yang diwajibkan ada beberapa hari yaitu pada bulan Ramadan menurut jumlah hari bulan Ramadan (29 atau 30 hari). Nabi Besar Muhammad saw semenjak turunnya perintah puasa sampai wafatnya, beliau selalu berpuasa di bulan Ramadan selama 29 hari, kecuali satu kali saja bulan Ramadan genap 30 hari.

Sekalipun Allah telah mewajibkan puasa pada bulan Ramadan kepada semua orang yang beriman, namun Allah yang Mahabijaksana memberikan keringanan kepada orang-orang yang sakit dan musafir, untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadan dan menggantinya pada hari-hari lain di luar bulan tersebut. Pada ayat tersebut tidak dirinci jenis/sifat batasan dan kadar sakit dan musafir itu, sehingga para ulama memberikan hasil ijtihadnya masing-masing antara lain sebagai berikut:

1. Dibolehkan tidak berpuasa bagi orang yang sakit atau musafir tanpa membedakan sakitnya itu berat atau ringan, demikian pula perjalanannya jauh atau dekat, sesuai dengan bunyi ayat ini. Pendapat ini dipelopori oleh Ibnu Sirin dan Dawud az-Zahiri.

2. Dibolehkan tidak berpuasa bagi setiap orang yang sakit yang benar-benar merasa kesukaran berpuasa, karena sakitnya. Ukuran kesukaran itu diserahkan kepada rasa tanggung jawab dan keimanan masing-masing. Pendapat ini dipelopori oleh sebagian ulama tafsir.

3. Dibolehkan tidak berpuasa bagi orang yang sakit atau musafir dengan ketentuan-ketentuan, apabila sakit itu berat dan akan mempengaruhi keselamatan jiwa atau keselamatan sebagian anggota tubuhnya atau menambah sakitnya bila ia berpuasa. Juga bagi orang-orang yang musafir, apabila perjalanannya itu dalam jarak jauh, yang ukurannya paling sedikit 16 farsakh (kurang lebih 80 km).

4. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai perjalanan musafir, apakah dengan berjalan kaki, atau dengan apa saja, asalkan tidak untuk mengerjakan perbuatan maksiat. Sesudah itu Allah menerangkan pada pertengahan ayat 184 yang terjemahannya, "Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan orang miskin."

Menurut ayat itu (184), siapa yang benar-benar merasa berat menjalankan puasa, ia boleh menggantinya dengan fidyah, walaupun ia tidak sakit dan tidak musafir.

Termasuk orang-orang yang berat mengerjakan puasa itu ialah:

a. Orang tua yang tidak mampu berpuasa, bila ia tidak berpuasa diganti dengan fidyah.

b. Wanita hamil dan yang sedang menyusui. Menurut Imam Syafi'i dan Ahmad, bila wanita hamil dan wanita yang sedang menyusui khawatir akan terganggu kesehatan janin/bayinya, lalu mereka tidak puasa, maka wajib atas keduanya mengqada puasa yang ditinggalkannya, dan membayar fidyah. Bila mereka khawatir atas kesehatan diri mereka saja yang terganggu dan tidak khawatir atas kesehatan janin/bayinya, atau mereka khawatir atas kesehatan dirinya dan janin/bayinya, lalu mereka tidak puasa, maka wajib atas mereka diqada puasa saja. Sedangkan menurut Abu Hanifah, ibu hamil dan yang sedang menyusui dalam semua hal yang disebutkan di atas, cukup mengqada puasa saja.

c. Orang-orang sakit yang tidak sanggup berpuasa dan penyakitnya tidak ada harapan akan sembuh, hanya diwajibkan membayar fidyah.

d. Mengenai buruh dan petani yang penghidupannya hanya dari hasil kerja keras dan membanting tulang setiap hari, dalam hal ini ulama fikih mengemukakan pendapat sebagai berikut:

1) Ibnu Hajar dan Imam al-Azra'i telah memberi fatwa, "Sesungguhnya wajib bagi orang-orang pengetam padi dan sebagainya dan yang serupa dengan mereka, berniat puasa setiap malam Ramadan. Apabila pada siang harinya ia ternyata mengalami kesukaran atau penderitaan yang berat, maka ia boleh berbuka puasa. Kalau tidak demikian, ia tidak boleh berbuka. )

2) Kalau seseorang yang pencariannya tergantung kepada suatu pekerjaan berat untuk menutupi kebutuhan hidupnya atau kebutuhan hidup orang-orang yang harus dibiayainya dimana ia tidak tahan berpuasa maka ia boleh berbuka pada waktu itu," (dengan arti ia harus berpuasa sejak pagi).

Akhir ayat 184 menjelaskan orang yang dengan rela hati mengerjakan kebajikan dengan membayar fidyah lebih dari ukurannya atau memberi makan lebih dari seorang miskin, maka perbuatan itu baik baginya. Sesudah itu Allah menutup ayat ini dengan menekankan bahwa berpuasa lebih baik daripada tidak berpuasa.

Sobat. Hal-hal yang di fardhukan dalam puasa ada empat, yakni : 1. Berniat. 2. Menahan diri dari makan dan minuman serta yang membatalkan puasa.3. Menjauhi hubungan suami isteri ( bersanggama ). 4. Menghindari muntah dengan sengaja.

Niat puasa harus dilakukan sebelum terbit fajar untuk setiap harinya. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW :

“ Barangsiapa tidak meniatkan puasanya pada malam hari sebelum fajar terbit, maka tiada sah puasa itu baginya.”( HR ad-Darquthni dan yang lain )

Adapun hal-hal yang membatalkan puasa menurut Fiqh Madzhab Syafií ada sepuluh perkara :

1. Sengaja melakukan sesuatu ke dalam rongga badan.

2. Sengaja memasukkan sesuatu ke dalam kepala.

3. Memasukkan obat melalui salah satu dari dua jalan yakni kelamin (qubul) dan anus (dubur).

4. Sengaja memuntahkan diri.

5. Berhubungan seksual.

6. Keluarnya mani’ (Sperma) yang muncul karena cumbu rayu seperti meraba, mencium, dan lain-lain.

7. Haid

8. Nifas

9. Gila

10. Murtad.

Ada tiga hal yang disunnahkan dalam puasa yakni : Segera berbuka, mengakhiri makan sahur dan menjauhi perkataan yang buruk. Rasulullah SAW bersabda, “ Orang-orang yang sedang berpuasa senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka bersegera dalam berbuka puasa dan mengakhirkan makan sahur.” ( HR. Ahmad )

Sebaiknya orang yang sedang berpuasa berbuka dengan beberapa butir kurma atau minum seteguk air. Kemudian ia menunaikan sholat maghrib, dan jika mau, ia boleh langsung makan ( Setelah sholat ).

Dan , cara mengakhirkan sahur adalah : Hendaknya ia memperkirakan bahwa akhir dari aktivitas makan dan minumnya dapat diselesaikan sesaat sebelum terbit fajar.

Adapun puasa yang diharamkan untuk dilakukan pada lima hari berikut ini : dua hari raya ( Idul Fitri dan Idul adha ) dan tiga hari tasyriq yaitu tanggal 11,12, dan 13 Dzulhijjah.

Sobat. Adapun keutamaan bulan Ramadahan disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya :

شَهۡرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِيٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلۡقُرۡءَانُ هُدٗى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٖ مِّنَ ٱلۡهُدَىٰ وَٱلۡفُرۡقَانِۚ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهۡرَ فَلۡيَصُمۡهُۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۗ يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ وَلِتُكۡمِلُواْ ٱلۡعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمۡ وَلَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” ( QS. Al-Baqarah (2) : 185)

Sobat. Ayat ini menerangkan bahwa pada bulan Ramadan, Al-Qur'an diwahyukan. Berkaitan dengan peristiwa penting ini, ada beberapa informasi Al-Qur'an yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk menetapkan waktu pewahyuan ini. Ayat-ayat itu antara lain surah al-Qadar/97: 1, ayat ini mengisyaratkan bahwa Al-Qur'an diwahyukan pada malam yang penuh dengan kemuliaan atau malam qadar. Surah ad-Dukhan/44: 3, ayat ini mengisyaratkan bahwa Al-Qur'an diturunkan pada malam yang diberkahi. Surah al-Anfal/8: 41, ayat ini mengisyaratkan bahwa Al-Qur'an itu diturunkan bertepatan dengan terjadinya pertemuan antara dua pasukan, yaitu pasukan Islam yang dipimpin Nabi Muhammad dengan tentara Quraisy yang dikomandani oleh Abu Jahal, pada perang Badar yang terjadi pada tanggal 17 Ramadan.

Dari beberapa informasi Al-Qur'an ini, para ulama menetapkan bahwa Al-Qur'an diwahyukan pertama kali pada malam qadar, yaitu malam yang penuh kemuliaan, yang juga merupakan malam penuh berkah, dan ini terjadi pada tanggal 17 Ramadan, bertepatan dengan bertemu dan pecahnya perang antara pasukan Islam dan tentara kafir Quraisy di Badar, yang pada saat turun wahyu itu Muhammad berusia 40 tahun.

Selanjutnya peristiwa penting ini ditetapkan sebagai turunnya wahyu yang pertama dan selalu diperingati umat Islam setiap tahun di seluruh dunia.

Berkenaan dengan malam qadar, terdapat perbedaan penetapannya, sebagai saat pertama diturunkannya Al-Qur'an, dan malam qadar yang dianjurkan Nabi Muhammad kepada umat Islam untuk mendapatkannya. Yang pertama ditetapkan terjadinya pada tanggal 17 Ramadan, yang hanya sekali terjadi dan tidak akan terulang lagi. Sedangkan yang kedua, sesuai dengan hadis Nabi, terjadi pada sepuluh hari terakhir Ramadan, bahkan lebih ditegaskan pada malam yang ganjil. Malam qadar ini dapat terjadi setiap tahun, sehingga kita selalu dianjurkan untuk mendapatkannya dengan persiapan yang total yaitu dengan banyak melaksanakan ibadah sunah pada sepuluh hari terakhir Ramadhan.

Ayat ini juga menjelaskan puasa yang diwajibkan ialah pada bulan Ramadan. Untuk mengetahui awal dan akhir bulan Ramadan Rasulullah saw telah bersabda:

Berpuasalah kamu karena melihat bulan (Ramadan) dan berbukalah kamu, karena melihat bulan (Syawal), apabila tertutup bagi kamu, (dalam satu) riwayat mengatakan: Apabila tertutup bagi kamu disebabkan cuaca yang berawan), maka sempurnakanlah bulan Sya'ban tiga puluh hari (dan dalam satu riwayat Muslim "takdirkanlah" atau hitunglah bulan Sya'ban tiga puluh hari). (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Mengenai situasi bulan yang tertutup baik karena keadaan cuaca, atau memang karena menurut hitungan falakiyah belum bisa dilihat pada tanggal 29 malam 30 Sya'ban, atau pada tanggal 29 malam 30 Ramadan, berlaku ketentuan sebagai berikut: Siapa yang melihat bulan Ramadan pada tanggal 29 masuk malam 30 bulan Sya'ban, atau ada orang yang melihat bulan, yang dapat dipercayai, maka ia wajib berpuasa keesokan harinya. Kalau tidak ada terlihat bulan, maka ia harus menyempurnakan bulan Sya'ban 30 hari. Begitu juga siapa yang melihat bulan Syawal pada tanggal 29 malam 30 Ramadan, atau ada yang melihat, yang dapat dipercayainya, maka ia wajib berbuka besok harinya. Apabila ia tidak melihat bulan pada malam itu, maka ia harus menyempurnakan puasa 30 hari.

Dalam hal penetapan permulaan hari puasa Ramadan dan hari raya Syawal agar dipercayakan kepada Imam ( Khalifah/Amirul mukminin ), sehingga kalau ada perbedaan pendapat bisa dihilangkan dengan satu keputusan pemerintah, sesuai dengan kaidah yang berlaku:

أمر الامام يرفع الخلاف

"Putusan Imam (khalifah) itu menghilangkan perbedaan pendapat (di kalangan fukoha )."

Orang yang tidak dapat melihat bulan pada bulan Ramadan seperti penduduk yang berada di daerah kutub utara atau selatan di mana terdapat enam bulan malam di kutub utara dan enam bulan siang di kutub selatan, maka hukumnya disesuaikan dengan daerah tempat turunnya wahyu yaitu Mekah dimana daerah tersebut dianggap daerah mu'tadilah (daerah sedang atau pertengahan) atau diperhitungkan kepada tempat yang terdekat dengan daerah kutub utara dan kutub selatan.

Pada ayat 185 ini, Allah memperkuat ayat 184, bahwa walaupun berpuasa diwajibkan, tetapi diberi kelonggaran bagi orang-orang yang sakit dan musafir untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadan dan menggantikannya pada hari-hari lain. Pada penutup ayat ini Allah menekankan agar disempurnakan bilangan puasa dan menyuruh bertakbir serta bersyukur kepada Allah atas segala petunjuk yang diberikan.

Rasulullah SAW bersabda, " Sesungguhnya orang-orang yang berpuasa itu memiliki pintu khusus di surga yang disebut dengan Ar-Rayyan, dari pintu inilah orang-orang yang berpuasa akan memasukinya dan tiada seorang pun selainmereka yang dapat memasuki pintu tersebut. Ketika ditanya pada hari kiamat, "Dimanakah orang-orang yang berpuasa?" Mereka pun berdiri dan memasuki pintu tersebut. ketika mereka telah masuk, maka pintu itupun tertutup sehingga tidak dapat dimasuki oleh seorang pun selain mereka."

Hadiah

Hadiah

Oleh: Yahya Abdurrahman

Tsaqofatuna.id- Hadiah (hadiyyah) berasal dari kata hadâ wa ahdâ. Bentuk pluralnya hadâyâ atau hadâwâ menurut bahasa penduduk Madinah. Hadiah secara bahasa berarti sesuatu yang Anda berikan (mâ athafa bihi).1 Pengertian ini belum cukup karena tidak semua pemberian merupakan hadiah. Pemberian itu bisa berupa sedekah, wakaf, hibah, pinjaman ataupun wasiat.

Secara istilah, dalam al-Qâmûs al-Fiqhî dinyatakan, menurut ulama Syafiiyah, Hanabilah, Hanafiyah dan Malikiyah, hadiah adalah tamlîku ’ayn bi lâ ’iwadh ikrâm[an] ilâ al-muhdâ ilayh (pemindahan pemilikan suatu harta tanpa kompensasi sebagai penghormatan kepada orang yang diberi hadiah).2 Dalam Mu’jam Lughah al-Fukahâ’, hadiah adalah al-’athiyah bi lâ ’iwadh ikrâman (pemberian tanpa kompensasi sebagai suatu penghormatan). Hadiah juga bermakna i’thâ’ syay’[in] bighayr ‘iwadh shilat[an] wa taqarrub[an] wa ikrâm[an] (pemberian sesuatu tanpa kompensasi karena adanya hubungan, untuk menjalin kedekatan dan sebagai bentuk penghormatan).3

Yang jelas, hadiah merupakan pemindahan pemilikan atas suatu harta dan bukan hanya manfaatnya. Kalau yang diberikan adalah manfaatnya sementara zatnya tidak maka itu merupakan pinjaman (i’ârah). Karenanya hadiah haruslah merupakan tamlîkan li al-’ayn (pemindahan/penyerahan pemilikan atas suatu harta kepada pihak lain). Penyerahan pemilikan itu harus dilakukan semasa masih hidup karena jika sesudah mati maka merupakan wasiat. Di samping itu penyerahan pemilikan yang merupakan hadiah itu harus tanpa kompensasi (tamlîkan li al-’ayn bi lâ ’iwadh), karena jika dengan kompensasi maka bukan hadiah melainkan jual-beli (al-bay’).

Pengertian itu belum spesifik menunjuk hadiah. Menurut para ulama, tamlîkan li al-’ayn itsnâ’ al-hayah bi lâ ’iwadh ini merupakan hibah, sementara hibah itu mencakup tiga macam: hibah dalam arti khusus, sedekah dan hadiah. Imam an-Nawawi mengatakan:4

Imam Syafii membagi tabarru‘ât (pemberian) seseorang kepada yang lain menjadi dua bagian: yang dikaitkan dengan kematian dan itu adalah wasiat; yang dilakukan saat masih hidup. Pemberian saat masih hidup ini ada dua bentuk: murni pemindahan pemilikan seperti hibah, sedekah dan wakaf. Yang murni pemindahan pemilikan itu ada tiga macam: hibah, sedekah sunah dan hadiah. Jalan untuk menentukannya adalah kita katakan pemindahan pemilikan tanpa kompensasi (tamlîk bi lâ ‘iwadh), jika ditambah (adanya) pemindahan sesuatu yang dihibahkan dari suatu tempat ke tempat orang yang diberi hibah (dimana pemberian itu) sebagai penghormatan (ikrâman) maka itu adalah hadiah. Jika ditambah bahwa pemindahan pemilikan itu ditujukan kepada orang yang membutuhkan, sebagai suatu taqarrub kepada Allah dan untuk meraih pahala akhirat maka itu adalah sedekah.

Perbedaan hadiah dari hibah adalah dipindahkannya sesuatu yang dihibahkan dari suatu tempat ke tempat lain. Karena itu, lafal hadiah tidak bisa digunakan dalam hal property. Dengan demikian, tidak dikatakan, “Saya menghadiahkan rumah atau tanah.” Akan tetapi, hadiah itu digunakan dalam hal harta bergerak yang bisa dipindah-pindahkan seperti pakaian, hamba sahaya, dsb. Walhasil, dari macam-macam itu bisa dibedakan antara yang umum dan yang khusus. Jadi semua hadiah dan sedekah merupakan hibah, tetapi tidak sebaliknya.

Ketentuan Tentang Hadiah

Hadiah sebagai bagian dari hibah kehendaknya bisa datang dari satu pihak saja, yaitu dari pihak pemberi hadiah. Namun, para fukaha tetap mengklasifikasikan hibah, termasuk di dalamnya hadiah, sebagai akad. Hal itu karena meski kehendaknya bisa dari satu pihak saja, namun jika penerima hibah atau penerima hadiah itu menolaknya maka hibah atau hadiah itu tidak sempurna.

Sebagai sebuah akad, hadiah memiliki tiga rukun. Pertama, adanya al-‘âqidân, yaitu pihak pemberi hadiah (al-muhdî) dan pihak yang diberi hadiah (al-muhdâ ilayh). Al-Muhdî haruslah orang yang layak melakukan tasharruf, pemilik harta yang dihadiahkan dan tidak dipaksa. Al-Muhdâ ilayh disyaratkan harus benar-benar ada saat akad. Ia tidak harus orang yang layak melakukan tasharruf saat akad hadiah itu. Jika al-muhdâ ilayh masih kecil atau gila maka penerimaan hadiah diwakili oleh wali atau mushi-nya.

Kedua, adanya ijab dan qabul. Hanya saja, dalam hal ini tidak harus dalam bentuk redaksi (shighat) lafzhiyah. Hal itu karena pada masa Nabi saw., hadiah dikirimkan kepada Beliau dan Beliau menerimanya, juga Beliau mengirimkan hadiah tanpa redaksi lafzhiyah. Fakta seperti itu menjadi fakta umum pada masa itu dan setelahnya.

Akad hadiah merupakan al-‘aqd al-munjiz, yaitu tidak boleh berupa al-‘aqd al-mu’alaq (akad yang dikaitkan dengan suatu syarat) dan tidak boleh berupa al-‘aqd al-mudhâf (akad yang disandarkan pada waktu yang akan datang). Contoh al-‘aqd al-mu’alaq, jika seseorang berkata, “Saya menghadiahkan satu juta kepada Anda jika Anda pergi ke Bandung.” Akad hadiah ini tidak sah. Contoh al-‘aqd al-mudhâf, jika dikatakan, “Saya menghadiahkan sepeda ini kepada Anda mulai bulan depan.” Akad ini juga tidak sah. Sebagai al-‘aqd al-munjiz, implikasi akad hadiah itu langsung berlaku begitu sempurna akadnya dan terjadi al-qabdh. Artinya, al-muhdâ (hadiah) itu telah sah dimiliki oleh orang yang diberi hadiah.

Ketiga, harta yang dihadiahkan (al-muhdâ). Al-Muhdâ (barang yang dihadiahkan) disyaratkan harus jelas (ma‘lûm), harus milik al-muhdî (pemberi hadiah), halal diperjualbelikan dan berada di tangan al-muhdî atau bisa ia serah terimakan saat akad. Menurut Imam Syafii dan banyak ulama Syafiiyah, barang itu haruslah barang bergerak, yaitu harus bisa dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain. Hal itu karena seperti itulah yang berlangsung pada masa Nabi saw, disamping tidak ada riwayat yang menjelaskan adanya hadiah berupa rumah, tanah, dsb itu pada masa Nabi saw. dan para Sahabat.

Di samping ketiga rukun itu ada syarat yang harus terpenuhi sehingga hadiah itu sempurna, yaitu harus ada al-qabdh (serah terima), yakni secara real harus ada penyerahan al-muhdâ kepada al-muhdâ ilayh. Jika tidak ada ijab qabul secara lafzhiyah maka adanya al-qabdh ini sudah dianggap cukup menunjukkan adanya pemindahan pemilihan itu. Penyerahan harta itu dianggap merupakan ijab dan penerimaan hadiah oleh al-muhdâ ilayh merupakan qabulnya. Untuk barang yang standarnya dengan dihitung, ditakar atau ditimbang (al-ma’dûd wa al-makîl wa al-mawzûn) maka zat barang itu sendiri yang harus diserahterimakan.

Adapun harta selain al-ma’dûd wa al-makîl wa al-mawzûn seperti pakaian, hewan, kendaraan, barang elektronik, dsb maka yang penting ada penyerahan pemilikan atas barang itu kepada al-muhdâ ilayh dan qabdh-nya cukup dengan menggesernya atau jika hewan dengan melangkahkannya, atau semisalnya.

Hukum Memberi Hadiah

Memberi hadiah hukumnya sunnah. Abu Hurairah berkata, Nabi saw. bersabda:

تَهَادَوْا تَحَبُّوْا

Saling memberi hadiahlah kalian niscaya kalian saling mencintai (HR al-Bukhari, al-Baihaqi dan Abu Ya‘la).5

Bahkan Nabi saw. mendorong untuk memberi hadiah meski nilainya secara nominal kecil:

يَا نِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ لاَ تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ

Hai para Muslimah, janganlah seorang wanita merasa hina (memberi hadiah) kapada wanita tetangganya meski hanya tungkai (kuku) kambing. (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi dan Ahmad).

Sebaliknya, Nabi saw. melarang untuk menolak hadiah:

اَجِيْبُوْا الدَّاعِيَ وَلاَ تَرُدُّوْا الْهَدِيَّةَ وَلاَ تَضْرِبُوْا الْمُسْلِمِيْنَ

Penuhilah (undangan) orang yang mengundang, jangan kalian tolak hadiah dan jangan kalian memukul kaum Muslim. (HR al-Bukhari Ahmad, Abu Ya‘la dan Ibn Abi Syaibah).

Jika seseorang diberi hadiah dan tidak ada halangan syar‘i untuk menerimanya maka hendaknya ia menerimanya. Jika seseorang menolak hadiah kepadanya maka hendaknya menjelaskan alasannya untuk menghilangkan perasaan buruk di hati si pemberi. Hal itu seperti riwayat Sha’b ibn Jatstsamah bahwa ia menghadiahkan seekor keledai liar kepada Nabi saw. saat Beliau berada di Abwa atau Wadan, tetapi Beliau menolaknya. Lalu Beliau menjelaskan alasan penolakannya. Beliau bersabda, “Sesungguhnya aku tidak menolak hadiahmu kecuali karena aku sedang berihram.” (HR al-Bukhari).

Boleh menerima hadiah dari orang kafir, karena dalam Shahîh al-Bukhârî diriwayatkan Nabi saw. pernah menerima hadiah dari Heraklius, Muqauqis, Ukaidir Dumatul Jandal, dan Raja Ailah. Beliau pun menerima hadiah dari orang kafir lainnya. Begitu pula boleh memberi hadiah kepada orang kafir selama orang itu bukan kafir harbi fi‘l[an],6 atau selama hadiah itu tidak membuat orang kafir bertambah kuat atau menjadi berani menyerang kaum Muslim.

Jika seseorang mendapat hadiah dan ia memiliki kelapangan maka disunahkan untuk membalasnya. Jika tidak, setidaknya memuji dan mendoakan pemberi hadiah. Jabir ra. menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

مَنْ أُعْطِيَ عَطَاءً فَوَجَدَ فَلْيَجْزِ بِهِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُثْنِ بِهِ فَمَنْ أَثْنَى بِهِ فَقَدْ شَكَرَهُ وَمَنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ

Siapa yang diberi sesuatu lalu ia memiliki kelapangan harta, hendaklah ia membalasnya; jika ia tidak memiliki kelapangan harta, hendaknya ia memuji (mendoakan)-nya. (HR Abu Dawud, Tirmidzi, al-Baihaqi).

Dalam riwayat at-Tirmidzi dari Usamah bin Zaid, pujian (doa) yang paling baik untuk itu adalah dengan mengatakan, “Jazâkallâh khayr[an] (Semoga Allah membalasmu dengan yang lebih baik).”

Sekalipun diperintahkan untuk menerima hadiah dan dilarang menolaknya, ada beberapa macam hadiah yang justru tidak boleh (haram) diterima, di antaranya: Pertama, hadiah kepada penguasa, pejabat atau pegawai negara. Abu Humaid as-Sa’idi menuturkan bahwa Nabi saw. pernah mengangkat seseorang dari Bani Azad yang bernama Ibn al-Utbiyah (Ibn al-Lutbiyah) sebagai amil pemungut zakat, lalu ia kembali dan mengatakan, “Ya Rasul, ini untuk Anda dan ini dihadiahkan untuk saya.”

Nabi saw. lalu berpidato, “Tidak pantas seorang petugas yang kami utus lalu datang dan berkata, “Ini untuk Anda dan ini dihadiahkan untuk saya.” Mengapa ia tidak duduk saja di rumah bapak dan ibunya lalu memperhatikan apakah itu dihadiahkan kepadanya atau tidak. Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah ia datang membawa pemberian itu, kecuali ia pasti datang pada Hari Kiamat kelak memanggul barang itu di pundaknya.” (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad dan Abu Dawud).

Hadis ini menunjukkan hadiah itu datang karena jabatan, kedudukan atau tugasnya.

Kedua, hadiah yang diberikan karena adanya akad al-qardh (utang). Anas ra. menuturkan, Nabi saw. pernah bersabda:

إِذَا أَقْرَضَ أَحَدُكُمْ قَرْضًا فَأَهْدَى لَهُ أَوْ حَمَلَهُ عَلَى الدَّابَّةِ فَلاَ يَرْكَبْهَا وَلاَ يَقْبَلْهُ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ جَرَى بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ قَبْلَ ذَلِكَ

Jika salah seorang di antara kalian mengutangi suatu utang lalu yang berutang memberinya hadiah atau membawanya di atas hewan tunggangan maka jangan ia menaikinya dan jangan menerima hadiah itu, kecuali yang demikian itu biasa terjadi di antara keduanya sebelum utang-piutang itu. (HR Ibn Majah).

Ketiga, hadiah yang diberikan agar suatu kemungkaran dibiarkan atau agar penerima hadiah mengendurkan aktivitas amar makruf nahi mungkar atau yang semisalnya. Hadiah yang dimaksudkan untuk membatalkan yang hak dan mengokohkan yang batil, termasuk hadiah agar yang haq tidak disuarakan dan agar yang batil dibiarkan atau tidak dikritik, tidak boleh diterima.

Apalagi hadiah yang diberikan agar kebatilan disuarakan dan disebarkan, atau agar kemungkaran diperintahkan, tentu lebih tidak boleh lagi diterima; termasuk di dalamnya hadiah dari negara atau lembaga asing untuk penyebaran ide selain Islam seperti demokrasi, HAM, pluralisme, liberalisme, dsb; atau hadiah agar ide-ide tidak islami seperti itu dibiarkan. Masih ada beberapa macam hadiah yang tidak boleh diterima.7 Hal itu bisa kita lihat dalam penjelasan para ulama dalam kitab-kitab mereka. Wallâh a‘lam wa ahkam.

Catatan kaki:

2 Al-Qâmûs al-Fiqhî, 1/367, CD Maktabah Syamilah ishdar ats-tsaniy.

3 Mu’jam Lughah al-Fukahâ’, 1/493, CD Maktabah Syamilah ishdar ats-tsaniy.

4 An-Nawawi, Rawdhah ath-Thâlibîn wa ‘Umdah al-Muftîn, V/364-365, al-Maktab al-Islami, Beirut, cet. ii. 1405

5 Al-Bukhari, al-Adab al-Mufrad; al-Baihaqi, Syu’ab al-خmân, Abu Ya’la, Musnad Abiy Ya’lâ. Al-Hafizh Ibn Hajar berkata: isnadnya hasan.

6 Lihat QS. Mumtahanah [6]: 8-9

7 Tentang undian lihat al-Wa’ie no. 38.

Sumber:

tsaqofah.id

Baiat Untuk Masuk Organisasi, Adakah?

Baiat Untuk Masuk Organisasi, Adakah?

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Tanya : Bismillah. Kyai, apa pendapat Kyai tentang seorang ustadz muda dibaiat masuk ke dalam organisasi yang selama ini selalu menjegal kegiatannya. Apakah benar bersumpah seperti itu? (Hamba Allah, Bandung).

Jawab:
Bai’at dalam pengertian syariahnya, hanyalah untuk Imam atau Khalifah, yaitu pemimpin tertinggi (al-ra`īs al-a’lā) dalam negara Khilafah, bukan untuk pemimpin sebuah organisasi atau kelompok tertentu. Dengan demikian, menggunakan istilah baiat untuk proses masuknya seseorang ke dalam suatu organisasi, merupakan penyalahgunaan istilah syariah yang tidak pada tempatnya. Kecuali jika baiat yang dimaksudkan bukan dalam pengertian syariahnya (makna syar’i), melainkan dalam pengertian bahasanya (makna etimologi/al-ma’na al-lughawi), yaitu baiat dalam arti janji (wa’ad) atau sumpah (qasam) seseorang untuk mentaati pemimpin suatu organisasi atau kelompok tertentu. Baiat dalam makna lughawi (makna secara etimologis) ini, biasanya berupa janji (al-wa’ad) atau sumpah (al-qasam/al-yamīn/al-ḥalfu) dari seseorang kepada pimpinan (atau wakilnya) dari sebuah organisasi atau jamaah Islami. Hukum berjanji atau bersumpah ini secara syariah diperbolehkan (mubāh), selama apa yang menjadi objek janji atau objek qasam, bukan suatu aktivitas yang bersifat maksiat atau dosa. Misalnya bersumpah akan memperjuangkan Islam, bersumpah untuk berjihad fi sabilillah melawan kafir penjajah, bersumpah untuk melanjutkan kehidupan Islam, bersumpah untuk menghancurkan Israel, dan sebagainya.

Baiat dalam makna bahasanya ini, jelas bukan baiat dalam makna syar’i sebagaimana yang terdapat dalam hadits-hadits Nabi SAW, yaitu suatu perjanjian atau akad antara umat dengan Khalifah, dalam negara Khilafah, misalnya sabda Nabi SAW :
وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً (1851) “Barangsiapa yang mati padahal di lehernya tidak ada baiat (kepada Imam/Khalifah), maka matinya adalah mati secara jahiliyah (mati dengan membawa dosa, bukan mati kafir).” (HR Muslim, no. 1851). Untuk mendalami persoalan baiat ini lebih jauh, kita perlu mengkaji seputar baiat ini dalam beberapa poin berikut ini :
( 1 ) Makna Lughawi dan Makna Syar’i dari Baiat
( 2 ) Hukum Baiat
( 3 ) Dua Macam Baiat : Baiat In’iqad dan Baiat Taat
( 4 ) Rukun-Rukun dan Syarat-Syarat Baiat
( 5 ) Baiat Dalam Kondisi Tiadanya Khilafah
( 6 ) Baiat dalam Makna Lughawinya (Janji/Sumpah).

Makna Lughawi dan Makna Syar’i dari Baiat Baiat menurut makna bahasanya (ma’na lughawi / makna etimologi) ada beberapa makna, antara lain: Pertama, baiat bermakna (اَلْمُبَايَعَةُ عَلىَ الطَّاعَةِ) “al-mubāya’ah ‘alā at-thā’ah” (saling berjanji untuk mentaati). Kedua, baiat bermakna (اَلصَّفْقَةُ مِنْ صَفَقَاتِ الْبَيْعِ) “ash-shafqah min shafaqāt al-bai’“ (sebuah kesepakatan di antara kesepakatan-kesepakatan berjual beli). (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 9/274).

Adapun makna syar’ i dari baiat, yang dirumuskan dari berbagai hadits Nabi SAW mengenai baiat, ada beberapa definisi, namun maknanya sama, yaitu baiat adalah perjanjian antara umat Islam dengan penguasa muslim, yaitu Imam atau Khalifah, dengan konsekuensi berupa kewajiban tertentu bagi masing-masing pihak.

Bagi pihak penguasa (Imam/Khalifah), baiat ini berkonsekuensi adanya kewajiban untuk menerapkan hukum-hukum Islam atas umat Islam dalam segala aspek kehidupan. Sedang bagi umat Islam, baiat ini berkonsekuensi adanya kewajiban untuk mentaati penguasa tersebut, selama penguasa tidak memerintahkan sesuatu yang bersifat maksiat (melakukan keharaman atau meninggalkan kewajiban). Inilah definisi baiat dalam pengertian syariahnya, yaitu perjanjian antara umat Islam dengan Imam (Khalifah) dalam negara Khilafah, bukan perjanjian seseorang untuk masuk ke dalam sebuah organisasi atau jamaah Islami. Definisi syar’i dari baiat inilah yang dijelaskan oleh Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah sebagai berikut :
إِنَّ البَيْعَةَ هِيَ العَهْدُ عَلَى الطّاعَةِ ، كَأَنَّ اَلْمُبايِعَ يُعاهِدُ أَميرَهُ عَلَى أَنْ يُسَلِّمَ لَهُ النَّظَرَ فِي أَمْرِ نَفْسِهِ ، وَأُمورِ المُسْلِمِيْنَ ، لَا يُنَازِعُهُ فِي شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ وَيُطيْعُهُ فِيمَا يُكَلِّفُهُ بِهِ مِنْ الأَمْرِ عَلَى المَنْشَطِ وَاَلْمَكْرَهِ .مقدمة ابن خلدون، ج 2
ص 549 “Sesungguhnya pengertian baiat adalah janji untuk mentaati, seakan-akan pihak yang membaiat itu berjanji kepada pemimpinnya untuk menyerahkan urusan dirinya dan urusan kaum muslimin kepada pemimpin tersebut, serta berjanji untuk tidak membangkang kepadanya dalam urusan itu, dan berjanji untuk mentaati pemimpin itu pada segala perkara yang dibebankan pemimpin itu baik pada hal yang menyenangkan maupun pada hal yang dibenci.” (Muqaddimah Ibnu Khaldûn, 2/549). Berdasarkan definisi baiat dalam kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun (2/549) tersebut, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan baiat menurut makna syariahnya adalah :

البَيْعَةُ هِيَ عَهْدٌ بَيْنَ الأُمَّةِ وَالحَاكِمِ عَلَى الحُكْمِ بِالشَّرْعِ وَطاعَتِهِمْ لَهُ “Baiat adalah perjanjian antara umat dan penguasa untuk menerapkan hukum berdasarkan Syariah Islam dan untuk mentaati penguasa itu.” (Mahmud Abdul Majid Al-Khalidi, Qawā’id Nizhām Al-Hukm fi Al-Islām, hlm. 105). Baiat dalam pengertian syariahnya itu, juga dijelaskan oleh Syekh Rawwas Qal’ah Jie dalam kitabnya Mu’jam Lughat Al-Fuqahā` dengan redaksi yang hampir sama sebagai berikut : البَيْعَةُ هِيَ عَقدٌ بَيْنَ الأُمَّةِ وَالْحَاكِمِ يُرَتِّبُ عَلىَ كُلٍّ مِنْهُمَا تِجَاهَ اْلآخَرَ حُقُوْقاً وَوَاجِبَاتٍ “Baiat adalah akad antara umat dan penguasa yang menimbulkan konsekuensi bagi masing-masing pihak berupa kewajiban-kewajiban dan hak-hak.” (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat Al-Fuqahā`, hlm. 95). Dr. Raghib As-Sirjani dalam situsnya islamstory.com, mendefinisikan baiat dalam pengertian syariahnya dengan substansi makna yang sama dengan definisi-definisi sebelumnya, sebagai berikut :

الْبَيْعَةُ عَهْدٌ عَلَى الطَّاعَةِ مِنْ الرَّعِيَّةِ لِلرَّاعِي، وَإِنْفَاذُ مُهِمَّاتِ الرَّاعِي عَلَى أَكْمَلِ وَجْهٍ، وَأَهَمُّهَا سِيَاسِيَّةُ الدِّينِ وَالدُّنْيَا عَلَى مُقْتَضَى شَرْعِ اللَّهِ “Baiat adalah perjanjian untuk mentaati pemimpin, oleh rakyat, dan melaksanakan kewajiban-kewajiban [terhadap rakyat], oleh pemimpin, dengan sesempurna mungkin, yang terpenting di antaranya adalah kewajiban mengatur berbagai urusan agama dan dunia sesuai dengan tuntutan Syariah Islam.” (https://islamstory.com/ar/artical/23485/) Jadi baiat dalam pengertian Syariah adalah akad atau perjanjian antara umat Islam dengan Imam (Khalifah), sebagai kepala negara dari negara Khilafah, dimana Khalifah berjanji untuk menegakkan syariah Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan, sedangkan umat Islam umat berjanji untk mentaati Imam (Khalifah) itu selama Imam (Khalifah) tidak memerintahkan sesuatu yang bersifat maksiat. Jadi baiat itu menurut pengertian syariahnya sama sekali bukanlah janji seseorang untuk masuk ke sebuah organisasi atau jamaah Islami. Merupakan kekeliruan atau penyesatan kalau ada yang mengartikan baiat itu dalam pengertian syariahnya sebagai perjanjian masuknya seseorang ke dalam sebuah kelompok atau jamaah atau kumpulan tertentu. Baiat dalam pengertian syariah itulah yang terdapat dalam hadits-hadits Nabi SAW mengenai baiat, di antaranya adalah hadits-hadits Nabi SAW sebagai berikut :

وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ، مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً. رواه مسلم (1851 “Barangsiapa yang mati padahal tidak ada baiat (kepada Imam/Khalifah, bukan kepada pemimpin/amir sebuah kelompok) di lehernya, maka dia mati adalah mati secara jahiliyah (mati dengan membawa dosa, bukan mati dalam keadaan kafir).” (HR Muslim, no. 1851). Sabda Rasulullah SAW : مَن بايَعَ إمَامًا فأعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وثَمَرَةَ قَلبِه، فَليُطِعْهُ مَا اسِتَطَاعَ، فإنْ جَاءَ آخَرُ يُنازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ الآخَرِ. رواه مسلم (1844 “Barangsiapa yang membaiat seorang Imam (Khalifah), lalu dia memberikan genggaman tangannya kepadanya dan kesungguhan hatinya kepadanya, maka hendaklah dia mentaati Imam itu dengan sekuat kemampuannya. Kemudian jika datang orang lain yang hendak merebut kekeuasaan Imam itu, penggallah leher orang lain itu.” (HR Muslim, no. 1844). Sabda Rasulullah SAW :
إذا بُوْيِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ، فاقْتُلُوا الآخِرَ مِنْهُمَا. رواه مسلم (1853 “Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR Muslim, 1853). Sabda Rasulullah SAW :

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي، وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ، قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فُوْا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ، وَأَعْطَوْهُمْ حَقَّهُمْ، فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ (4218) “Dahulu Bani Israil itu senantiasa dipimpn oleh para nabi, setiap kali seorang nabi meninggal, dia digantikan oleh nabi yang lain. Dan sesungguhnya tidak ada nabi seudah aku, yang aka nada adalah para khalifah dan jumlah mereka akan banyak.” Para shahabat bertanya,”Lalu apa yang Engkau perintahkan kepada kami?” Rasulullah SAW bersabda,”Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja. Berikanlah kepada mereka hak mereka, karena sesungguhnya Allah akan memminta pertangghung jawaban kepada mereka mengenai amanah yang dibebankan oleh Allah kepada mereka.” (HR Muslim, no 1842).

Dalam hadits dari Ubadah bin Shamit RA :
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ صَامِتٍ قَالَ: « بَايَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِي الْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ، وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ، وَأَنْ نَقُومَ أَوْ نَقُولَ بِالْحَقِّ حَيْثُمَا كُنَّا، لَا نَخَافُ فِي اللَّهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ » رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ ( 7055
( مسلم (1842) Dari Ubadah bin Shamit RA, dia berkata,”Kami telah membaiat Rasulullah SAW untuk mendengar dan mentaati (beliau), baik dalam hal yang kami sukai maupun yang kami benci, dan kami juga membaiat beliau untuk tidak merebut kekuasaan dari yang berhak, kami juga membaiat beliau untuk melakukan atau mengatakan yang haq (benar) di manapun kami berada, dan bahwa kami tidak akan takut karena Allah terhadap celaan orang yang mencela.” (HR Bukhari, no. 7055; Muslim, no. 1842). Baiat dalam hadits-hadits di atas adalah baiat dalam pengertian syariahnya, yaitu akad atau perjanjian antara umat Islam dengan Imam (Khalifah) dalam negara Khilafah. Jadi baiat dalam pengertian syariah ini bukanlah perjanjian masuknya seseorang ke dalam organisasi atau kelompok, sama sekali bukan.

Hukum Baiat

Baiat hukumnya wajib atas seluruh kaum muslimin, dan sekaligus merupakan hak bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan. Yang demikian itu dikarenakan baiat itu merupakan metode satu-satunya untuk mengangkat Khalifah sebagai kepala negara dari Negara Khilafah Islamiyah. (Mahmud Abdul Majid Al-Khalidi, Qawā’id Nizhām Al-Hukm fi Al-Islām, hlm. 106). Dalil wajibnya baiat untuk mengangkat seorang Khalifah (Imam) ada dua :
Pertama, hadits-hadits Nabi SAW. Kedua, Ijma’ Shahabat (Konsensus Para Shahabat Nabi SAW). Adapun dalil dari hadits-hadtis Nabi SAW di antaranya sabda Rasulullah SAW :

مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ ميتَةً جاهِليَّةً “Barangsiapa yang mati sedangkan di lehernya tidak terdapat baiat (kepada Imam/Khalifah) maka matinya adalah mati Jahiliyyah.” (HR Muslim no. 1851).

Wajhul Istidlâl (cara penarikan hukum dari dalilnya) :
Hadis ini telah mencela orang yang tidak punya baiat kepada Khalifah, dengan celaan yang berat, sebagai mati jahiliyah. Celaan berat yang ditujukan untuk perbuatan yang ditinggalkan ini, tidak memiliki makna lain, kecuali perbuatan yang ditinggalkan itu (yaitu baiat), hukumnya adalah wajib. (Mahmud Abdul Majid Al-Khalidi, Qawā’id Nizhām Al-Hukm fi Al-Islām, hlm. 102). Namun perlu dipahami, bahwa yang dimaksud dengan “mati jahiliyah” bukanlah mati dalam keadaan kafir, melainkan mati dalam keadaan bermaksiat (tidak taat) kepada Allah SWT, sebagaimana penjelasan Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani :
وَلَيْسَ المُرادُ يَموتُ كَافِرًا بَلْ يَموتُ عَاصِيًا “Yang dimaksud “mati jahiliyah” dalam hadis itu bukanlah mati dalam keadaan kafir, melainkan mati dalam keadaan bermaksiat.” (Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bāry Syarah Shahīh Al-Bukhāry, 16/112) Adapun dalil wajibnya baiat dari Ijma’ Shahabat, terbukti dalam peristiwa yang terjadi setelah wafatnya Nabi SAW, para shahabat dari golongan Anshar dan Muhajirin berkumpul di Saqifah Bani Saidah untuk memilih pemimpin umat pengganti Rasululullah SAW. Para shahabat Nabi SAW akhirnya sepakat (ijmā’) untuk membaiat Abu Bakar Ash Shiddiq RA sebagai khalifah yang menggantikan Rasulullah SAW dalam urusan kepemimpinan umat. (Mahmud Abdul Majid Al-Khalidi, Qawā’id Nizhām Al-Hukm fi Al-Islām, hlm. 111).

Dua Macam Baiat : Baiat In’iqad Dan Baiat Taat Baiat ada dua macam :

Pertama, baiat in’iqād, atau disebut baiat khusus, yaitu baiat dari wakil-wakil umat Islam untuk mengangkat seseorang menjadi khalifah. Hukum baiat in’iqad adalah fardhu kifayah. Kedua, baiat tāat, atau disebut baiat umum, yaitu baiat dari seluruh umat Islam untuk menyatakan ketaatan kepada Khalifah yang telah dibaiat sebelumnya oleh wakil-wakil umat. Hukum baiat taat adalah fardhu ‘ain.(Ahmad Mahmûd Âlû Mahmûd, Al-Bai’ah fi al-Islâm, hlm. 164-165, hlm. 164-165).

Dalil adanya dua macam baiat tersebut adalah Ijma’ Shahabat yang terjadi setelah Abu Bakar Shiddiq RA dibaiat secara khusus oleh para shahabat di Saqifah Bani Saidah sebagai Khalifah. Keesokan harinya, setelah sholat Shubuh, Abu Bakar RA dibaiat lagi secara umum oleh kaum muslimin yang hadir di masjid. Baiat di Saqifah Bani Saidah itu merupakan baiat in’iqad (baiat khusus). Sedangkan baiat di masjid merupakan Baiat Taat (baiat umum). (Ahmad Mahmûd Âlû Mahmûd, Al-Bai’ah fi al-Islâm, hlm. 164-165).

Rukun-Rukun dan Syarat-Syarat Baiat Rukun-rukun baiat syar’i ada 3 (tiga), yaitu :
(1) Al-‘Āqidāni (dua pihak yang berakad) dalam akad baiat, yaitu : (1) calon Imam/Khalifah di satu sisi, dan (2) wakil-wakil umat Islam di sisi lain;
(2) Al-Ma’qūd ‘alayhi (objek akad) dalam baiat, yaitu kewajiban untuk menjalankan Al-Qur`an dan Al-Sunnah bagi Imam atau Khalifah, dan kewajiban untuk mentaati Imam / Khalifah bagi umat Islam.
(3) Shighat al-‘aqad (redaksi akad, atau redaksi ijab dan kabul dalam baiat). Mengenai redaksi baiat, bagi wakil umat Islam, intinya adalah mengucapkan ījāb (penawaran) bagi Khalifah, yaitu : membaiat khalifah untuk menjalankan Al-Kitab dan As-Sunnah (menerapkan Islam), dan akan mentaati Khalifah. Sedangkan redaksi baiat bagi Khalifah, intinya adalah mengucapkan redaksi qabūl (penerimaan) terhadap ucapan ījāb dari wakil umat Islam. (Lihat : Abu Bakar Abdurrahman Al-Ghumari, ‘Aqdul Bai’ah wa Arkānuhu wa Syurūtuhu; sumber : https://zakaatulwaqt.wordpress.com/2010/11/06/10-11-2-39/).

Contohnya, wakil umat Islam mengucapkan ījāb (penawaran) kepada Khalifah dengan mengatakan :
بَايَعْنَاكَ لِكَيْ تَحْكُمَنَا بِكِتَابِ اللَّهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وِسَلَّمَ، وَعَلَيْنَا السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ لَك فِي الْمَنْشَطِ وَالْمُكْرَهِ وَالْعُسْرِ وَالْيُسْرِ وَأَثَرَةٌ عَلَيْنَا،
“Kami telah membaiat Anda agar Anda menjalankan di tengah Kami hukum Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya SAW, dan kami wajib mendengar dan mentaati Anda dalam segala hal yang kami sukai dan yang kami benci, dalam perkara yang sulit dan yang mudah, dan dalam kondisi Kami tidak diutamakan.” Kemudian Khalifah mengucapkan redaksi qabūl (penerimaan) terhadap ījāb (penawaran) dari wakil umat Islam tersebut dengan berkata :
قَبِلْتُ “Saya menerima.”
(Lihat : Abu Bakar Abdurrahman Al-Ghumari, ‘Aqdul Bai’ah wa Arkānuhu wa Syurūtuhu; sumber : https://zakaatulwaqt.wordpress.com/2010/11/06/10-11-2-39/).

Adapun syarat-syarat baiat syar’i, ada dua macam, yaitu syarat untuk pihak yang dibaiat (khalifah/imam) dan syarat untuk pihak yang membaiat (wakil-wakil umat Islam). Syarat-syarat untuk pihak yang dibaiat (Khalifah/Imam), ada 7 (tujuh) syarat :
(1) Muslim.
(2) Laki-Laki.
(3) Aqil (Berakal)
(4) Baligh.
(5) Adil (bukan orang fasik).
(6) Merdeka (bukan budak)
(7) Mampu. (Abdul Qadim Zallum, Nizhâmul Hukm fi Al-Islâm, hlm. 50-53).

Adapun syarat-syarat untuk pihak yang membaiat (wakil-wakil umat Islam) ada 4 (empat) syarat sebagai berikut : (1) Muslim (Laki-Laki atau Perempuan).
(2) Aqil (Berakal).
(3) Baligh (Dewasa).
(4) Ridha (sukarela) dan Ikhtiyar (bebas memilih). (Mahmud Abdul Majid Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm Al-Hukm fi Al-Islâm, hlm. 128-137). (Lihat : https://shiddiqaljawi.com/baiat-dalam-fiqih-islam-baiat-iniqad-dan-baiat-taat/)

Baiat Dalam Kondisi Tiadanya Khilafah

Syarat-syarat pembaiatan khalifah yang diterangkan sebelumnya, adalah ketika Khilafah masih ada atau sudah tegak kembali. Adapun Ketika Khilafah tidak ada sama sekali, seperti kondisi saat ini sejak runtuhnya Khilafah di Turki tahun 1924, akibat perbuatan jahat dari Mushthofa Kamal yang murtad, maka ada 4 (empat) syarat, yaitu syarat untuk negeri (al-quthr) yang akan membaiat Khalifah : Pertama, kekuasaan (sulthān) yang ada negeri tersebut, mempunyai kekuasaan yang mandiri (sulthān dzāty), yang bersandar kepada kaum muslimin semata, tidak bersandar kepada negara asing (kafir) atau orang asing (kafir).

Kedua, keamanan (al-amān) adalah keamanan Islam, dalam arti perlindungan (al-ḥimāyah) baik dalam negeri maupun luar negeri, semuanya merupakan keamanan kaum muslimin.

Ketiga, segera memulai penerapan Islam dengan penerapan yang sempurna dan menyeluruh (dalam segala aspek kehidupan) di dalam negeri, dan segera melakukan kegiatan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia di luar negeri.

Keempat, khalifah yang dibaiat memenuhi syarat-syarat baiat in’iqad, meskipun tidak memenuhi syarat-syarat afdholiyah (keutamaan), karena yang menjadi standar adalah syarat-syarat in’iqad. (‘Abdul Qadim Zallum, Nizhām Al-Hukm fi Al-Islām, 59-60; Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, Juz II, hlm, 26; Muqaddimat Al-Dustūr, Juz I, hlm. 125-130).

Baiat Dalam Makna Lughawinya

Baiat dalam makna syar’i-nya seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, berbeda dengan baiat kepada organisasi. Baiat kepada organisasi ini sesungguhnya hanyalah baiat dalam makna bahasa saja, bukan dalam pengertian syariahnya. Baiat dalam makna bahasa ini bentuknya dapat berupa janji (wa’ad) atau sumpah (qasam) dari seseorang kepada organisasi.

Baiat dalam makna bahasanya ini, adalah makna secara lughawi (makna Bahasa Arab asli) dari kata baiat, yaitu janji untuk mentaati, yang boleh saja digunakan dalam konteks organisasi. Tetapi lebih baik baiat dalam makna lughawi ini tidak digunakan, karena dapat membuat umat Islam bingung atau tersesat memahami maksud baiat yang sebenarnya, yaitu baiat dalam makna Syariah, yang merupakan suatu akad atau perjanjian dari umat Islam kepada Khalifah dalam negara Khilafah.

Sebaiknya untuk konteks organisasi gunakanlah istilah qasam (sumpah), bukan baiat, untuk menunjukkan adanya perbedaan antara baiat kepada seorang Imam (Khalifah) dengan perjanjian antara seseorang dengan sebuah organisasi atau kelompok.

Dalam kaitan ini, penting untuk diketahui perbedaan baiat dalam pengertian syariah, dengan baiat dalam pengertian bahasa (makna lughawi), dalam 6 (enam) poin perbedaan sebagai berikut :

Pertama, dari segi al-‘āqidāni (dua pihak yang berakad). Dalam baiat menurut pengertian Syariah, dua pihak yang berakad tersebut adalah wakil umat di satu sisi, sedang di sisi lain adalah Khalifah (Imam). Adapun dalam baiat menurut pengertian bahasa, dua pihak yang berakad itu adalah seseorang calon anggota ormas atau organisasi di satu sisi, sedang di sisi lain ada pemimpin ormas atau organisasi. Kedua, dari segi al-mubāya’ lahu (pihak yang dibaiat). Dalam baiat menurut pengertian Syariah, al-mubāya’ lahu (pihak yang dibaiat) Khalifah (Imam), yaitu pemimpin umat Islam di seluruh dunia. Adapun dalam baiat menurut pengertian bahasa, al-mubāya’ lahu (pihak yang dibaiat) adalah sebatas pemimpin sebuah organisasi.

Ketiga, dari segi al-mubāya’ ‘alaihi (objek baiat). Dalam baiat dalam pengertian Syariah, objek baiat adalah penerapan Syariah Islam dalam segala aspek kehidupan dari pihak Khalifah, sedangkan dari pihak umat Islam, adalah ketaatan kepada Khalifah. Dalam baiat dalam pengertian Bahasa, objek baiatnya lebih sempit cakupannya, misalnya beraqidah mengikuti aliran aqidah tertentu, misalnya Asy’ariyah, atau mengamalkan mazhab fiqih tertentu, misalnya mazhab Syafi’i, dan sebagainya. Keempat, dari segi kewajiban dan keterikatan (al-wujūb wa al-ilzām). Baiat dalam pengertian Syariah, wajib hukumnya bagi seluruh kaum muslimin untuk membaiat seorang Imam/Khalifah. Adapun baiat menurut pengertian bahasa, tidak wajib kecuali bagi perseorangan muslim yang rela untuk masuk ke sebuah organisasi.

Kelima, dari segi jangka waktu (muddah). Baiat dalam pengertian syariahnya, tidak ada jangka waktunya. Khalifah yang dibaiat dapat terus berkuasa hingga dia wafat, selama masih mampu menjalankan roda pemerintahan dalam rangka menerapkan Islam. Sedang baiat dalam pengertian bahasa, bisa jadi hanya berlaku selama waktu atau periode tertentu, misal lima tahunan, bukan selama-lamanya. Keenam, dari segi boleh tidaknya ta’addud (adanya lebih dari satu pihak yang dibaiat). Baiat dalam pengertian Syariah, wajib hanya kepada satu Khalifah (Imam) saja, untuk umat Islam seluruh dunia, tidak boleh ada lebih dari satu Khalifah (Imam), sesuai sabda Nabi SAW :

إذا بُوْيِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ، فاقْتُلُوا الآخِرَ مِنْهُمَا. رواه مسلم (1853) “Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR Muslim, 1853). Adapun baiat dalam pengertian bahasa, boleh ta’addud (adanya lebih dari satu pihak yang dibaiat). Misalnya seseorang membaiat satu organisasi untuk khusus mendalami fiqih, lalu orang yang sama membaiat organisasi lainnya untuk khusus mendalami Ushul Fiqih, lalu dia juga membaiat organisasi lainnya untuk menghapal Al-Qur`an, dan seterusnya. (Lihat : https://ar.wikipedia.org/wiki/ بيعة). Walhasil, baiat dalam makna bahasanya ini, misalnya dalam bentuk sumpah, hukumnya boleh selama tidak melanggar Syariah Islam. Maka dari itu, jika seseorang bersumpah kepada organisasi dan ternyata isi sumpahnya tidak sesuai syariah, tidak boleh hukumnya dia bersumpah. Misalnya bersumpah kepada organisasi walaupun mengaku ormas Islam, tapi ternyata memperjuangkan atau mempertahankan sistem sekuler dari Barat. Orang muslim yang bersumpah untuk memperjuangkan atau mempertahankan sistem sekuler dari Barat seperti ini, sungguh telah berbuat maksiat kepada Allah, yang berarti telah batal sumpahnya dan wajib melaksanakan kaffarat sumpah sesuai perintah Allah dalam Al-Qur’an (QS Al-Maidah : 89). Firman Allah SWT :
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللّٰهُ بِاللَّغْوِ فِيْٓ اَيْمَانِكُمْ وَلٰكِنْ يُّؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُّمُ الْاَيْمَانَۚ فَكَفَّارَتُهٗٓ اِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسٰكِيْنَ مِنْ اَوْسَطِ مَا تُطْعِمُوْنَ اَهْلِيْكُمْ اَوْ كِسْوَتُهُمْ اَوْ تَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ ۗفَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلٰثَةِ اَيَّامٍ ۗذٰلِكَ كَفَّارَةُ اَيْمَانِكُمْ اِذَا حَلَفْتُمْ ۗوَاحْفَظُوْٓا اَيْمَانَكُمْ ۗ كَذٰلِكَ
يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اٰيٰتِهٖ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafaratnya (denda pelanggaran sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi mereka pakaian atau memerdekakan seorang hamba sahaya. Barangsiapa tidak mampu melakukannya, maka (kafaratnya) berpuasalah tiga hari. Itulah kafarat sumpah-sumpahmu apabila kamu bersumpah. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan hukum-hukum-Nya kepadamu agar kamu bersyukur (kepada-Nya).” (QS Al-Maidah : 89).

Penutup

Baiat dalam makna syar’i hanya diberikan oleh umat Islam kepada Khalifah sebagai pemimpin tertinggi dari negara Khilafah, bukan yang lain. Baiat ini merupakan akad politik antara umat Islam di satu sisi, dengan Khalifah di sisi lain, dengan kewajiban atas Khalifah untuk menjalankan Al-Kitab dan As-Sunnah. Sedang bagi umat Islam baiat merupakan komitmen untuk mentaati dan mendengar Khalifah yang dibaiat, selama Khalifah tidak memerintahkan berbuat maksiat. Baiat dalam pengertian syariahnya ini, hanya ada bagi Khalifah (Imam) dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Istilah baiat dalam makna syariahnya ini tidak boleh disalahgunakan untuk baiat kepada seorang pemimpin dari sebuah kelompok (jamaah) atau ketua sebuah organisasi keislaman, atau kepada kepala negara dari sistem-sistem pemerintahan di luar sistem pemerintahan Islam (Khilafah), seperti seorang presiden atau seorang raja.

Penyalahgunaan istilah baiat ini sesungguhnya adalah suatu kekeliruan dan penyesatan bagi umat Islam. Tujuannya jelas bukan untuk memberi pencerahan atau edukasi kepada umat Islam, melainkan justru untuk membodohi dan menyesatkan umat Islam, agar umat Islam terus berada dalam penindasan rezim sekuler-radikal yang jahat dan anti Islam yang menjadi agen atau proxy dari negara-negara kafir penjajah, seperti Amerika Serikat dan China. Wallāhu a’lam.

Yogyakarta, 7 Juni 2023
Muhammad Shiddiq Al-Jawi