Tampilkan postingan dengan label Sirah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sirah. Tampilkan semua postingan

Jejak Khilafah di Sulawesi: Membongkar Hubungan Politik & Spiritual yang Dilupakan part 5

Jejak Khilafah di Sulawesi: Membongkar Hubungan Politik & Spiritual yang Dilupakan part 5

Oleh: Nicko Pandawa

Tsaqofatuna.id - Pada awalnya, Trio Dato’ terlebih dulu berlabuh di Bua (sebelah selatan Palopo). Mereka disambut oleh seseorang bernama I Assalang Tenriajeng. Dia adalah seorang pemuka Bua yang telah memeluk Islam, tetapi masih sembunyi-sembunyi. Tenriajeng tidak berani menunjukkan keislamannya selagi penguasa Luwu’ masih dalam kepercayaan lama.[3]

Oleh kerana itu dia sangat gembira ketika mengetahui seandainya Syaikh ‘Abdul Ma’mur, Sulayman dan ‘Abdul Jawad adalah utusan yang benar-benar serius mensasarkan penguasa Luwu’ untuk masuk Islam. Ketiga Dato’ pun dihantar oleh Tenriajeng menghadap La Patiware Daeng Parabung, penguasa Luwu’ ke-15 yang tinggal di Malangke.

Dato’ Luwu’ menerima kehadiran ketiga-tiga Dato’ Minangkabau di dalam istananya dan terjadilah dialog yang panjang. Dialog di bawah ini sebenarnya adalah dialog Syaikh Sulayman Dato’ ri Pattimang kepada Arung Matowa Wajo’ yang terjadi beberapa tahun berikutnya. Namun, dialog mereka seolah-olah dapat mewakili bagaimana perbincangan yang terjadi antara Trio Dato’ tersebut dan La Patiware Daeng Parabung, Sang Dato’ Luwu’:

Ketika Syaikh Sulayman alias Dato’ ri Pattimang datang ke Wajo’, Arung Matowa bertanya mengenai kandungan ajaran Islam kepada Dato’ ri Pattimang. “Engkaulah yang terlebih dulu mengemukakan apa yang menjadi peganganmu,” ujar Dato’ ri Pattimang memberikan kesempatan terlebih dahulu kepada Arung Matowa Wajo’.

“Dewata Seuwwae adalah Tuhan Yang Tunggal,” kata Arung Matowa. “Dialah yang menciptakan dan Dia juga yang memusnahkan, menghidupkan dan mematikan. Sesungguhnya Dia adalah Tuhan yang tidak ada awal dan akhirnya. Tidak bertempat tinggal. Tidak ada kehendak kecuali kehendak-Nya.”

Bagi dia, pendapat itulah yang dia warisi dari orang bijak Bugis bernama La Mangkace’ To Uddama yang diwarisi secara turun-temurun.

“Saya rasa peganganmu dan kandungan (agamamu) telah bagus, Arung Matowa,” ujar Dato’ ri Pattimang.

“Yang engkau katakan Dewata Seuwwae Tuhan Yang Tunggal, (tidak lain) iaitu Allah Taala. Sesungguhnya tidak ada yang menyamai Dia. Tidak dilahirkan dan tidak beranak. Tidak ada satu pun yang menyamai Dia. Tidak ada yang disembah selain Dia. Tidak ada yang menghidupkan dan mematikan selain Dia,” simpul Sang Dato’ secara jelas.

“Alangkah baiknya engkau membuka (dan meninggalkan) yang Dia larang dan diharamkan oleh Nabi kita Muhammad.”[4]

Setelah diajak beriman melalui proses berfikir tentang hakikat Dewata Seuwwae yang dipercaya orang Luwu’, yang hakikatnya bernama Allah ‘Azza wa Jalla, akal dan hati La Patiware Daeng Parabung luluh. Dia pun melafazkan syahadatnya dan menjadi raja Sulawesi Selatan pertama yang memeluk Islam. Peristiwa ini berlaku pada 15 Ramadhan 1013 / 4 Februari 1605.[5]

Dengan demikian tokoh kunci strategi yang menentukan opini umum seluruh Sulawesi telah dipegang oleh Trio Dato’ Minangkabau. Daeng Parabung ditabalkan oleh Trio Dato’ dengan gelaran Sultan Muhammad Wali Muzhahiruddin, yang bermaksud “yang menampakkan agama secara terang-terangan”.

Ulama-ulama tersebut meminta dukungan Sultan Luwu’ untuk mengislamkan seluruh jazirah. Sang Daeng yang kini disebut “Sultan” itu mendukung penuh, dan merujuk agar Trio Dato’ datang ke dua kerajaan yang menyatukan pentadbiran pemerintahan mereka di Makassar: Gowa dan Tallo’.

Mulai dari titik inilah Trio Dato’ berpisah dan berbahagi tugas. Syaikh Sulayman Dato’ ri Pattimang tetap tinggal di Luwu’ (dan nanti akan ke Wajo’) untuk memperkuat Islam bersama Sultan Luwu’, Muhammad Wali Muzhahiruddin. Syaikh ‘Abdul Ma’mur Dato’ ri Bandang berangkat ke Makassar untuk mengislamkan Karaeng Tallo’ dan Gowa. Manakala Syaikh ‘Abdul Jawad berangkat ke daerah Tiro di Bulukumba, tempat dimana ramai pengamal ilmu kebatinan dan sihir.

Kesan keislaman Dato’ Luwu’ sangatlah dahsyat. Begitu Dato’ ri Bandang sampai di Makassar 8 bulan kemudian setelah keislaman Daeng Parabung, kedatangannya disambut langsung oleh penguasa Tallo’, Karaeng Matoaya I Mallingkaang Daeng Manyonri’. Karaeng Matoaya menyapa Dato’ ri Bandang dengan salam khas Islam, “Assalaamu ‘alaykum wa rahmatulLaah wa barakaatuh.”

Saat itu Khamis petang (8 Jamadilawal 1014 / 22 September 1605). Karaeng Matoaya yang berumur 35 tahun, pada hari yang sama, melafazkan syahadatnya.[6]

Karaeng Matoaya dari Tallo’ segera mengajak Karaeng Gowa, I Mangarangi Daeng Manra’bbia yang masih berumur 19 tahun untuk sama-sama masuk Islam,[7] kerana nenek moyang Gowa dan Tallo’ telah terikat dalam perjanjian: “Hanya satu rakyat tapi dua raja. Kematian bagi mereka yang bermimpi atau menghasut untuk memecahbelah Gowa dan Tallo’” (Ata narua karaeng nibunoi tumassoqnaya angkanaya sisilai Gowa Talloq).[8]

Atau dalam versi Bugis: “Dua raja satu rakyat milik bersama. Satu kebaikan dan keburukan milik bersama. Seiya-sekata” (Duwa Arung na ceddiata cidditomi deceng ja naqduwai-wi naiya napowada).[9]

Sepanjang subuh sampai zuhur pada hari Jumaat, 9 Jamadilawal 1014 / 23 September 1605, Istana Gowa dipenuhi orang untuk menyaksikan diskusi antara Dato’ ri Bandang, Karaeng Matoaya Tallo’, Daeng Manra’bbia sang penguasa muda Gowa, beserta segenap penghuni istana dan instrumen adat Gowa-Tallo’. Diskusi itu ditutup dengan ikrar syahadat Karaeng Gowa sebagai sebahagian dari kaum Muslim. Dato’ ri Bandang segera mengukuhkan Daeng Manra’bbia sebagai Sultan ‘Ala’uddin, “yang meninggikan agama”. Oleh kerana Karaeng Matoaya lebih dahulu bersyahadat pada malam harinya, maka dia digelar sebagai Sultan ‘Abdullah Awwal al-Islam (Hamba Allah yang pertama-tama memeluk Islam).

Keislaman penguasa Gowa dan Tallo’ mengubah seluruh wajah Sulawesi Selatan dalam beberapa dekad ke depan secara drastik. Hanya dalam tempoh dua tahun, berkat sokongan penuh Sultan ‘Ala’uddin dan Sultan ‘Abdullah Awwal al-Islam, Dato’ ri’ Bandang berjaya menjadi wasilah keislaman seluruh rakyat Makassar. Setelah seluruh rakyat dan pegawainya menjadi Muslim, penguasa Gowa dan Tallo’ memberi perhatian kepada raja-raja tetangganya. Jauh sebelum Karaeng Matoaya Tallo’ dan Daeng Manra’bbia Gowa memeluk Islam, mereka beserta seluruh raja-raja di Sulawesi pernah berkumpul dan saling mengikrarkan janji bersama, “Siapa saja yang melihat jalan kebaikan maka akan saling menunjukkan” (Nigi-nigi mita laleng madecceng iyani sijellokeng).[10]

Ikrar tersebut mendorong penguasa Gowa dan Tallo’ agar menyampaikan berita baik ini, di samping kewajipan sebuah Negara Islam memang untuk mengemban dakwah ke seluruh penjuru alam.

Seruan Sultan Gowa disambut baik oleh kerajaan-kerajaan kecil sehingga dakwah berlangsung secara damai. Lain halnya dengan kerajaan-kerajaan Bugis yang kuat seperti Bone, Wajo’, dan Soppeng. Tiga kerajaan ini sejak tahun 1582 sudah membentuk kesatuan bernama Tellumpoccoe. Mereka menolak ajakan tersebut, kerana mengenangkan raja-raja Gowa sebelum Sultan ‘Ala’uddin yang pernah menyerang kerajaan-kerajaan Bugis sehingga menyebabkan luka hati dan penderitaan yang masih belum hilang. Ajakan Gowa untuk menyambut kebaikan Islam dianggap sebagai strategi demi perluasaan kekuasaan Makassar dan merendahkan Tellumpoccoe. Oleh sebab itu, Gowa tidak ada pilihan lain dan terpaksa mengangkat senjata seterusnya mengumumkan jihad untuk menghapuskan penghalang-penghalang dakwah. Tahun 1608 menjadi petanda bermulanya “Perang Pengislaman” (Makassar: bundu’ kasallannga, Bugis: musu’ asellennge). Pada mulanya pasukan Islam Gowa dapat dikalahkan oleh kesatuan Tellumpoccoe di Soppeng. Namun, Gowa dapat membalas kekalahan itu hingga berjaya mem-futuhat Sidenreng pada 1609 dan Soppeng pada tahun yang sama. Wajo’ menyusul pada tahun 1610. Akhirnya, La Tenrirua, Sang Arumpone Bone, menyatakan tunduk pada tahun 1611 dan menyeru rakyatnya untuk mengakhiri peperangan sekaligus menerima Islam.[11]

Catatan kaki:

[1] Christian Pelras, “Religion, Tradition and the Dynamics of Islamization in South-Sulawesi”, 113.

[2] Husnul Fahimah Ilyas, Lontaraq Suqkuna Wajo, 77-79.

[3] Amrullah Amir dan Bambang Budi Utomo, Aspek-Aspek Perkembangan Peradaban Islam di Kawasan Indonesia Timur, 62.

[4] William P. Cummings, A Chain of Kings: The Makassarese Chronicles of Gowa and Talloq, (Leiden: KITLV Press, 2007), 87.

[5] Leonard Y. Andaya, The Heritage of Arung Palakka, 32.

[6] William P. Cummings, A Chain of Kings, 86, 98.

[7] Perjanjian Gowa-Tallo’ dalam logat Bugis, sebagaimana yang dikutip dalam Lontara’ Su’kuna Wajo’. Lihat: Husnul Fahimah Ilyas, Lontaraq Suqkuna Wajo, 86.

[8] Ibid, 90.

[9] Leonard Y. Andaya, The Heritage of Arung Palakka, 34.

Sumber:

tsaqofah.id

Jejak Khilafah di Sulawesi: Membongkar Hubungan Politik & Spiritual yang Dilupakan part 4

Jejak Khilafah di Sulawesi: Membongkar Hubungan Politik & Spiritual yang Dilupakan  part 4

Oleh: Nicko Pandawa

Trio Dato’ Minangkabau dan Strategi Dakwah Thalab an-Nushrah

Tsaqofatuna.id- Pergulatan pengaruh antara kaum Muslim Melayu dan Portugis di Sulawesi begitu sengit sepanjang abad ke-16. Kebebasan yang diberikan para pemimpin kepada semua bangsa untuk beraktiviti di pelabuhan-pelabuhan mereka menjadikan fenomena persaingan antara Islam dan Katolik begitu hangat. Ketika Antonio de Paiva, orang Portugis yang pada tahun 1544 berjaya mengkristiankan raja Suppa, Siang dan Bacukiki mengeluhkan tentang kaum Muslim dari Melayu yang berusaha menghalang misinya, kaum Muslim pun tidak kurang resahnya dengan aktiviti orang Portugis. Sebuah Lontara’ Wajo’ mencatat ketidaksenangan orang-orang Islam Melayu setelah melihat beberapa orang Makassar dan Bugis dipengaruhi ajaran agama Katolik yang disebarkan para panrita lompo, alias misionaris Portugis.[3]

Para pedagang Islam bangsa Melayu inilah yang menjadi saksi mata tentang kristianisasi raja-raja Sulawesi oleh Portugis. Melalui jaringannya sekepulauan Jawi, melaporkan perkara tersebut kepada sultan-sultan Islam yang sudah mempunyai kekuatan di Aceh, Demak dan Ternate. Laporan pedagang Melayu itu dibalas oleh penguasa Aceh. Selain kisah tentang Abangta ‘Abdul Jalil yang berlayar ke Bone pada 1560-an yang sudah disebutkan di atas, sumber Kutai mencatat bahawa pada tahun 1575, dikirim lagi dua orang ulama Minangkabau dari Aceh ke Sulawesi. Mereka adalah Syaikh ‘Abdul Ma’mur—yang kemudiannya dikenali sebagai salah satu dari Trio Dato’—dan Tuan Tunggang Parangan.

Mereka datang ke Makassar dan pernah berusaha menyampaikan Islam kepada masyarakatnya. Namun, usaha ini menemui kebuntuan kerana kegemaran orang Makassar saat itu dalam memakan dendeng babi, hati rusa mentah yang disajikan dengan bumbu dan darah (lawa’ dara), serta kebiasaan minum tuak yang masih sukar ditinggalkan.

Akhirnya, Syaikh ‘Abdul Ma’mur dan Tuan Tunggang Parangan mengalihkan dakwahnya ke tanah seberang: Kutai di Kalimantan Timur. Di Kutai, mereka berjaya mengislamkan penguasanya, yaitu Raja Aji Makota. Tuan Tunggang Parangan tetap berdiam di Kutai sehingga akhir hayatnya, sementara Syaikh ‘Abdul Ma’mur meninggalkan negeri itu.[4]

Ternyata Syaikh ‘Abdul Ma’mur masih tidak puas dengan buntunya dakwah yang dia lakukan di Makassar pada tahun 1575. Sekitar 28 tahun kemudian, tepatnya pada 10 Rabiulawal 1012 / 18 Ogos 1603, beliau kembali lagi ke Sulawesi bersama dua orang sahabatnya, yang kemungkinan besar merupakan adik beradik. Mereka semua berasal dari Koto Tangah (Padang) di Minangkabau yang waktu itu di bawah kuasa Kesultanan Aceh. Tiga ulama luar biasa inilah yang kelak dikenang sebagai Trio Dato’ (Makassar: Dato’ Tallua, Bugis: Dato’ Tellue), para Dato’ yang berjaya menyebarkan Islam di Sulawesi Selatan. Peranan mereka setara dengan Sembilan Wali (Wali Songo) yang mengharumkan Islam di pulau Jawa. Ketiga Dato’ itu adalah:

Syaikh ‘Abdul Ma’mur, alias Khatib Tunggal. Setelah wafat disebut sebagai Dato’ ri Bandang (Gowa).

Syaikh Sulayman, alias Khatib Sulung. Setelah wafat disebut sebagai Dato’ ri Pattimang (Malangke, Luwu’).

Syaikh ‘Abdul Jawad, alias Khatib Bongsu. Setelah wafat disebut sebagai Dato’ ri Tiro (Bontotiro, Bulukumba).[5]

Nisbah tempat dalam gelaran mereka masing-masing menunjukkan bahawa Trio Dato’ tersebut membahagi tugas dakwah berdasarkan suatu wilayah kerja. Pembahagian tersebut mencerminkan strategi dakwah jitu dalam menyasar para pemilik kekuatan politik (ahl al-quwwah) yang diharapkan dapat menjadi kekuasaan penolong dakwah (sulthaan[an] naashir[an]). Mereka meneladankan strategi tersebut berdasarkan strategi dakwah Rasulullah Muhammad SAW.

Sebagaimana diketahui, selama tempoh fasa dakwah di Mekah, Rasulullah SAW menyasarkan pimpinan suku-suku Arab terkemuka agar mereka mahu masuk Islam dan menolong dakwah melalui kedudukan dan kekuasaan mereka. Setiap musim haji pada bulan Zulhijjah, rutin Rasulullah SAW adalah menziarahi khemah-khemah pemimpin Bani Syayban, Bani Kindah, Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah, Bani Abu Hanifah, dan seterusnya. Akhirnya, dua suku dari kota Yatsrib, Aus dan Khazraj, mahu menolong dakwah Islam sehingga terjadilah peristiwa yang kita ketahui sebagai Baiat ‘Aqabah. Demikianlah metod dakwah Rasulullah yang kemudian dikenal sebagai Thalab an-Nushrah, yakni meminta dukungan para ahl al-quwwah dalam menolong dakwah. Dalam hal ini, Syaikh Atha’ bin Khalil menyimpulkan: “Konsistensi Rasulullah SAW dalam menempuh metod tertentu untuk menegakkan Daulah, yakni thalab an-nushrah, dan keteguhan beliau menghadapi kesulitan tanpa mengubah metod ini menunjukkan bahawa aktiviti thalab an-nushrah untuk menegakkan Daulah Islamiyah merupakan kewajipan dari kewajipan yang ada.”[6]

Pada awalnya, Trio Dato’ Minangkabau mendarat di bandar Makassar. Mereka disambut kaum Muslim dari komuniti Melayu yang sudah lama bermukim di Gowa sebagai pedagang. Sejak masa Karaeng Bontolangkasa Tunijallo, para pedagang Islam ini sudah dijamin keberadaannya kerana diberi pemukiman sendiri (Kampung Melayu) oleh Tunijallo di Mangallekana (Somba Opu), bahkan dibolehkan untuk membina masjid—walaupun penguasa Gowa tersebut masih belum memeluk Islam. Syaikh ‘Abdul Ma’mur, Sulayman dan ‘Abdul Jawad sentiasa mengadakan pertemuan dengan para pedagang Melayu di masjid Mangallengkana tanpa melibatkan pembesar kerajaan. Dari pertemuan yang dimaksudkan untuk mendapatkan informasi lapangan itu, Trio Dato’ membuat kesimpulan: dakwah perlu diawali terlebih dulu di Luwu’, bukan di Gowa, agar Islam mudah diterima masyarakat Sulawesi. Hal ini kerana, walaupun “kekuasaan ada di Gowa, kemuliaan sebenarnya berada di Luwu’” (ri Luwu’ alebbirenna, ri Gowa awatanna).[7]

Dengan letaknya dato’ tertua di Sulawesi Selatan yang ada di pangkal Teluk Bone, Luwu’ yang dari sanalah asal usul seluruh raja di jazirah ini. Berdasarkan kitab I La Galigo, penduduknya percaya bahawa wilayah mereka, yaitu Bukit Lampenai yang ada di timur Wotu, adalah tempat pertama kali Batara Guru turun dari langit mengajarkan manusia bercucuk tanam. Zaman ketika Batara Guru turun di Luwu’ disebut sebagai period “manusia awal” (mula ito mamulae).

Dengan demikian Luwu’ memegang kedudukan politik yang sangat dihormati sekaligus pusat mitologi seluruh Sulawesi Selatan.[8] Mengislamkan penguasanya akan menjadi langkah efisyen yang diharap akan diikuti kerajaan-kerajaan turunannya. Berangkatlah Trio Dato’ ke wilayah Kedatuan Luwu’ yang kala itu dipimpin La Patiware Daeng Parabung.

Catatan kaki:

a] Makalah disampaikan dalam safari dakwah al-Faqir di Makassar, Palopo, Wotu, Kendari, dan Baubau selama 27 Oktober – 7 November 2022.

b] Sarjana ilmu sejarah dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2020); Penulis buku Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda: Riwayat Pan-Islamisme dari Istanbul sampai Batavia 1882-1928 (2021) dan Dafatir Sulthaniyah: Menguak Loyalitas Muslimin Jawi kepada Khilafah Utsmaniyyah (2022); Sutradara dan Script-Writer film dokumenter Jejak Khilafah di Nusantara I & II.

1 ] Amrullah Amir dan Bambang Budi Utomo, Aspek-Aspek Perkembangan Peradaban Islam di Kawasan Indonesia Timur, 30-31.

2 ] Christian Pelras, “Religion, Tradition and the Dynamics of Islamization in South-Sulawesi”, 112; Amrullah Amir dan Bambang Budi Utomo, Aspek-Aspek Perkembangan Peradaban Islam di Kawasan Indonesia Timur, 30.

3 ] Husnul Fahimah Ilyas, Lontaraq Suqkuna Wajo: Telaah Ulang Awal Islamisasi di Wajo, (Tangerang Selatan: LSPI, 2011), 415.

4 ] ‘Atha bin Khalil, Taysir al-Wushul ila al-Ushul, jilid I (Beirut: Dar al-Ummah), 19-20.

5 ] Christian Pelras, “Religion, Tradition and the Dynamics of Islamization in South-Sulawesi”, 119.

6 ] Amrullah Amir dan Bambang Budi Utomo, Aspek-Aspek Perkembangan Peradaban Islam di Kawasan Indonesia Timur, 42.

Sumber:

MuslimahHTM News

Jejak Khilafah di Sulawesi: Membongkar Hubungan Politik & Spiritual yang Dilupakan part 3

Jejak Khilafah di Sulawesi: Membongkar Hubungan Politik & Spiritual yang Dilupakan part 3

Oleh: Nicko Pandawa

Tsaqofatuna.id - Ketika pulau-pulau di sekeliling Sulawesi sedang aktif dengan banyaknya aktiviti dakwah dan koalisi jihad oleh kaum Muslim dari berbagai kesultanan melawan kekuatan Portugis, raja-raja di Sulawesi—khususnya di semenanjung selatan pulau—baru sekadar mengamati perkembangan konstelasi antara dua paksi tersebut. Para karaeng (bangsawan di Makassar) dan arumpone (bangsawan di Bugis) tidak banyak ikut campur dalam persengketaan Islam melawan Katolik. Pelabuhan-pelabuhan mereka terbuka bagi sesiapa saja yang hendak berlabuh, berdagang atau bahkan menyebarkan pengaruh agamanya. Hal ini tentu dimanfaatkan para pendeta Katolik dari Portugis yang bercita-cita agar tiang salib tegak di seluruh dunia.

Tahun 1525 menjadi tahun pertama orang-orang Portugis menapakkan kaki mereka di Makassar. Mereka cuba memperkenalkan tuhan-tuhan Katolik kepada masyarakat Sulawesi, tetapi mengalami kebuntuan kerana orang-orang di sana “kurang bersahabat” dengan para pendatang Portugis yang masih sangat asing bagi orang Makassar.

Usaha kristianisasi berikutnya cuba dilakukan pada tahun 1544. Kapten Mayor Portugis di Melaka, Ruy Vaz Pereira (menjawat jawatan tersebut pada 1542-1544) telah mengirim Antonio de Paiva, seorang pedagang Katolik yang dua tahun sebelumnya pernah ke Sulawesi sehingga menguasai bahasa setempat. Dia memulai aktivitinya dengan berlabuh di Teluk Parepare yang dikuasai Kerajaan Suppa. Kali ini de Paiva menoreh sedikit kejayaan. Melalui usaha dan prestasinya, raja-raja Sulawesi di Suppa, Siang dan Bacukiki berjaya dibaptis. Walaupun begitu, de Paiva masih menemui halangan yang sukar dalam usaha pembaptisannya. “Lawan saya adalah pendatang Melayu Islam… dari Sentana (Ujong Tanah/Johor), Pao (Pahang), dan Patane (Pattani) yang berusaha agar raja mengubah maksudnya (memeluk Katolik),” keluh de Paiva.

Menurutnya lagi, orang Melayu yang agamanya sama dengan Islam-nya orang Moor di Andalus sudah 60-an tahun lebih awal datang ke Sulawesi sebelum de Paiva; yakni, sekitar tahun 1480-an.[1]

Jadi, sebelum kedatangan Trio Datu’ (Makassar: Dato’ Tallua, Bugis: Dato’ Tellue) yang masyhur pada awal abad ke-17, sesungguhnya masyarakat Sulawesi Selatan sudah mengenal kaum Muslim beserta Islam sebagai agama mereka. Sumber Kelantan menyebutkan: Imam Jamaluddin al-Husayni bin Amir Syah Jalal, yang terkenal di Jawa sebagai Syaikh Jumadil Kubra, pergi dari Kelantan pada 1448 dan tinggal selama empat tahun di Jawa. Setelah berdakwah dalam lingkungan Majapahit, Syaikh Jumadil Kubra pergi ke Wajo’ dan menyebarkan Islam sampai wafatnya di sana pada tahun 1453 (tahun yang sama dengan tertakluknya Konstantinopel oleh Sultan Mehmed al-Fatih).[2]

Usaha dakwah yang dimulai Syaikh Jumadil Kubro di Wajo’ belum terdengar luas. Lalu, hampir seratus tahun berikutnya, tepatnya pada 1548, seorang Portugis bernama Maneul Pinto melapor kepada bishop Katolik di Goa, India tentang niat seorang “raja Jawa yang utama” (kemungkinan Sultan Demak ke-4, Sunan Prawoto) untuk mempersiapkan ekspedisi jihad untuk mem-futuhat Makassar.[3] Niat tersebut tidak kesampaian kerana Sunan Prawoto sendiri syahid pada tahun 1549.

Kemudian sekitar tahun 1560, keinginan untuk mengislamkan Sulawesi Selatan datang dari Kesultanan Aceh. Dalam sebuah sumber Aceh, Abangta ‘Abdul Jalil, raja muda (wakil sultan) Aceh untuk wilayah Aru, pergi berlayar ke Sulawesi Selatan bersama rombongan ulama. Abangta ‘Abdul Jalil yang kelak menyandang kedudukan sultan dengan gelaran Sultan Sri ‘Alam, adalah anak Sultan ‘Ala’uddin Ri’ayat Syah al-Qahhar; sultan Aceh yang memulai hubungan erat dengan Khilafah ‘Uthmaniyyah.[4]

Sumber Aceh tadi mendakwah bahawa dakwah Abangta ‘Abdul Jalil berjaya sehingga “tidak berapa lama kemudian Radja Boni pun masuk Islam”.[5]

Belum ada sumber Lontara’ yang mengesahkan masuk Islamnya seorang Arumpone Bone pada tahun 1560-an. Mungkin saja yang dimaksudkan sumber Aceh itu adalah salah satu tomarilaleng (wazir sultan) Bone. Itu pun belum tentu masuk Islam. Boleh jadi hanya sekadar mendukung. Bagaimanapun, sumber Aceh itu menyebutkan bahawa Abangta ‘Abdul Jalil telah menikahi seorang perempuan Bugis yang kemudiannya akan melahirkan Daeng Manshur; nenek moyang sultan-sultan Aceh dari dinasti Bugis yang nanti akan dibahas di tempatnya sendiri dalam makalah ini.

Setelah Demak dan Aceh, kali ini Ternate memainkan kemunculannya untuk mengislamkan Sulawesi. Sultan Babullah Datuk Syah, penguasa agung Ternate, berjaya secara total mengusir Portugis dari seluruh wilayahnya pada 1575 dan membawa kesultanan di Maluku itu menuju era kejayaan. Lima tahun kemudian, 1580, Sultan Babullah mengadakan kunjungan diplomatik kepada Karaeng Gowa: I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa, yang setelah meninggal disebut Tunijallo’ (berkuasa 1565-1590). Sumber Maluku mencatat bahawa Tunijallo’ bersedia masuk Islam melalui dakwah Sultan Babullah.[6]

Lagi-lagi sumber Lontara’ tidak menngesahkan hal demikian. Justeru sejarawan menyimpulkan bahawa Tunijallo’ menolak tawaran Sultan Babullah kerana engganannya berada di bawah dominasi Ternate, yang pengaruh kekuasaannya demikian luas hingga mencapai Pulau Selayar, tidak seberapa jauh di depan Makassar.]7]

Sebagai negara-negara Islam awal di kepulauan Jawi yang punya hubungan dengan Khilafah ‘Uthmaniyah, tiga kesultanan di atas (Aceh, Demak, dan Ternate) sudah berusaha mengislamkan para penguasa Sulawesi Selatan. Namun, mereka belum berjaya. Bukan bererti usaha dakwah mereka sepanjang abad ke-16 gagal sama sekali. Ada beberapa orang asli Makassar dan Bugis yang berjaya diIslamkan. Begitu juga mustahil jika usaha-usaha dakwah tiga kesultanan tadi tidak menimbulkan kesan bagi para karaeng mahupun arumpone. Walaupun belum menyatakan kesediaan untuk masuk Islam, minima hati mereka pasti bertanya-tanya: Mengapa banyak sekali yang mengundang mereka masuk Islam? Mengapa Islam diterima menjadi agama negara oleh raja di pulau-pulau tetangganya dengan begitu semangat? Ada apa dengan agama ini?

Perlahan tapi pasti, Islam menjadi perbincangan di tengah masyarakat Sulawesi dan menjadi opini umum. Mereka tertarik dengan agama yang mereka dengar berasal dari negeri Arab dan dibawa seseorang bernama Muhammad. Islam segera menjadi alternatif kebenaran yang berpotensi menggantikan kepercayaan lama. Konsep kebenaran dan hakikat kehidupan mula dipertanyakan semula sebagai pengaruh dari pemikiran Islam akan ketuhanan dan ketauhidan Allah ‘Azza wa Jalla.

Inilah yang tampak dari perbincangan antara Karaeng Matoaya I Mallingkaang Daeng Manyonri’, pangeran Tallo’ muda yang belum menjawat jawatan sebagai penguasa—kelak dikenal sebagai Sultan ‘Abdullah Awwal al-Islam, dengan seorang bijak dari Bugis bernama Arung Matoa La Mangkace’ To Uddama. Ketika itu tahun 1591. Pertemuan kedua orang besar ini ditujukan untuk membicarakan kemungkinan Tallo’ bersekutu dengan Wajo’. Di sela-sela pertemuan, mereka berdiskusi tentang bagaimana seseorang perlu bersikap terhadap sesamanya dan terhadap Tuhan. Diskusi ini mencerminkan sikap beragama yang tulus dan dapat menjadi saksi bahawa keduanya telah dipengaruhi pemikiran “agama luar” dalam rangka mencari kebenaran.[8]

Catatan Kaki:

1. Makalah disampaikan dalam safari dakwah al-Faqir di Makassar, Palopo, Wotu, Kendari, dan Baubau selama 27 Oktober – 7 November 2022.

2. Sarjana ilmu sejarah dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2020); Penulis buku Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda: Riwayat Pan-Islamisme dari Istanbul sampai Batavia 1882-1928 (2021) dan Dafatir Sulthaniyah: Menguak Loyalitas Muslimin Jawi kepada Khilafah Utsmaniyyah (2022); Sutradara dan Script-Writer filem dokumentari Jejak Khilafah di Nusantara I & II.

3. Amrullah Amir dan Bambang Budi Utomo, Aspek-Aspek Perkembangan Peradaban Islam di Kawasan Indonesia Timur: Maluku dan Luwu, (Jakarta: Direktorat Sejarah, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud, 2016), 18-19, 30; Christian Pelras, “Religion, Tradition and the Dynamics of Islamization in South-Sulawesi”, Archipel, vol. 29, (1985), 110.

4. Christian Pelras, “Religion, Tradition and the Dynamics of Islamization in South-Sulawesi”, 110; Syed Muhammad Naquib al-Attas, Historical Fact and Fiction, (Johor Bahru: Universiti Teknologi Malaysia Press, 2012), 90. Makam Syaikh Jumadil Kubro sampai saat ini masih ada di Tosora, Kab. Wajo, Sulawesi Selatan.

5. Surat Manuel Pinto (bukan Ferdinand Mendez Pinto) kepada Bishop Goa di India, 7 Desember 1548. Dalam Joseph Wicki, Documenta Indica: Monumenta Societatis Jesu a patribus eusdem Societatis edita, Rome, Vol. II (150-1553), 422-423. Dikutip dari Christian Pelras, “Religion, Tradition and the Dynamics of Islamization in South-Sulawesi”, 111.

6. Amirul Hadi, Islam and State in Sumatra: A Study of Seventeenth-Century Aceh, (Leiden: Brill, 2004), 66, 75.

7. HM. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, jilid I, (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961), 259.

8. Christian Pelras, “Religion, Tradition and the Dynamics of Islamization in South-Sulawesi”, 112.

9. Leonard Y. Andaya, The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century, (Leiden: KITLV, 1981), 30.

10. Christian Pelras, “Religion, Tradition and the Dynamics of Islamization in South-Sulawesi”, 112.

Sumber:

MuslimahHTM News

Jejak Khilafah di Sulawesi Membongkar Hubungan Politik & Spiritual yang Dilupakan part 2

Jejak Khilafah di Sulawesi Membongkar Hubungan Politik & Spiritual yang Dilupakan  part 2

Oleh: Nicko Pandawa

Tsaqofatuna.id - Untuk membongkar jalinan politik dan spiritual antara Khilafah dan Sulawesi, saya memanfaatkan sumber primer dan sekunder yang mencatat sejarah Sulawesi dari awal abad ke-17 sampai awal abad ke-20. Mengenai sumber primer sejarah Sulawesi, hakikatnya, menilik perbendaharaan manuskrip dan archives (tempat penyimpanan dokumen) yang tertulis dalam aksara (sistem penulisan) Lontara’ adalah sangat penting. Namun, saya belum dapat membaca aksara tersebut sekaligus memahami bahasa Bugis-Makassar yang terkandung di dalamnya. Oleh itu, saya bergantung kepada sumber-sumber Lontara’ yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggeris atau Indonesia. Meski demikian, aspek internasional Sulawesi dengan Dunia Islam yang lebih luas ternyata sudah tercatat dalam sumber-sumber primer non-Lontara’, seperti sumber-sumber berbahasa Arab, Osmanlica (Turkiye Uthmani), Serang (Arab-Makassar), Jawi (Arab-Melayu), Pegon (Arab-Jawa), dan lain-lain.

Adapun sumber-sumber sekunder yang saya gunakan lebih banyak membahas sejarah Sulawesi Selatan. Hal ini kerana memang potongan pulau bahagian selatan inilah yang menjadi episentrum (epicentre) kekuasaan seluruh Sulawesi. Kecuali Buton, saya masih dalam kesulitan untuk mencari aspek internasionalisme Islam kesultanan-kesultanan di Sulawesi Tenggara, Tengah, Barat, Utara dan Gorontalo. Mudah-mudahan wilayah Sulawesi yang belum diteliti dalam tulisan ini dapat diteruskan oleh siapa pun yang ambil tahu akan sejarah Islam di negerinya.

Situasi Global dan Regional Menjelang Pengislaman Sulawesi

Nun jauh di seberang lautan Sulawesi, menembus batas-batas negeri Jawi, Arab dan Eropah, Sultan Sulaiman al-Qanuni sedang menitahkan perebutan kubu Bender di Moldova, persis di sebelah barat Ukraina. Tatkala kubu Bender berjaya ditaklukkan pada 1538, Khalifah kedua Uthmaniyah tersebut memahatkan inskripsi yang melukiskan jangkauan kekuasaannya:

“Akulah Sulaiman, yang namanya disebutkan dalam khutbah di Mekah dan Madinah. Di Baghdad aku adalah Syah, di Byzantium disebut Kaisar, dan di Mesir dijuluki Sultan; yang telah mengirim armada-armada kapalnya ke lautan Eropah, Maghribi dan India. Akulah Sultan yang mengambil mahkota dan takhta Hungary serta memberikan mereka status sebagai abdi yang rendah hati. Voivode (Putera Mahkota) Petru telah mengangkat kepalanya dalam pemberontakan, tetapi kuku kudaku menempatkannya ke debu, dan akulah yang telah membebaskan negeri Moldavia”.[1]

Sultan Sulaiman al-Qanuni tidak bergurau apabila menyebut tentang negeri-negeri yang telah dibebaskan dan dia jangkau. Ketika menyebut India sebagai salah satu negeri yang terjangkau oleh armada Uthmaniyah, Sultan Sulaiman masih mengikuti ingatan kaum Muslim tentang definisi “India” selama ratusan tahun sebelumnya. Ahli Geografi, Muthahhar bin Thahir al-Maqdisi (wafat 355/966) mendokumentasikan cakupan zona India sebagai “kepulauan dan pesisir yang tersambung sampai China” (fa amma jurum al-Hind fa-jaza’ir wa sawahil tattashilu bi-ardhi as-Shin).[2] Maknanya, “India” yang dimaksud Sultan Sulaiman adalah seluruh kepulauan dan pesisir yang ada di Samudera Hindia hingga Laut China Selatan. Negeri Jawi termasuk di antaranya.

Sultan Sulaiman al-Qanuni mengarahkan telunjuknya ke Samudera Hindia sebagai langkah untuk keselamatan perjalanan jemaah haji kaum Muslim India dan Jawi menuju Tanah Suci Haramain dari gangguan Portugis. Banyaknya jumlah kapal perang yang diletakkan Khalifah Uthmaniyah di perairan ini menjadi daya tarik yang sangat menggugah banyak raja dan sultan di seluruh kawasan Samudera Hindia. Di antara mereka adalah penguasa Kesultanan Aceh, Sultan ‘Ala’uddin Ri’ayat Syah al-Qahhar (berkuasa 1537-1571). Beliau dikenal dalam archives Uthmaniyah sebagai penguasa Aceh “yang berkuasa di wilayah India”.[3] Sultan al-Qahhar pertama kali menuliskan suratnya untuk Sultan Sulaiman al-Qanuni di Istanbul. Dalam surat yang bertarikh Jamadil Akhir 973/Januari 1566 itu, Sultan Aceh berterima kasih kepada Khalifah yang sebelum itu telah mengirimkan utusan bernama Lutfi Bey, anggota korps (pertubuhan/organisasi) muteferrika reisleri ke Aceh. Peranannya sangat luar biasa dalam membangkitkan semangat jihad kaum Muslim Aceh untuk melawan Portugis yang bermarkas di Melaka.[4]

Bagi meningkatkan perlawanan, Sultan al-Qahhar mengajukan cadangan jihad kepada Khalifah untuk meningkatkan alat utama sistem senjata (alutsista) Kesultanan Aceh berupa pengiriman kapal perang, pakar meriam, dan konsultan militer. Ketika surat Sultan al-Qahhar sampai di Istanbul, ternyata Sultan Sulaiman al-Qanuni sedang berada di Hungary untuk berjihad. Tak ada yang menyangka bahawa negeri itulah yang menjadi tempat terakhir Sultan Sulaiman melihat alam dunia. Surat Sultan Aceh tak sempat beliau baca. Untungnya, anak almarhum Sultan Sulaiman yang diangkat menjadi Khalifah Uthmaniyah berikutnya, Sultan Salim II, menanggapi surat Sultan Aceh dengan penuh semangat. Dengan bantuan para wazir-nya yang dipimpin Sokollu Mehmed Pasa, Sadrazam Uthmaniyah yang luar biasa, Sultan Salim II memperkenankan permohonan Sultan al-Qahhar. Bala bantuan dan alat perang yang diminta sampai ke Aceh pada tahun 1568 atau 1569.[5] Sehingga ke hari ini kita masih dapat menemui kompleks pemakaman sebahagian tentara Uthmaniyah yang dikirim Sultan Salim II tersebut di Gampong Bitai, Kecamatan Jaya Baru, Kota Banda Aceh.

Menariknya, elemen tentera Uthmaniyah tersebut ternyata tidak berhenti di Aceh sahaja. Banyak dari mereka yang meneruskan langkah perjuangan untuk berjihad di berbagai pulau negeri Jawi. Ada yang pergi ke Demak di Jawa,[6] Pattani di Thailand,[7] bahkan sampai jazirah Maluku dengan Kesultanan Ternate sebagai magnetnya.[8] Semua kawasan Khilafah Uthmaniyah yang sangat luas yang terbentang dari Granada di Andalusia hingga Ternate di Maluku ini terjadi pada abad ke-16 (tahun 1500-an), sebuah abad yang dikenang masyarakat Turkiye kontemporer sebagai “abad kejayaan” (muhtesem yuzyil). Abad ke-16 menyaksikan lahirnya khalifah-khalifah luar biasa dari Bani Uthmaniyah seperti Yavuz Salim I, Sulaiman al-Qanuni dan Salim II. Hal yang sama juga terjadi di negeri Jawi. Pada abad ini banyak kesultanan mulai bangkit dengan figura-figura yang mengagumkan seperti para ulama Wali Songo, Sultan ‘Ala’uddin Ri’ayat Syah al-Qahhar di Aceh, Maulana Hasanuddin di Banten, Ratu Kalinyamat di Jepara, Sultan Trenggana di Demak, Sultan Babullah di Ternate, dan lain-lain.

Catatan Kaki:

1. Makalah disampaikan dalam safari dakwah al-Faqir di Makassar, Palopo, Wotu, Kendari, dan Baubau selama 27 Oktober – 7 November 2022.

2. Sarjana ilmu sejarah dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2020); Penulis buku Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda: Riwayat Pan-Islamisme dari Istanbul sampai Batavia 1882-1928 (2021) dan Dafatir Sulthaniyah: Menguak Loyalitas Muslimin Jawi kepada Khilafah Utsmaniyyah (2022); Sutradara dan Script-Writer film dokumenter Jejak Khilafah di Nusantara I & II.

3. Halil Inalcik, The Ottoman Empire: The Classical Age 1300-1600, (London: Phoenix, 1994), 41.

4. Muthahhar bin Thahir al-Maqdisi, Kitab al-Bad’i wa’t-Tarikh, ed. M. Huart, (Paris, 1907), 62. Dikutip dari SQ. Fatimi, “Two Letters from the Maharaja to the Khalifah: A Study in the Early History of Islam in the East”, Islamic Studies (Islamabad: 1963), 2:1, 123.

5. Anthony Reid, “Rum and Jawa: The Vicissitudes of Documenting a Long-Distance Relationship”, dalam ACS. Peacock dan Annabel Teh Gallop, From Anatolia to Aceh: Ottomans, Turks, and Southeast Asia, (Oxford University Press, 2015), 27.

6. Giancarlo Casale, “His Majesty’s Servant Lutfi: The career of a previously unknown sixteenth-century Ottoman envoy to Sumatra based on an account of his travels from the Topkapi Palace Archives”, Turcica, 37 (2005), 49-56.

7. Ismail Hakki Goksoy, “Ottoman-Aceh relations as documented in Turkish sources”, dalam Michael Feneer, dkk, Mapping the Acehnese Past, (Leiden: KITLV Press, 2011), 78.

8. Kesaksian Mendez Pinto: “Fourteen days after our coming to this town of Japara, the King of Demaa (yakni, Sultan Trenggana) went and imbarqued himself for the kingdom of Passuruan … the King of Zunda (yakni, Hasanuddin bin Sunan Gunung Jati, raja Islam pertama di Banten), his brother in law who was General of the army, went by land with a great part of the forces … Their platforms fortified with great beams, whereupon they planted divers great pieces of ordnances, amongst the which were eagles and lions of metal, that the Achems and Turks had cast.” Mendez Pinto, The Voyages and Adventures of Ferdinand Mendez Pinto, ed. HC. Gent, (New York, Cornell University Library, 1996), 377-378.

9. “Maka bedil itu pun dititahkan Baginda kepada Datuk Bendahara suruh tuanglah, dan tukangnya orang Rum bernama ‘Abdushshamad. Maka bedil itu pun dituang oranglah dengan sempurnanya di hadapan Kampung Tembaga itulah.” Hikayat Patani: The Story of Patani, ed. A. Teeuw dan DK. Wyatt (The Hague: KITLV, 1970), 77.

10. “The fort in Ternate had been strengthened by Babullah … In the ensuing battle the Spaniards had to contend with some twenty Turkish gunners who ‘used a lot of bombs, grenades, and other instrument of fire.’” Leonard Y. Andaya, The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period, (Honolulu: University of Hawaii Press, 1993), 137.

Sumber:

MuslimahHTM News

Mengenali “Kampung Turki” di Banda Aceh

Mengenali “Kampung Turki” di Banda Aceh

Penulis: Siti Nafidah Anshory, M.Ag.

Tsaqofatuna.id - “Kampung Turki” adalah nama lain bagi Gampong Bitai di Kecamatan (Daerah) Jaya Baru, Kota Banda Aceh. Kedudukannya kira-kira 3.6 kilometer dari Masjid Raya Baiturrahman Kota Banda Aceh, atau kira-kira sembilan minit perjalanan dengan kenderaan beroda empat.

Ia digelar Kampung Turki kerana terdapat tapak bersejarah berupa kompleks pemakaman bagi orang Turki yang hidup pada abad ke-16. Mereka terdiri daripada tentera, serta ulama atau guru yang dihantar oleh Sultan Sulaiman (Salim) II dari Kekhilafahan Turki Uthmani.

Mereka dibawa ke Aceh untuk membantu Kesultanan Aceh Darussalam yang menghadapi ancaman aneksasi daripada Portugis. Bagi nama Bitai pula, ia berasal daripada perkataan Baitulmaqdis yang dikatakan telah digunakan oleh tentera untuk mengingatkan mereka tentang tempat asal mereka di Palestin.

Latar belakang sejarah

Dalam buku Sejarah Masuk dan Perkembangan Islam di Indonesia, yang disusun oleh Prof A. Hasymy, Penerbit Al-Ma’arif halaman 213 menyatakan bahawa setelah Portugis berjaya menghancurkan Kesultanan Melaka pada tahun 1511, para sultan di wilayah Sumatera Utara wilayah bersetuju untuk menyatukan kuasa politik dan tentera di bawah sebuah negara yang kuat dan berdaulat. Lahirlah Kesultanan Aceh Besar atau Aceh Darussalam pada tahun 1514 di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1530). Kesultanan ini memantapkan diri sebagai kekuatan politik Islam yang menjadi pusat dakwah dan jihad khususnya di Nusantara.

Sudah tentu keadaan ini menjadi ancaman kepada matlamat penjajahan Portugis. Akhirnya, Portugis melancarkan serangan demi serangan. Namun kekuatan angkatan laut Aceh ketika itu mampu menghalaunya. Sehinggakan Portugis mengubah taktik daripada menggunakan kekuatan tentera kepada sekatan ekonomi.

Kuasa politik Kesultanan Aceh agak mundur apabila Sultan Ali Mughayat Syah mangkat dan digantikan oleh puteranya, Sultan Saladin (1530-1537). Sultan baharu itu dilihat terlalu lemah terhadap Portugis sehingga membolehkan mereka menjalankan kerja dakwah di kalangan orang Batak dan pantai timur Sumatera. Keadaan ini menjadi latar belakang kepada rampasan kuasa oleh saudara Sultan Ali yang kemudiannya digelar Sultan Alauddin Ri’ayat Syah al-Qahhar (1537-1568).

Dalam tempoh inilah Kesultanan Aceh mengalami kegemilangannya. Pasukan tenteranya berjaya mengusir Portugis dari tanah Aceh, bahkan Kesultanan terus memperhebatkan dakwah dan jihad ke kawasan kerajaan Hindu dan menyatukan diri dengan kesultanan Islam di Nusantara. Tidak hairanlah jika wilayahnya terus berkembang ke Johor, Pulau Pinang, Perak di semenanjung Tanah Melayu.

Pada masa itu, Kesultanan Aceh juga diketahui mempunyai hubungan politik dengan Kesultanan Islam di India dan Parsi. Bahkan pada masa itu, Kesultanan Aceh juga melakukan komunikasi politik yang intens dengan pusat Khilafah Islamiyah di Turki.

Ini dilihat apabila Kesultanan Aceh mula menyasarkan kedudukan Portugis di Melaka dan melakukan beberapa serangan besar ke atas Melaka. Selain mendapat bantuan daripada kesultanan Islam di Jawa dan India, pusat Khilafah Turki turut menghantar kira-kira 400 orang tentera bersama-sama bantuan senjata dan pakar pembuatan senjata. Rombongan ini mendarat di Bitai dan menetap di sana.

Pusat Ketenteraan dan Dakwah

Mengikut catatan sejarah, rombongan itu diketuai oleh Muthalib Ghazi Mustafa Ghazi yang juga dikenali sebagai Tengku Syeikh Tuanku Di Bitay. Beliau merupakan seorang tentera dan juga ulama dari Palestin yang diutus oleh khalifah ke Kesultanan Aceh untuk tugas ketenteraan serta memperkukuh dakwah Islamiah.

Tidak hairanlah selain menyertai peperangan, beliau dan rombongan kemudiannya memulakan akademi tentera di Bitai serta pusat pengajian Islam. Di sana, mereka berjaya melahirkan mujahid serta cendekiawan Islam, dan memperkuatkan kekuatan ketenteraan Kesultanan Aceh Darussalam termasuk kekuatan senjata mereka.

Dikatakan ketika itu, Gampong Bitai dikunjungi oleh ramai pelajar dari pelbagai daerah bahkan dari tempat yang sangat jauh. Bitai juga menjadi pusat pengajian bagi keluarga Sultan dan bakal sultan. Akademi ketenteraan dan perguruan ini dikenali sebagai Ma’had Baitulmaqdis. Dalam tempoh inilah lahirnya nama Tuanku Mahmuddin bin Said Aal-Latif yang menjadi mujahidin serta syahid bersama ribuan tentera lain dalam peperangan menentang Portugis.

Perjuangannya kemudian diteruskan oleh isterinya, iaitu Laksamana Keumalahayati, cicit Sultan Salahuddin Syah, pahlawan Islam yang terkenal sehingga kini. Beliau mengasaskan armada tentera balu mujahidin dengan nama Inong Balee (Armada Wanita Janda). Terdapat sekurang-kurangnya 2,000 tentera wanita yang menyertai Inong Balee dan kewujudan mereka amat digeruni oleh penjajah.

Malangnya, ketika itu Portugis berjaya menghasut kesultanan Islam di Semenanjung Tanah Melayu sehingga menarik mereka menjadi sekutu. Lalu, usaha Kesultanan Aceh untuk mengusir kuasa Portugis akhirnya gagal.

Pada tahun-tahun berikutnya, perlawanan terhadap Portugis agak melemah, terutama disebabkan oleh konflik dalaman, baik di dalam Kesultanan Aceh Darussalam sendiri mahupun dengan Kesultanan Islam yang lain, terutama disebabkan oleh politik adu domba oleh Portugis terhadap mereka.

Penentangan baru muncul kembali apabila kepimpinan Aceh Darussalam dipegang oleh Sultan Iskandar Muda yang dikenali sebagai Mahkota Alam yang memerintah dari tahun 1607-1636. Pada zamannya, Kesultanan Aceh berjaya menyatukan kekuatan umat Islam di Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu, dan mampu menutup pintu Sumatera Utara kepada politik dan ekonomi Portugis.

Mengambil Hikmah

Di tengah-tengah usaha mengubur dan mengaburi sejarah hubungan nusantara dengan kepimpinan politik Islam dunia di Turki, kewujudan Kampung Turki menjadi bukti yang tidak dapat dinafikan. Selain itu, terdapat banyak lagi catatan sejarah dan bukti yang berselerak di pelbagai tempat yang menunjukkan hubungan politik ini. Bukan sahaja pada abad ke-16, tetapi ketika Turki dipimpin oleh Sultan Abdul Hamid dan Nusantara dikuasai oleh penjajah Belanda yang didedahkan dalam filem terbitan Turki sendiri.

Dalam salah satu episod, diceritakan Abdul Hamid mengajak Tahsin ke ruang kerja bawah tanah di Istana Yildiz di Istanbul. Kemudian pada waktu itu Tahsin berkata, “Hunkarim, Belanda bukan sahaja menghalang orang Islam Aceh untuk berhaji. Mereka menyuruh rakyat Aceh membuang lambang bulan sabit dari benderanya. Mereka melarang membaca khutbah atas nama Khilafah Uthmaniyyah. Walaupun begitu, Muslim Aceh berkata, ‘Kami bersumpah untuk tetap setia kepada Khalifah kami, kami tidak akan mematuhi sebarang larangan (Belanda).'”

Kini, Kampung Turki tidak lebih daripada sebuah tapak bersejarah. Namun, ia semestinya memberi banyak hikmah kepada kita tentang realiti kepimpinan politik Islam yang tiada sempadan. Sekaligus membuktikan fungsi kepimpinan dalam Islam, iaitu sebagai raa’in (pengurus) serta junnah (penjaga).

Dengan paradigma kepimpinan seperti ini, seorang khalifah tidak akan berdiam diri apabila kezaliman menimpa rakyatnya, tanpa mengira bangsa, jarak wilayah dan beratnya medan. Mereka memahami bahawa amanat kepimpinan adalah amanah yang akan dihisab di hadapan Allah agar mereka dapat memaksimumkan ikhtiar mereka, walaupun hasilnya termasuk dalam wilayah qadha’.

Sesungguhnya hari ini, umat Islam di dunia memerlukan raa’in dan junnah Khilafah. Semoga dengan mengenali sejarah, kita dapat menyerap tenaga perjuangan mengembalikan kegemilangan dan kesatuan ummat Islam. Kembalinya Khilafah adalah janji Allah SWT. Kita hendaklah menyambutnya dengan ikut bersemangat dan istiqamah untuk memperjuangkannya.

Sumber:

MuslimahHTM News

Jejak Khilafah Di Sulawesi Membongkar Hubungan Politik & Spiritual yang Dilupakan part 1

Jejak Khilafah Di Sulawesi Membongkar Hubungan Politik & Spiritual yang Dilupakan  part 1

Oleh: Nicko Pandawa

Tsaqofatuna.id- “Saya mendapati bahawa semua rakyat Sulawesi – baik yang kaya atau miskin, rakyat ataupun raja, bersedia mengorbankan diri mereka demi Yang Mulia (Khalifah Uthmaniyah), dan sentiasa berdoa akan perkembangan kekuasaan Daulah ‘Aliyah –semoga Allah menolongnya!” [Sayyid Syeikh Jamaluddin al-Qadiri, Zulhijjah 1303/September 1886].[3]

Sesuai nisbah pada namanya, Syeikh Jamaluddin al-Qadiri adalah penganut tarekat Qadiriyah. Tarekat ini dinisbatkan kepada Syeikh ‘Abdul Qadir al-Jailani. Khalifah Uthmaniyah yang menjadi penaung Syeikh Jamaluddin al-Qadiri, Sultan Abdulhamid II, juga turut menekuni tarekat Qadiriyah di samping aliran Syadziliyah.[4]

Mengikuti semangat bertarekat saat itu, Syeikh Jamaluddin yang tinggal sekota dengan Sultan Abdul Hamid II di Istanbul juga giat menyemarakkan kajian fiqh Islam dan perkumpulan tarekat. Bahkan dia dikenal sebagai “pelayan para ahli fiqh dan ahli tasawuf” (khadim al-fuqaha wa ash-shufi).

Namun, ternyata jiwanya tidak hanya haus akan ilmu. Syeikh Jamaluddin juga mengidam-idamkan sebuah pengembaraan. Demi menikmati nikmatnya bersafar mengelilingi Dunia Islam, dia meninggalkan Istanbul pada 1874 dan pergi ke India. Lama juga Syeikh Jamaluddin tinggal di sana sehingga tak terasa sudah 11 tahun lamanya. Jiwa mengembaranya pun bangkit lagi. Kali ini dia menetapkan negeri Jawi sebagai destinasi berikutnya.

Saat itu, hampir seluruh negeri Jawi sudah dikuasai Pemerintah Kolonial Belanda. Lalu digunakanlah istilah “Hindia Belanda” sebagai nama rasmi negeri ini. Sesampainya di Batavia (Jakarta) pada 1885, Syeikh Jamaluddin al-Qadiri cukup senang kerana dapat menemukan banyak orang Arab Hadhrami yang dapat dia ajak berbincang dengan bahasa Arab. Dia juga bertemu dengan Ali Galip Bey, Konsul Jeneral Sultan Abdulhamid II di Batavia yang sudah bertugas di kota ini dua tahun sebelumnya.[5]

Banyak persamaan antara Syeikh Jamaluddin dan Galip Bey. Keduanya sama-sama boleh berbahasa Turkiye dan Arab. Keduanya juga pernah tinggal di Istanbul serta memiliki tahap kesetiaan yang sama kepada Khalifah Uthmaniyah. Syeikh tarekat ini mempunyai pengaruh baik terhadap Konsul Jeneral Uthmaniyah pertama di kota tersebut. “Semoga Allah melestarikan (kebaikan Galip Bey) untuk selamanya,” kenang Syeikh Jamaluddin al-Qadiri.

Meski begitu, Syeikh Jamaluddin tidak senang untuk menetap lama di Batavia. Dia sentiasa menyaksikan kelakuan buruk dan rasis orang-orang Belanda dan Pemerintah Kolonial kepada rakyat pribumi, juga khususnya kepada kaum Arab. “Jika kita ingin mencatat jumlah kezaliman terhadap orang Arab yang dilakukan pemerintah, kita tidak akan mempunyai cukup baris untuk mencatatnya,” keluh kaum Arab di Batavia, “(Itu semua) tidak lain kerana mereka melihat anjing lebih baik daripada orang Arab” (bal innahum yarauna al-kalb khayrun min al-‘Arab).[6]

Setelah mendapati apa yang dia saksikan begitu menyiksa nuraninya, Syeikh Jamaluddin al-Qadiri memutuskan untuk meninggalkan kota ini.

“Saya pun berangkat ke Pulau Sulawesi yang lebih luas dari Jawa,” kata Syeikh tarekat Qadiriyah itu. Dia bersyukur ketika sampai di Makassar, dia melihat peraturan kolonial yang berlaku di sini tidak sekuat yang ada di Jawa. Menurut beliau, sebahagian besar penduduk Sulawesi adalah Muslim, dan setiap kelompok memiliki raja dan sultan Muslim yang berdaulat. Pemerintahan Kesultanan kepada rakyatnya dan pergantian jawatan sultan tidak banyak dipersoalkan Belanda jika ianya tidak menimbulkan huru-hara.[7]

Dengan aura keislamannya yang kuat, kedatangan Syeikh Jamaluddin cukup menarik perhatian masyarakat Sulawesi. Tak perlu waktu yang lama, masyarakat di sini berbondong-bondong meminta Syeikh Jamaluddin untuk mengajari mereka syariah Islam dan bimbingan dalam tarekat dan tasawuf. “Mereka memohon saya agar tinggal di negeri mereka selama sekitar satu tahun,” tulis Syeikh Jamaluddin. “Saya setuju dan tinggal bersama mereka lebih kurang 10 bulan.”

Beliau pun meneruskan ceritanya dengan lebih lanjut: “Ketika saya ingin kembali ke Istanbul, mereka menyerahkan kepada saya dua pemuda dari bangsa mereka untuk diajari Sunnah Nabi, adab dan tsaqafah yang merupakan pusat dari ilmu pengetahuan. Mereka unggul dengan akhlak-akhlak terpuji, sangat berkeinginan untuk belajar di Istanbul, dan sudah pasti mereka adalah sebaik-baiknya manusia.”

Keberangkatan pulang Syeikh Jamaluddin yang membawa dua anak Sulawesi ke Istanbul sempat mendapat halangan dari resident Belanda di Makassar. Sang Syeikh segera berunding dengan menarik Pegawai Perwakilan Uthmaniyah di Batavia untuk mematahkan rintangan perwakilan Belanda tersebut. Saat itu Ali Galip Bey sudah habis masa tugasnya. Jawatan Perwakilan Jeneral Uthmaniyah kosong kerana sedang masa peralihan pergantian jawatan. Istanbul melantik perwakilan Perancis bernama Monsieur Jouslain sebagai kaymakam (Arab: qa’im al-maqam, pelaksana tugas sementara [Plt]) perwakilan Uthmaniyah di Batavia.

Setelah berunding selama tiga bulan, usaha Syeikh Jamaluddin dan Monsieur Jouslain berjaya. Dia dan dua anak Sulawesi tersebut dapat meneruskan perjalanan ke Istanbul. Usaha ini begitu memukau penduduk Sulawesi sehingga mereka, menurut Syeikh Jamaluddin, “terus menerus berdoa kepada Allah dengan menadahkan tangan, agar Daulah ‘Aliyah (Khilafah Uthmaniyah) yang mulia sentiasa ditingkatkan kekuatan, kedudukan dan keagungannya.”

Kisah di atas adalah pengalaman yang dialami Syeikh Jamaluddin al-Qadiri, seorang sufi tarekat Qadiriyah yang berasal dari Istanbul yang pernah tinggal beberapa bulan di Sulawesi Selatan. Beliau menuliskan kisah tersebut dalam laporannya kepada Said Halim Pasa, Sadrazam (Arab: Shadr al-A’zham, wakil Khalifah Uthmaniyah alias Mu’awin Tanfidz) yang mendampingi Sultan Abdul Hamid II pada 10 Zulhijjah 1303 / 9 September 1886.[8]

Pengalamannya menarik untuk kita teliti. Dalam latar abad ke-19 yang menyaksikan makin kuatnya kolonialisme Eropah di Dunia Islam, sebahagian besar kaum Muslim mengalihkan harapan mereka untuk bebas dari penjajahan kepada Daulah Uthmaniyah. Inilah sebuah daulah yang secara terang mendeklarasikan diri sebagai Khilafah Islamiyah, dengan wilayah yang sangat luas dan menaungi tempat-tempat suci yang dihormati seluruh Muslim: Makkah al-Mukarramah, Madinah al-Munawwarah, dan Baitul Maqdis.

Kepemimpinan Khilafah Uthmaniyah sudah masyhur diakui di seluruh negeri, termasuk Indonesia yang kala itu dikenal dengan nama negeri Jawi, atau dalam istilah kolonial disebut Hindia Belanda.

Persoalannya, jika hendak diperhalusi lagi, bagaimana hubungan Khilafah Uthmaniyah dengan pulau besar di negeri Jawi yang banyak diceritakan Syeikh Jamaluddin al-Qadiri: Sulawesi? Apakah penghormatan dan pengakuan Muslim di Sulawesi kepada Khilafah–sebagaimana testimoni Syeikh Jamaluddin yang saya tempatkan sebagai kata pembuka–hanya terjadi ketika Syeikh Jamaluddin bertandang ke sana pada akhir abad ke-19, atau sudah berlangsung ratusan tahun sebelumnya?

Catatan kaki:

1 Makalah disampaikan dalam safari dakwah al-Faqir di Makassar, Palopo, Wotu, Kendari, dan Baubau selama 27 Oktober – 7 November 2022.

2 Sarjana ilmu sejarah dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2020); Penulis buku Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda: Riwayat Pan-Islamisme dari Istanbul sampai Batavia 1882-1928 (2021) dan Dafatir Sulthaniyah: Menguak Loyalitas Muslimin Jawi kepada Khilafah Utsmaniyyah (2022); Sutradara dan Script-Writer film dokumenter Jejak Khilafah di Nusantara I & II.

3 BOA, HR.SYS. 564/5. Dalam Ismail Hakki Kadi dan ACS. Peacock, Ottoman-Southeast Asian Relation: Sources from the Ottoman Archives, Jilid II (Leiden: Brill, 2020), 704-707.

4 Nicko Pandawa, Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda: Riwayat Pan-Islamisme dari Istanbul sampai Batavia, 1882-1928, (Bogor: Komunitas Literasi Islam, November 2021), 63.

5 Untuk informasi lebih lanjut mengenai Ali Galip Bey, lihat Ibid, 163-174.

6 BOA, Y.PRK.AZJ, 35/95. Dalam Ismail Hakki Kadi dan ACS. Peacock, Ottoman-Southeast Asian Relation, Jilid II, 806-807.

7 Ibid; Abu Hamid, Syekh Yusuf: Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), 12-13.

8 BOA, HR.SYS. 564/5. Dalam Ismail Hakki Kadi dan ACS. Peacock, Ottoman-Southeast Asian Relation, Jilid II, 704-707.

Sumber:

https://muslimahhtm.com/2023/07/24/jejak-khilafah-di-sulawesi-membongkar-hubungan-politik-spiritual-yang-dilupakan-i/