Jejak Khilafah Di Sulawesi Membongkar Hubungan Politik & Spiritual yang Dilupakan part 1

Jejak Khilafah Di Sulawesi Membongkar Hubungan Politik & Spiritual yang Dilupakan  part 1

Oleh: Nicko Pandawa

Tsaqofatuna.id- “Saya mendapati bahawa semua rakyat Sulawesi – baik yang kaya atau miskin, rakyat ataupun raja, bersedia mengorbankan diri mereka demi Yang Mulia (Khalifah Uthmaniyah), dan sentiasa berdoa akan perkembangan kekuasaan Daulah ‘Aliyah –semoga Allah menolongnya!” [Sayyid Syeikh Jamaluddin al-Qadiri, Zulhijjah 1303/September 1886].[3]

Sesuai nisbah pada namanya, Syeikh Jamaluddin al-Qadiri adalah penganut tarekat Qadiriyah. Tarekat ini dinisbatkan kepada Syeikh ‘Abdul Qadir al-Jailani. Khalifah Uthmaniyah yang menjadi penaung Syeikh Jamaluddin al-Qadiri, Sultan Abdulhamid II, juga turut menekuni tarekat Qadiriyah di samping aliran Syadziliyah.[4]

Mengikuti semangat bertarekat saat itu, Syeikh Jamaluddin yang tinggal sekota dengan Sultan Abdul Hamid II di Istanbul juga giat menyemarakkan kajian fiqh Islam dan perkumpulan tarekat. Bahkan dia dikenal sebagai “pelayan para ahli fiqh dan ahli tasawuf” (khadim al-fuqaha wa ash-shufi).

Namun, ternyata jiwanya tidak hanya haus akan ilmu. Syeikh Jamaluddin juga mengidam-idamkan sebuah pengembaraan. Demi menikmati nikmatnya bersafar mengelilingi Dunia Islam, dia meninggalkan Istanbul pada 1874 dan pergi ke India. Lama juga Syeikh Jamaluddin tinggal di sana sehingga tak terasa sudah 11 tahun lamanya. Jiwa mengembaranya pun bangkit lagi. Kali ini dia menetapkan negeri Jawi sebagai destinasi berikutnya.

Saat itu, hampir seluruh negeri Jawi sudah dikuasai Pemerintah Kolonial Belanda. Lalu digunakanlah istilah “Hindia Belanda” sebagai nama rasmi negeri ini. Sesampainya di Batavia (Jakarta) pada 1885, Syeikh Jamaluddin al-Qadiri cukup senang kerana dapat menemukan banyak orang Arab Hadhrami yang dapat dia ajak berbincang dengan bahasa Arab. Dia juga bertemu dengan Ali Galip Bey, Konsul Jeneral Sultan Abdulhamid II di Batavia yang sudah bertugas di kota ini dua tahun sebelumnya.[5]

Banyak persamaan antara Syeikh Jamaluddin dan Galip Bey. Keduanya sama-sama boleh berbahasa Turkiye dan Arab. Keduanya juga pernah tinggal di Istanbul serta memiliki tahap kesetiaan yang sama kepada Khalifah Uthmaniyah. Syeikh tarekat ini mempunyai pengaruh baik terhadap Konsul Jeneral Uthmaniyah pertama di kota tersebut. “Semoga Allah melestarikan (kebaikan Galip Bey) untuk selamanya,” kenang Syeikh Jamaluddin al-Qadiri.

Meski begitu, Syeikh Jamaluddin tidak senang untuk menetap lama di Batavia. Dia sentiasa menyaksikan kelakuan buruk dan rasis orang-orang Belanda dan Pemerintah Kolonial kepada rakyat pribumi, juga khususnya kepada kaum Arab. “Jika kita ingin mencatat jumlah kezaliman terhadap orang Arab yang dilakukan pemerintah, kita tidak akan mempunyai cukup baris untuk mencatatnya,” keluh kaum Arab di Batavia, “(Itu semua) tidak lain kerana mereka melihat anjing lebih baik daripada orang Arab” (bal innahum yarauna al-kalb khayrun min al-‘Arab).[6]

Setelah mendapati apa yang dia saksikan begitu menyiksa nuraninya, Syeikh Jamaluddin al-Qadiri memutuskan untuk meninggalkan kota ini.

“Saya pun berangkat ke Pulau Sulawesi yang lebih luas dari Jawa,” kata Syeikh tarekat Qadiriyah itu. Dia bersyukur ketika sampai di Makassar, dia melihat peraturan kolonial yang berlaku di sini tidak sekuat yang ada di Jawa. Menurut beliau, sebahagian besar penduduk Sulawesi adalah Muslim, dan setiap kelompok memiliki raja dan sultan Muslim yang berdaulat. Pemerintahan Kesultanan kepada rakyatnya dan pergantian jawatan sultan tidak banyak dipersoalkan Belanda jika ianya tidak menimbulkan huru-hara.[7]

Dengan aura keislamannya yang kuat, kedatangan Syeikh Jamaluddin cukup menarik perhatian masyarakat Sulawesi. Tak perlu waktu yang lama, masyarakat di sini berbondong-bondong meminta Syeikh Jamaluddin untuk mengajari mereka syariah Islam dan bimbingan dalam tarekat dan tasawuf. “Mereka memohon saya agar tinggal di negeri mereka selama sekitar satu tahun,” tulis Syeikh Jamaluddin. “Saya setuju dan tinggal bersama mereka lebih kurang 10 bulan.”

Beliau pun meneruskan ceritanya dengan lebih lanjut: “Ketika saya ingin kembali ke Istanbul, mereka menyerahkan kepada saya dua pemuda dari bangsa mereka untuk diajari Sunnah Nabi, adab dan tsaqafah yang merupakan pusat dari ilmu pengetahuan. Mereka unggul dengan akhlak-akhlak terpuji, sangat berkeinginan untuk belajar di Istanbul, dan sudah pasti mereka adalah sebaik-baiknya manusia.”

Keberangkatan pulang Syeikh Jamaluddin yang membawa dua anak Sulawesi ke Istanbul sempat mendapat halangan dari resident Belanda di Makassar. Sang Syeikh segera berunding dengan menarik Pegawai Perwakilan Uthmaniyah di Batavia untuk mematahkan rintangan perwakilan Belanda tersebut. Saat itu Ali Galip Bey sudah habis masa tugasnya. Jawatan Perwakilan Jeneral Uthmaniyah kosong kerana sedang masa peralihan pergantian jawatan. Istanbul melantik perwakilan Perancis bernama Monsieur Jouslain sebagai kaymakam (Arab: qa’im al-maqam, pelaksana tugas sementara [Plt]) perwakilan Uthmaniyah di Batavia.

Setelah berunding selama tiga bulan, usaha Syeikh Jamaluddin dan Monsieur Jouslain berjaya. Dia dan dua anak Sulawesi tersebut dapat meneruskan perjalanan ke Istanbul. Usaha ini begitu memukau penduduk Sulawesi sehingga mereka, menurut Syeikh Jamaluddin, “terus menerus berdoa kepada Allah dengan menadahkan tangan, agar Daulah ‘Aliyah (Khilafah Uthmaniyah) yang mulia sentiasa ditingkatkan kekuatan, kedudukan dan keagungannya.”

Kisah di atas adalah pengalaman yang dialami Syeikh Jamaluddin al-Qadiri, seorang sufi tarekat Qadiriyah yang berasal dari Istanbul yang pernah tinggal beberapa bulan di Sulawesi Selatan. Beliau menuliskan kisah tersebut dalam laporannya kepada Said Halim Pasa, Sadrazam (Arab: Shadr al-A’zham, wakil Khalifah Uthmaniyah alias Mu’awin Tanfidz) yang mendampingi Sultan Abdul Hamid II pada 10 Zulhijjah 1303 / 9 September 1886.[8]

Pengalamannya menarik untuk kita teliti. Dalam latar abad ke-19 yang menyaksikan makin kuatnya kolonialisme Eropah di Dunia Islam, sebahagian besar kaum Muslim mengalihkan harapan mereka untuk bebas dari penjajahan kepada Daulah Uthmaniyah. Inilah sebuah daulah yang secara terang mendeklarasikan diri sebagai Khilafah Islamiyah, dengan wilayah yang sangat luas dan menaungi tempat-tempat suci yang dihormati seluruh Muslim: Makkah al-Mukarramah, Madinah al-Munawwarah, dan Baitul Maqdis.

Kepemimpinan Khilafah Uthmaniyah sudah masyhur diakui di seluruh negeri, termasuk Indonesia yang kala itu dikenal dengan nama negeri Jawi, atau dalam istilah kolonial disebut Hindia Belanda.

Persoalannya, jika hendak diperhalusi lagi, bagaimana hubungan Khilafah Uthmaniyah dengan pulau besar di negeri Jawi yang banyak diceritakan Syeikh Jamaluddin al-Qadiri: Sulawesi? Apakah penghormatan dan pengakuan Muslim di Sulawesi kepada Khilafah–sebagaimana testimoni Syeikh Jamaluddin yang saya tempatkan sebagai kata pembuka–hanya terjadi ketika Syeikh Jamaluddin bertandang ke sana pada akhir abad ke-19, atau sudah berlangsung ratusan tahun sebelumnya?

Catatan kaki:

1 Makalah disampaikan dalam safari dakwah al-Faqir di Makassar, Palopo, Wotu, Kendari, dan Baubau selama 27 Oktober – 7 November 2022.

2 Sarjana ilmu sejarah dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2020); Penulis buku Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda: Riwayat Pan-Islamisme dari Istanbul sampai Batavia 1882-1928 (2021) dan Dafatir Sulthaniyah: Menguak Loyalitas Muslimin Jawi kepada Khilafah Utsmaniyyah (2022); Sutradara dan Script-Writer film dokumenter Jejak Khilafah di Nusantara I & II.

3 BOA, HR.SYS. 564/5. Dalam Ismail Hakki Kadi dan ACS. Peacock, Ottoman-Southeast Asian Relation: Sources from the Ottoman Archives, Jilid II (Leiden: Brill, 2020), 704-707.

4 Nicko Pandawa, Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda: Riwayat Pan-Islamisme dari Istanbul sampai Batavia, 1882-1928, (Bogor: Komunitas Literasi Islam, November 2021), 63.

5 Untuk informasi lebih lanjut mengenai Ali Galip Bey, lihat Ibid, 163-174.

6 BOA, Y.PRK.AZJ, 35/95. Dalam Ismail Hakki Kadi dan ACS. Peacock, Ottoman-Southeast Asian Relation, Jilid II, 806-807.

7 Ibid; Abu Hamid, Syekh Yusuf: Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), 12-13.

8 BOA, HR.SYS. 564/5. Dalam Ismail Hakki Kadi dan ACS. Peacock, Ottoman-Southeast Asian Relation, Jilid II, 704-707.

Sumber:

https://muslimahhtm.com/2023/07/24/jejak-khilafah-di-sulawesi-membongkar-hubungan-politik-spiritual-yang-dilupakan-i/

Share this

Previous
Next Post »
Give us your opinion