Tampilkan postingan dengan label Tsaqofah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tsaqofah. Tampilkan semua postingan

Fiqh Puasa dan Keutamaannya

Fiqh Puasa dan Keutamaannya

DR Nasrul Syarif M.Si.

Penulis Buku Gizi Spiritual dan Buku Buatlah Tanda di Alam Semesta

Tsaqofatuna.id - Sobat. Sebentar lagi kita akan memasuki bulan suci Ramadhan, Maka sudah seharusnya kita belajar mengenai Fiqh Puasa Ramadhan. Syarat-syarat wajib puasa itu : Islam, Baligh, berakal sehat dan mampu berusaha.

Sebagaimana firman-Nya :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” ( QS. Al-Baqarah (2) : 183 )

Sobat. Para ulama banyak memberikan uraian tentang hikmah berpuasa, misalnya: untuk mempertinggi budi pekerti, menimbulkan kesadaran dan kasih sayang terhadap orang-orang miskin, orang-orang lemah yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, melatih jiwa dan jasmani, menambah kesehatan dan lain sebagainya.

Uraian seperti di atas tentu ada benarnya, walaupun tidak mudah dirasakan oleh setiap orang. Karena, lapar, haus dan lain-lain akibat berpuasa tidak selalu mengingatkan kepada penderitaan orang lain, malah bisa mendorongnya untuk mencari dan mempersiapkan bermacam-macam makanan pada siang hari untuk melepaskan lapar dan dahaganya di kala berbuka pada malam harinya.

Begitu juga tidak akan mudah dirasakan oleh setiap orang berpuasa, bahwa puasa itu membantu kesehatan, walaupun para dokter telah memberikan penjelasan secara ilmiah, bahwa berpuasa memang benar-benar dapat menyembuhkan sebagian penyakit, tetapi ada pula penyakit yang tidak membolehkan berpuasa. Kalau diperhatikan perintah berpuasa bulan Ramadan ini, maka pada permulaan ayat 183 secara langsung Allah menunjukkan perintah wajib itu kepada orang yang beriman.

Orang yang beriman akan patuh melaksanakan perintah berpuasa dengan sepenuh hati, karena ia merasa kebutuhan jasmaniah dan rohaniah adalah dua unsur yang pokok bagi kehidupan manusia yang harus dikembangkan dengan bermacam-macam latihan, agar dapat dimanfaatkan untuk ketenteraman hidup yang bahagia di dunia dan akhirat.

Pada ayat 183 ini Allah mewajibkan puasa kepada semua manusia yang beriman, sebagaimana diwajibkan kepada umat-umat sebelum mereka agar mereka menjadi orang yang bertakwa. Jadi, puasa sungguh penting bagi kehidupan orang yang beriman. Kalau kita selidiki macam-macam agama dan kepercayaan pada masa sekarang ini, dijumpai bahwa puasa salah satu ajaran yang umum untuk menahan hawa nafsu dan lain sebagainya.

Perintah berpuasa diturunkan pada bulan Sya'ban tahun kedua Hijri, ketika Nabi Muhammad saw mulai membangun pemerintahan yang berwibawa dan mengatur masyarakat baru, maka dapat dirasakan, bahwa puasa itu sangat penting artinya dalam membentuk manusia yang dapat menerima dan melaksanakan tugas-tugas besar dan suci.

أَيَّامٗا مَّعۡدُودَٰتٖۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدۡيَةٞ طَعَامُ مِسۡكِينٖۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيۡرٗا فَهُوَ خَيۡرٞ لَّهُۥۚ وَأَن تَصُومُواْ خَيۡرٞ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ

“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” ( QS. Al-Baqarah (2) : 184 )

Sobat. Ayat 184 dan permulaan ayat 185, menerangkan bahwa puasa yang diwajibkan ada beberapa hari yaitu pada bulan Ramadan menurut jumlah hari bulan Ramadan (29 atau 30 hari). Nabi Besar Muhammad saw semenjak turunnya perintah puasa sampai wafatnya, beliau selalu berpuasa di bulan Ramadan selama 29 hari, kecuali satu kali saja bulan Ramadan genap 30 hari.

Sekalipun Allah telah mewajibkan puasa pada bulan Ramadan kepada semua orang yang beriman, namun Allah yang Mahabijaksana memberikan keringanan kepada orang-orang yang sakit dan musafir, untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadan dan menggantinya pada hari-hari lain di luar bulan tersebut. Pada ayat tersebut tidak dirinci jenis/sifat batasan dan kadar sakit dan musafir itu, sehingga para ulama memberikan hasil ijtihadnya masing-masing antara lain sebagai berikut:

1. Dibolehkan tidak berpuasa bagi orang yang sakit atau musafir tanpa membedakan sakitnya itu berat atau ringan, demikian pula perjalanannya jauh atau dekat, sesuai dengan bunyi ayat ini. Pendapat ini dipelopori oleh Ibnu Sirin dan Dawud az-Zahiri.

2. Dibolehkan tidak berpuasa bagi setiap orang yang sakit yang benar-benar merasa kesukaran berpuasa, karena sakitnya. Ukuran kesukaran itu diserahkan kepada rasa tanggung jawab dan keimanan masing-masing. Pendapat ini dipelopori oleh sebagian ulama tafsir.

3. Dibolehkan tidak berpuasa bagi orang yang sakit atau musafir dengan ketentuan-ketentuan, apabila sakit itu berat dan akan mempengaruhi keselamatan jiwa atau keselamatan sebagian anggota tubuhnya atau menambah sakitnya bila ia berpuasa. Juga bagi orang-orang yang musafir, apabila perjalanannya itu dalam jarak jauh, yang ukurannya paling sedikit 16 farsakh (kurang lebih 80 km).

4. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai perjalanan musafir, apakah dengan berjalan kaki, atau dengan apa saja, asalkan tidak untuk mengerjakan perbuatan maksiat. Sesudah itu Allah menerangkan pada pertengahan ayat 184 yang terjemahannya, "Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan orang miskin."

Menurut ayat itu (184), siapa yang benar-benar merasa berat menjalankan puasa, ia boleh menggantinya dengan fidyah, walaupun ia tidak sakit dan tidak musafir.

Termasuk orang-orang yang berat mengerjakan puasa itu ialah:

a. Orang tua yang tidak mampu berpuasa, bila ia tidak berpuasa diganti dengan fidyah.

b. Wanita hamil dan yang sedang menyusui. Menurut Imam Syafi'i dan Ahmad, bila wanita hamil dan wanita yang sedang menyusui khawatir akan terganggu kesehatan janin/bayinya, lalu mereka tidak puasa, maka wajib atas keduanya mengqada puasa yang ditinggalkannya, dan membayar fidyah. Bila mereka khawatir atas kesehatan diri mereka saja yang terganggu dan tidak khawatir atas kesehatan janin/bayinya, atau mereka khawatir atas kesehatan dirinya dan janin/bayinya, lalu mereka tidak puasa, maka wajib atas mereka diqada puasa saja. Sedangkan menurut Abu Hanifah, ibu hamil dan yang sedang menyusui dalam semua hal yang disebutkan di atas, cukup mengqada puasa saja.

c. Orang-orang sakit yang tidak sanggup berpuasa dan penyakitnya tidak ada harapan akan sembuh, hanya diwajibkan membayar fidyah.

d. Mengenai buruh dan petani yang penghidupannya hanya dari hasil kerja keras dan membanting tulang setiap hari, dalam hal ini ulama fikih mengemukakan pendapat sebagai berikut:

1) Ibnu Hajar dan Imam al-Azra'i telah memberi fatwa, "Sesungguhnya wajib bagi orang-orang pengetam padi dan sebagainya dan yang serupa dengan mereka, berniat puasa setiap malam Ramadan. Apabila pada siang harinya ia ternyata mengalami kesukaran atau penderitaan yang berat, maka ia boleh berbuka puasa. Kalau tidak demikian, ia tidak boleh berbuka. )

2) Kalau seseorang yang pencariannya tergantung kepada suatu pekerjaan berat untuk menutupi kebutuhan hidupnya atau kebutuhan hidup orang-orang yang harus dibiayainya dimana ia tidak tahan berpuasa maka ia boleh berbuka pada waktu itu," (dengan arti ia harus berpuasa sejak pagi).

Akhir ayat 184 menjelaskan orang yang dengan rela hati mengerjakan kebajikan dengan membayar fidyah lebih dari ukurannya atau memberi makan lebih dari seorang miskin, maka perbuatan itu baik baginya. Sesudah itu Allah menutup ayat ini dengan menekankan bahwa berpuasa lebih baik daripada tidak berpuasa.

Sobat. Hal-hal yang di fardhukan dalam puasa ada empat, yakni : 1. Berniat. 2. Menahan diri dari makan dan minuman serta yang membatalkan puasa.3. Menjauhi hubungan suami isteri ( bersanggama ). 4. Menghindari muntah dengan sengaja.

Niat puasa harus dilakukan sebelum terbit fajar untuk setiap harinya. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW :

“ Barangsiapa tidak meniatkan puasanya pada malam hari sebelum fajar terbit, maka tiada sah puasa itu baginya.”( HR ad-Darquthni dan yang lain )

Adapun hal-hal yang membatalkan puasa menurut Fiqh Madzhab Syafií ada sepuluh perkara :

1. Sengaja melakukan sesuatu ke dalam rongga badan.

2. Sengaja memasukkan sesuatu ke dalam kepala.

3. Memasukkan obat melalui salah satu dari dua jalan yakni kelamin (qubul) dan anus (dubur).

4. Sengaja memuntahkan diri.

5. Berhubungan seksual.

6. Keluarnya mani’ (Sperma) yang muncul karena cumbu rayu seperti meraba, mencium, dan lain-lain.

7. Haid

8. Nifas

9. Gila

10. Murtad.

Ada tiga hal yang disunnahkan dalam puasa yakni : Segera berbuka, mengakhiri makan sahur dan menjauhi perkataan yang buruk. Rasulullah SAW bersabda, “ Orang-orang yang sedang berpuasa senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka bersegera dalam berbuka puasa dan mengakhirkan makan sahur.” ( HR. Ahmad )

Sebaiknya orang yang sedang berpuasa berbuka dengan beberapa butir kurma atau minum seteguk air. Kemudian ia menunaikan sholat maghrib, dan jika mau, ia boleh langsung makan ( Setelah sholat ).

Dan , cara mengakhirkan sahur adalah : Hendaknya ia memperkirakan bahwa akhir dari aktivitas makan dan minumnya dapat diselesaikan sesaat sebelum terbit fajar.

Adapun puasa yang diharamkan untuk dilakukan pada lima hari berikut ini : dua hari raya ( Idul Fitri dan Idul adha ) dan tiga hari tasyriq yaitu tanggal 11,12, dan 13 Dzulhijjah.

Sobat. Adapun keutamaan bulan Ramadahan disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya :

شَهۡرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِيٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلۡقُرۡءَانُ هُدٗى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٖ مِّنَ ٱلۡهُدَىٰ وَٱلۡفُرۡقَانِۚ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهۡرَ فَلۡيَصُمۡهُۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۗ يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ وَلِتُكۡمِلُواْ ٱلۡعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمۡ وَلَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” ( QS. Al-Baqarah (2) : 185)

Sobat. Ayat ini menerangkan bahwa pada bulan Ramadan, Al-Qur'an diwahyukan. Berkaitan dengan peristiwa penting ini, ada beberapa informasi Al-Qur'an yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk menetapkan waktu pewahyuan ini. Ayat-ayat itu antara lain surah al-Qadar/97: 1, ayat ini mengisyaratkan bahwa Al-Qur'an diwahyukan pada malam yang penuh dengan kemuliaan atau malam qadar. Surah ad-Dukhan/44: 3, ayat ini mengisyaratkan bahwa Al-Qur'an diturunkan pada malam yang diberkahi. Surah al-Anfal/8: 41, ayat ini mengisyaratkan bahwa Al-Qur'an itu diturunkan bertepatan dengan terjadinya pertemuan antara dua pasukan, yaitu pasukan Islam yang dipimpin Nabi Muhammad dengan tentara Quraisy yang dikomandani oleh Abu Jahal, pada perang Badar yang terjadi pada tanggal 17 Ramadan.

Dari beberapa informasi Al-Qur'an ini, para ulama menetapkan bahwa Al-Qur'an diwahyukan pertama kali pada malam qadar, yaitu malam yang penuh kemuliaan, yang juga merupakan malam penuh berkah, dan ini terjadi pada tanggal 17 Ramadan, bertepatan dengan bertemu dan pecahnya perang antara pasukan Islam dan tentara kafir Quraisy di Badar, yang pada saat turun wahyu itu Muhammad berusia 40 tahun.

Selanjutnya peristiwa penting ini ditetapkan sebagai turunnya wahyu yang pertama dan selalu diperingati umat Islam setiap tahun di seluruh dunia.

Berkenaan dengan malam qadar, terdapat perbedaan penetapannya, sebagai saat pertama diturunkannya Al-Qur'an, dan malam qadar yang dianjurkan Nabi Muhammad kepada umat Islam untuk mendapatkannya. Yang pertama ditetapkan terjadinya pada tanggal 17 Ramadan, yang hanya sekali terjadi dan tidak akan terulang lagi. Sedangkan yang kedua, sesuai dengan hadis Nabi, terjadi pada sepuluh hari terakhir Ramadan, bahkan lebih ditegaskan pada malam yang ganjil. Malam qadar ini dapat terjadi setiap tahun, sehingga kita selalu dianjurkan untuk mendapatkannya dengan persiapan yang total yaitu dengan banyak melaksanakan ibadah sunah pada sepuluh hari terakhir Ramadhan.

Ayat ini juga menjelaskan puasa yang diwajibkan ialah pada bulan Ramadan. Untuk mengetahui awal dan akhir bulan Ramadan Rasulullah saw telah bersabda:

Berpuasalah kamu karena melihat bulan (Ramadan) dan berbukalah kamu, karena melihat bulan (Syawal), apabila tertutup bagi kamu, (dalam satu) riwayat mengatakan: Apabila tertutup bagi kamu disebabkan cuaca yang berawan), maka sempurnakanlah bulan Sya'ban tiga puluh hari (dan dalam satu riwayat Muslim "takdirkanlah" atau hitunglah bulan Sya'ban tiga puluh hari). (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Mengenai situasi bulan yang tertutup baik karena keadaan cuaca, atau memang karena menurut hitungan falakiyah belum bisa dilihat pada tanggal 29 malam 30 Sya'ban, atau pada tanggal 29 malam 30 Ramadan, berlaku ketentuan sebagai berikut: Siapa yang melihat bulan Ramadan pada tanggal 29 masuk malam 30 bulan Sya'ban, atau ada orang yang melihat bulan, yang dapat dipercayai, maka ia wajib berpuasa keesokan harinya. Kalau tidak ada terlihat bulan, maka ia harus menyempurnakan bulan Sya'ban 30 hari. Begitu juga siapa yang melihat bulan Syawal pada tanggal 29 malam 30 Ramadan, atau ada yang melihat, yang dapat dipercayainya, maka ia wajib berbuka besok harinya. Apabila ia tidak melihat bulan pada malam itu, maka ia harus menyempurnakan puasa 30 hari.

Dalam hal penetapan permulaan hari puasa Ramadan dan hari raya Syawal agar dipercayakan kepada Imam ( Khalifah/Amirul mukminin ), sehingga kalau ada perbedaan pendapat bisa dihilangkan dengan satu keputusan pemerintah, sesuai dengan kaidah yang berlaku:

أمر الامام يرفع الخلاف

"Putusan Imam (khalifah) itu menghilangkan perbedaan pendapat (di kalangan fukoha )."

Orang yang tidak dapat melihat bulan pada bulan Ramadan seperti penduduk yang berada di daerah kutub utara atau selatan di mana terdapat enam bulan malam di kutub utara dan enam bulan siang di kutub selatan, maka hukumnya disesuaikan dengan daerah tempat turunnya wahyu yaitu Mekah dimana daerah tersebut dianggap daerah mu'tadilah (daerah sedang atau pertengahan) atau diperhitungkan kepada tempat yang terdekat dengan daerah kutub utara dan kutub selatan.

Pada ayat 185 ini, Allah memperkuat ayat 184, bahwa walaupun berpuasa diwajibkan, tetapi diberi kelonggaran bagi orang-orang yang sakit dan musafir untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadan dan menggantikannya pada hari-hari lain. Pada penutup ayat ini Allah menekankan agar disempurnakan bilangan puasa dan menyuruh bertakbir serta bersyukur kepada Allah atas segala petunjuk yang diberikan.

Rasulullah SAW bersabda, " Sesungguhnya orang-orang yang berpuasa itu memiliki pintu khusus di surga yang disebut dengan Ar-Rayyan, dari pintu inilah orang-orang yang berpuasa akan memasukinya dan tiada seorang pun selainmereka yang dapat memasuki pintu tersebut. Ketika ditanya pada hari kiamat, "Dimanakah orang-orang yang berpuasa?" Mereka pun berdiri dan memasuki pintu tersebut. ketika mereka telah masuk, maka pintu itupun tertutup sehingga tidak dapat dimasuki oleh seorang pun selain mereka."

Meneladani Rasulullah ﷺ Dalam Mencapai Apa yang Dijanjikan Alllah SWT

Meneladani Rasulullah ﷺ Dalam Mencapai Apa yang Dijanjikan Alllah SWT

Tsaqofatuna.id - Narator MMC menjelaskan bahwa Allah SWT menjanjikan kekuasaan bagi kaum Muslimin yang itu tidak akan turun dan didapatkan begitu saja, maka Rasulullah ﷺ memberikan teladan dalam mencapai apa yang dijanjikan oleh Allah SWT.

“Rasulullah telah memberikan teladan dalam mencapai apa yang telah dijanjikan Allah SWT, dengan cara dakwah pemikiran yang akan merubah pemikiran umat tentang pentingnya penerapan syariat Islam,” ujarnya dalam History Insight: Luas Wilayah Kekuasaan Khilafah Mencapai 2/3 Dunia, di kanal YouTube Muslimah Media Center, Selasa (16/1/2024).

“Diriwayatkan Tsauban bahwa Rasulullah saw bersabda:

أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى زَوَى لِي الْأَرْضَ حَتَّى رَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَأَعْطَانِي الْكَنْزَيْنِ الْأَحْمَرَ وَالْأَبْيَضَ ثُمَّ ذَكَرَ نَحْوَ حَدِيثِ أَيُّوبَ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ

Bahwa nabi Allah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: "Sesungguhnya Allah menghimpun bumi untukku hingga aku melihat timur dan baratnya, dan Ia memberiku dua harta simpanan; merah dan putih." Selanjutnya ia menyebut seperti hadits Ayyub dari Abu Qilabah. [Hadits Muslim Nomor 5144],”imbuhnya.

Narator melanjutkan, dengan bedirinya Daulah Islam di Madinah Rasulullah ﷺ tidak lantas berdiam diri tetapi terus menyebarkan dakwah Islam lebih luas dengan jihad, diperlukan pasukan untuk menghilangkan penghalang, hal itu tampak dalam perjuangan Rasulullah ﷺ mendakwahkan Islam di wilayah Jazirah Arab.

“Peristiwa penaklukan juga terjadi pada masa khulafaur Rasyidin di mana Khilafah Islamiah berhasil memfutuhati wilayah-wilayah kekuasaan imperium Persia, di sisi timur yang saat ini kita kenal sebagai daerah Irak dan Iran,” bebernya.

“Syeikh Ali Muhammad Assholabi dalam bukunya bangkit dan runtuhnya Khilafah Utsmaniah menjelaskan perluasan wilayah kekuasaan Islam di bawah Khilafah Utsmaniah mencapai 2/3 dunia meliputi sebagian Asia, Afrika dan Eropa, inilah fakta sejarah yang tidak dirubah, meski ada upaya untuk menutupi kegemilangan Islam,”pungkasnya.[] Lukman Indra Bayu

Syekh Muhammad Abduh Membagi Ilmu Tafsir Menjadi Dua Tingkatan

Syekh Muhammad Abduh Membagi Ilmu Tafsir Menjadi Dua Tingkatan

Tsaqofatuna.id - Ustaz Ishaq Pengasuh Majelis Ta’lim Nurul Furqon menjelaskan dalam kitab At-Tibyan Fii Ulumil Quran karya Muhammad Ali Ash-Shabuni bahwa Syekh Muhammad Abduh membagi tingkatan-tingkatan ilmu tafsir menjadi dua tingkatan.

“Dalam tingkatan-tingkatan tafsir, Syekh Muhammad Abduh membagi Ilmu Tafsir kepada dua tingkatan, tingkatan yang paling tinggi (المرتبة العليا) dan tingkatan yang paling rendah (المرتبة الدنيا),” jelasnya dalam Kajian Kitab At-Tibyan Fi Ulumil Quran: Tingkatan-tingkatan Tafsir, Selasa (28/3/2023), di Kanal YouTube NgajiPro ID.

Ia menjelaskan, ada beberapa hal yang harus dipenuhi agar sempurna dalam mencapai tingkatan yang paling tinggi (المرتبة العليا). Pertama, memahami hakikat kosa kata yang disebutkan dalam Al Qu’an menurut metode ahli bahasa.

“Artinya mengetahui mufradnya misalkan makna, cara memahami ini adalah diantaranya banyak melihat kepada lughoh, kamus mufradatul qur’an semua sudah cukup,” jelasnya.

Kedua, lanjutnya, mengetahui uslub-uslub yang tinggi, yang demikian itu akan berhasil jika terus menerus berkecimpung di kallam orang Arab yang fasih dengan menekuni, meresapi dalam hal-hal yang unik dan keindahan nya. Adapum yang ketiga, ilmu tentang keadaan atau budaya manusia di zaman itu dan mengetahui sunah-sunah ilahiah dalam perkembangan umat terdahulu dan keadaan mereka dari kekuatan kelemahan, baik buruk dan keimanan kekufuran nya.

“Mengetahui keadaan manusia khususnya di zaman dulu, ketika Allah SWT menceritakan Nabi Yusuf, kita harus tahu keadaan Nabi Yusuf, bagaimana itu tentang kauniyah ini dan itu.Kita harus tahu seakan-akan kita ada di zamannya sehingga kita nanti mantep,” ujarnya.

Ia pun juga melanjutkan yang keempat, mengetahui arah petunjuk hidayah Al Qur’an dari kemanusian dan juga mengetahui apa yang terjadi di orang Arab Jahiliyah dari kehancuran dan kesesatan mereka. Ia pun mencontohkan tentang pensyari’atan ta’addud (poligami) dalam surat An-Nisa ayat 3.

“Ia harus mengetahui arah Qur’an ini kemana dalam memberi pentujuk, dan orang Arab ini kemana, kita bisa mengarahkan. Ketika Allah mesyari’atkan ta’addud (poligami) justru ini memuliakan wanita, karena dulu banyak laki-laki menikah banyak dan tidak terurus istrinya,” ungkapnya.

“Kalau dia buta tentang masa jahiliyah, sejarah jahiliyah lalu hanya tahu tentang Islamnya saja maka dia tidak akan mengetahui keutamaan Islam, tidak tahu betul apa itu Islam,” tambahnya.

Adupun yang kelima, ia menjelaskan bahwa mengetahui siroh nabi Muhammad ﷺ dan sahabatnya apa yang mereka ketahui dan perbuat baik itu berupa perkara dunia akhirat.

“Banyak ternyata hal-hal yang kayak gini, jika kita mengetahui dan ingin betul-betul menjadi orang yang ahli dalam Ilmu Tafsir, makanya kalau kita membaca ini semakin nampak, kita ini jauh sekali para Ulama, bodoh sekali kita ini,” pungkasnya. [] Lukman Indra Bayu

Tambang Milik Umum dan Milik Pribadi

Tambang Milik Umum dan Milik Pribadi
Ustadz Labib: Sebuah Kezaliman Menjamu Israel yang Memerangi Palestina

Yahya Abdurrahman

قَالَ ابْنُ الْمُتَوَكِّلِ: ابْنِ عَبْدِ الْمَدَانِ، عَنْ أَبْيَضَ بْنِ حَمَّالٍ، أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ – قَالَ ابْنُ الْمُتَوَكِّلِ: الَّذِي بِمَأْرِبَ فَقَطَعَهُ لَهُ – فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِسِ: أَتَدْرِي مَا قَطَعْتَ لَهُ؟ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ، قَالَ : فَانْتَزَعَ مِنْهُ

Tsaqofatuna.id - Ibnu al-Mutawakkil bin Abdi al-Madan berkata, dari Abyadh bin Hamal, bahwa dia pernah datang menemui Rasulullah saw. dan meminta diberi tambang garam—Ibnu al-Mutawakkil berkata—yang ada di Ma’rib. Lalu Rasul saw. memberikan tambang itu kepada Abyadh. Ketika Abyadh pergi, salah seorang laki-laki dari majelis berkata, “Apakah Anda tahu apa yang Anda berikan kepada dia? Tidak lain Anda memberi dia air yang terus mengalir.” Dia (Ibnu al-Mutawakkil) berkata: Lalu beliau menarik kembali tambang itu dari dia (Abyadh bin Hamal) (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Hibban, al-Baihaqi dan ath-Thabarani. Redaksi menurut Abu Dawud).

Imam at-Tirmidzi berkomentar, “Hadis Abyadh adalah hadis gharib.”

Ibnu Hibban meriwayatkan hadis ini di dalam Shahîh-nya. Syaikh Nashiruddin al-Albani menilai hadis ini hasan. Ibnu al-Qathan menilai hadis ini dha’if karena menurutnya selain Abyadh adalah majhul. Namun, Ibnu al-Mulaqin di dalam Badru al-Munîr mengatakan, “Tidak seperti yang dia (Ibnu al-Qathan) katakan. Saya telah menjelaskan hal itu di dalam takhrij saya untuk hadis-hadis Al-Wasîth. Karena itu rujuklah, nisacaya Anda akan mendapati apa yang menjelaskan jalur-jalurnya dan jawaban bagi orang yang menilainya cacat dan yang menetapkan ragam ungkapannya serta yang lain.”

Hadits ini dijadikan hujjah oleh para imam fuqaha seperti tercantum di dalam Al-Umm, Al-Mughni, Al-Majmû’, dsb. Sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Khathabi di dalam Ma’âlim as-Sunan, hadis yang demikian adalah hadis hasan.

Yang dimaksud ucapan Abyadh “istaqtha’a al-milha” adalah ma’din (mineral/barang tambang) garam. Dia meminta tambang itu agar diberikan kepada dirinya sehingga menjadi miliknya. Al-Ma’rib yang dimaksud adalah satu tempat di Yaman. Menurut Mula al-Qari di dalam Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh dan Abu Thayyib di dalam ‘Awn al-Ma’bûd, “Laki-laki yang mengatakan bahwa tambang itu seperti al-mâ`u al-‘iddu adalah al-Aqra’ bin Habis at-Tamimi. Ini seperti yang disebutkan oleh ath-Thayibi. Dikatakan bahwa dia adalah al-‘Abbas bin Mirdas.”

Dalam riwayat Ibnu Majah dan ath-Thabarani, laki-laki itu adalah al-Aqra’ bin Habis at-Tamimi. Dalam hadis ini, semula Rasul saw memberikan tambang garam di Ma’rib itu kepada Abyadh bin Hamal. Namun, setelah diberitahu bahwa itu seperti al-mâ‘u al-‘iddu, maka Rasul saw. menarik kembali tambang garam itu. Ini menunjukkan bahwa tambang yang sifatnya seperti al-mâ‘u al-‘iddu tidak boleh diberikan kepada individu, yakni tidak boleh dikuasai dan dimiliki oleh individu. Hal itu memberikan pemahaman bahwa sifat seperti al-mâ‘u al-‘iddu itu menjadi sebab (‘illat) penarikan kembali pemberian itu.

Ibnu Zanjawaih, di dalam kitabnya, Al-Amwal mengatakan, “Pemberian beliau (Rasul saw.) kepada Abyadh bin Hamal, garam di Ma’rib, kemudian beliau tarik kembali dari dia, tidak lain beliau berikan kepada dia, dan itu dalam pandangan beliau adalah tanah mati yang dihidupkan dan dimakmurkan oleh Abyadh. Lalu ketika menjadi jelas bagi Nabi saw. bahwa itu al-‘iddu, yaitu yang zatnya tidak terputus, semisal mata air dan sumur, maka beliau menarik kembali tambang tersebut. Sebab Sunnah Nabi saw. dalam padang, api dan air, bahwa manusia semuanya berserikat padanya. Karena itu beliau tidak suka menjadikan barang-barang itu untuk dikuasai seseorang dengan menghalangi orang lain.”

Hadis Abyadh bin Hamal itu menunjukkan secara manthhuq bahwa tambang yang seperti al-mâ‘u al-‘iddu itu tidak boleh diberikan kepada individu, yakni tidak boleh dikuasai atau dimiliki oleh individu. Secara mafhum-nya hadis ini menunjukkan, jika tambang itu tidak seperti al-mâ‘u al-’iddu maka boleh diberikan kepada individu dan boleh dimiliki oleh individu. Rasul saw. pun pernah memberikan tambang al-Qabaliyah kepada Bilal bin Harits al-Muzani dan beliau menuliskan dokumen pemberian itu. Dari riwayat Ibnu Zanjawaih di dalam Al-Amwâl halaman 742 hadis nomor 1267, terkait penjualan tanah itu oleh keturunan Bilal kepada Umar bin Abdul Aziz, tambang al-Qabaliyah itu termasuk bahan tambang di dalam tanah yang untuk mengeluarkannya perlu biaya.

Jadi status kepemilikan tambang dikaitkan dengan sifat al-mâ‘u al-‘iddu. Sifat ini bisa dipahami menjadi ‘illat ketidakbolehan suatu tambang dimiliki oleh individu. Adapun makna al-mâ‘u al-‘iddu, di al-Qâmûs al-Muhîth maknanya adalah air yang memiliki deposit yang tidak terputus seperti mata air. Makna ini yang dikuatkan oleh al-Azhari.

Menurut al-Asma’iy, al-mâ‘u al-‘iddu, yakni yang terus-menerus yang tidak terputus. Itu semisal air mata air dan air sumur. Menurut Al-Hafizh as-Suyuthi di dalam Qût al-Mughtadzâ ‘alâ Jâmi’ at-Tirmidzî dan Abu Thayyib al-Abadi di dalam ‘Awn al-Ma’bûd, al-mâ‘u al-‘iddu adalah yang zatnya terus-menerus tidak terputus. Menurut Ibnu al-Atsir di dalam Jâmi’ al-Ushûl, al-mâ‘u al-‘iddu adalah air yang mengalir terus yang zatnya tidak terputus karena banyak dan melimpah.

Dengan demikian tambang yang depositnya besar, berdasarkan hadis Abyadh bin Hamal itu, tidak boleh diserahkan dan tidak boleh dimiliki oleh individu. Penyamaannya dengan al-mâ‘u al-‘iddu, yang itu disetujui dan dibenarkan oleh Rasul saw. dan menjadi sebab penarikan beliau atas pemberiannya kepada Abyadh, juga mengisyaratkan bahwa status kepemilikannya seperti air yang terus mengalir yakni seperti halnya mata air. Artinya, sama seperti mata air yang terus mengalir, status tambang yang depositnya besar itu adalah milik umum, yakni semua rakyat berserikat di dalamnya.

Jadi yang menjadi penentu adalah jumlah deposit bahan tambang itu, tanpa membedakan jenisnya, apakah bahan tambang permukaan yang untuk mengambilnya tidak memerlukan alat dan biaya; ataukah bahan tambang di dalam tanah yang untuk mengambilnya perlu alat, biaya dan keahlian. Selanjutnya, negaralah (imam atau khalifah) yang menentukan batasan jumlah deposit suatu bahan tambang yang sudah dinilai memenuhi sifat al-mâ‘u al-‘iddu, yang karenanya tidak boleh dimiliki oleh inidvidu atau swasta; melainkan statusnya adalah milik umum seluruh rakyat.

WalLâh a’lam.

Sumber:

tsaqofah.id

Hadiah

Hadiah

Oleh: Yahya Abdurrahman

Tsaqofatuna.id- Hadiah (hadiyyah) berasal dari kata hadâ wa ahdâ. Bentuk pluralnya hadâyâ atau hadâwâ menurut bahasa penduduk Madinah. Hadiah secara bahasa berarti sesuatu yang Anda berikan (mâ athafa bihi).1 Pengertian ini belum cukup karena tidak semua pemberian merupakan hadiah. Pemberian itu bisa berupa sedekah, wakaf, hibah, pinjaman ataupun wasiat.

Secara istilah, dalam al-Qâmûs al-Fiqhî dinyatakan, menurut ulama Syafiiyah, Hanabilah, Hanafiyah dan Malikiyah, hadiah adalah tamlîku ’ayn bi lâ ’iwadh ikrâm[an] ilâ al-muhdâ ilayh (pemindahan pemilikan suatu harta tanpa kompensasi sebagai penghormatan kepada orang yang diberi hadiah).2 Dalam Mu’jam Lughah al-Fukahâ’, hadiah adalah al-’athiyah bi lâ ’iwadh ikrâman (pemberian tanpa kompensasi sebagai suatu penghormatan). Hadiah juga bermakna i’thâ’ syay’[in] bighayr ‘iwadh shilat[an] wa taqarrub[an] wa ikrâm[an] (pemberian sesuatu tanpa kompensasi karena adanya hubungan, untuk menjalin kedekatan dan sebagai bentuk penghormatan).3

Yang jelas, hadiah merupakan pemindahan pemilikan atas suatu harta dan bukan hanya manfaatnya. Kalau yang diberikan adalah manfaatnya sementara zatnya tidak maka itu merupakan pinjaman (i’ârah). Karenanya hadiah haruslah merupakan tamlîkan li al-’ayn (pemindahan/penyerahan pemilikan atas suatu harta kepada pihak lain). Penyerahan pemilikan itu harus dilakukan semasa masih hidup karena jika sesudah mati maka merupakan wasiat. Di samping itu penyerahan pemilikan yang merupakan hadiah itu harus tanpa kompensasi (tamlîkan li al-’ayn bi lâ ’iwadh), karena jika dengan kompensasi maka bukan hadiah melainkan jual-beli (al-bay’).

Pengertian itu belum spesifik menunjuk hadiah. Menurut para ulama, tamlîkan li al-’ayn itsnâ’ al-hayah bi lâ ’iwadh ini merupakan hibah, sementara hibah itu mencakup tiga macam: hibah dalam arti khusus, sedekah dan hadiah. Imam an-Nawawi mengatakan:4

Imam Syafii membagi tabarru‘ât (pemberian) seseorang kepada yang lain menjadi dua bagian: yang dikaitkan dengan kematian dan itu adalah wasiat; yang dilakukan saat masih hidup. Pemberian saat masih hidup ini ada dua bentuk: murni pemindahan pemilikan seperti hibah, sedekah dan wakaf. Yang murni pemindahan pemilikan itu ada tiga macam: hibah, sedekah sunah dan hadiah. Jalan untuk menentukannya adalah kita katakan pemindahan pemilikan tanpa kompensasi (tamlîk bi lâ ‘iwadh), jika ditambah (adanya) pemindahan sesuatu yang dihibahkan dari suatu tempat ke tempat orang yang diberi hibah (dimana pemberian itu) sebagai penghormatan (ikrâman) maka itu adalah hadiah. Jika ditambah bahwa pemindahan pemilikan itu ditujukan kepada orang yang membutuhkan, sebagai suatu taqarrub kepada Allah dan untuk meraih pahala akhirat maka itu adalah sedekah.

Perbedaan hadiah dari hibah adalah dipindahkannya sesuatu yang dihibahkan dari suatu tempat ke tempat lain. Karena itu, lafal hadiah tidak bisa digunakan dalam hal property. Dengan demikian, tidak dikatakan, “Saya menghadiahkan rumah atau tanah.” Akan tetapi, hadiah itu digunakan dalam hal harta bergerak yang bisa dipindah-pindahkan seperti pakaian, hamba sahaya, dsb. Walhasil, dari macam-macam itu bisa dibedakan antara yang umum dan yang khusus. Jadi semua hadiah dan sedekah merupakan hibah, tetapi tidak sebaliknya.

Ketentuan Tentang Hadiah

Hadiah sebagai bagian dari hibah kehendaknya bisa datang dari satu pihak saja, yaitu dari pihak pemberi hadiah. Namun, para fukaha tetap mengklasifikasikan hibah, termasuk di dalamnya hadiah, sebagai akad. Hal itu karena meski kehendaknya bisa dari satu pihak saja, namun jika penerima hibah atau penerima hadiah itu menolaknya maka hibah atau hadiah itu tidak sempurna.

Sebagai sebuah akad, hadiah memiliki tiga rukun. Pertama, adanya al-‘âqidân, yaitu pihak pemberi hadiah (al-muhdî) dan pihak yang diberi hadiah (al-muhdâ ilayh). Al-Muhdî haruslah orang yang layak melakukan tasharruf, pemilik harta yang dihadiahkan dan tidak dipaksa. Al-Muhdâ ilayh disyaratkan harus benar-benar ada saat akad. Ia tidak harus orang yang layak melakukan tasharruf saat akad hadiah itu. Jika al-muhdâ ilayh masih kecil atau gila maka penerimaan hadiah diwakili oleh wali atau mushi-nya.

Kedua, adanya ijab dan qabul. Hanya saja, dalam hal ini tidak harus dalam bentuk redaksi (shighat) lafzhiyah. Hal itu karena pada masa Nabi saw., hadiah dikirimkan kepada Beliau dan Beliau menerimanya, juga Beliau mengirimkan hadiah tanpa redaksi lafzhiyah. Fakta seperti itu menjadi fakta umum pada masa itu dan setelahnya.

Akad hadiah merupakan al-‘aqd al-munjiz, yaitu tidak boleh berupa al-‘aqd al-mu’alaq (akad yang dikaitkan dengan suatu syarat) dan tidak boleh berupa al-‘aqd al-mudhâf (akad yang disandarkan pada waktu yang akan datang). Contoh al-‘aqd al-mu’alaq, jika seseorang berkata, “Saya menghadiahkan satu juta kepada Anda jika Anda pergi ke Bandung.” Akad hadiah ini tidak sah. Contoh al-‘aqd al-mudhâf, jika dikatakan, “Saya menghadiahkan sepeda ini kepada Anda mulai bulan depan.” Akad ini juga tidak sah. Sebagai al-‘aqd al-munjiz, implikasi akad hadiah itu langsung berlaku begitu sempurna akadnya dan terjadi al-qabdh. Artinya, al-muhdâ (hadiah) itu telah sah dimiliki oleh orang yang diberi hadiah.

Ketiga, harta yang dihadiahkan (al-muhdâ). Al-Muhdâ (barang yang dihadiahkan) disyaratkan harus jelas (ma‘lûm), harus milik al-muhdî (pemberi hadiah), halal diperjualbelikan dan berada di tangan al-muhdî atau bisa ia serah terimakan saat akad. Menurut Imam Syafii dan banyak ulama Syafiiyah, barang itu haruslah barang bergerak, yaitu harus bisa dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain. Hal itu karena seperti itulah yang berlangsung pada masa Nabi saw, disamping tidak ada riwayat yang menjelaskan adanya hadiah berupa rumah, tanah, dsb itu pada masa Nabi saw. dan para Sahabat.

Di samping ketiga rukun itu ada syarat yang harus terpenuhi sehingga hadiah itu sempurna, yaitu harus ada al-qabdh (serah terima), yakni secara real harus ada penyerahan al-muhdâ kepada al-muhdâ ilayh. Jika tidak ada ijab qabul secara lafzhiyah maka adanya al-qabdh ini sudah dianggap cukup menunjukkan adanya pemindahan pemilihan itu. Penyerahan harta itu dianggap merupakan ijab dan penerimaan hadiah oleh al-muhdâ ilayh merupakan qabulnya. Untuk barang yang standarnya dengan dihitung, ditakar atau ditimbang (al-ma’dûd wa al-makîl wa al-mawzûn) maka zat barang itu sendiri yang harus diserahterimakan.

Adapun harta selain al-ma’dûd wa al-makîl wa al-mawzûn seperti pakaian, hewan, kendaraan, barang elektronik, dsb maka yang penting ada penyerahan pemilikan atas barang itu kepada al-muhdâ ilayh dan qabdh-nya cukup dengan menggesernya atau jika hewan dengan melangkahkannya, atau semisalnya.

Hukum Memberi Hadiah

Memberi hadiah hukumnya sunnah. Abu Hurairah berkata, Nabi saw. bersabda:

تَهَادَوْا تَحَبُّوْا

Saling memberi hadiahlah kalian niscaya kalian saling mencintai (HR al-Bukhari, al-Baihaqi dan Abu Ya‘la).5

Bahkan Nabi saw. mendorong untuk memberi hadiah meski nilainya secara nominal kecil:

يَا نِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ لاَ تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ

Hai para Muslimah, janganlah seorang wanita merasa hina (memberi hadiah) kapada wanita tetangganya meski hanya tungkai (kuku) kambing. (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi dan Ahmad).

Sebaliknya, Nabi saw. melarang untuk menolak hadiah:

اَجِيْبُوْا الدَّاعِيَ وَلاَ تَرُدُّوْا الْهَدِيَّةَ وَلاَ تَضْرِبُوْا الْمُسْلِمِيْنَ

Penuhilah (undangan) orang yang mengundang, jangan kalian tolak hadiah dan jangan kalian memukul kaum Muslim. (HR al-Bukhari Ahmad, Abu Ya‘la dan Ibn Abi Syaibah).

Jika seseorang diberi hadiah dan tidak ada halangan syar‘i untuk menerimanya maka hendaknya ia menerimanya. Jika seseorang menolak hadiah kepadanya maka hendaknya menjelaskan alasannya untuk menghilangkan perasaan buruk di hati si pemberi. Hal itu seperti riwayat Sha’b ibn Jatstsamah bahwa ia menghadiahkan seekor keledai liar kepada Nabi saw. saat Beliau berada di Abwa atau Wadan, tetapi Beliau menolaknya. Lalu Beliau menjelaskan alasan penolakannya. Beliau bersabda, “Sesungguhnya aku tidak menolak hadiahmu kecuali karena aku sedang berihram.” (HR al-Bukhari).

Boleh menerima hadiah dari orang kafir, karena dalam Shahîh al-Bukhârî diriwayatkan Nabi saw. pernah menerima hadiah dari Heraklius, Muqauqis, Ukaidir Dumatul Jandal, dan Raja Ailah. Beliau pun menerima hadiah dari orang kafir lainnya. Begitu pula boleh memberi hadiah kepada orang kafir selama orang itu bukan kafir harbi fi‘l[an],6 atau selama hadiah itu tidak membuat orang kafir bertambah kuat atau menjadi berani menyerang kaum Muslim.

Jika seseorang mendapat hadiah dan ia memiliki kelapangan maka disunahkan untuk membalasnya. Jika tidak, setidaknya memuji dan mendoakan pemberi hadiah. Jabir ra. menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

مَنْ أُعْطِيَ عَطَاءً فَوَجَدَ فَلْيَجْزِ بِهِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُثْنِ بِهِ فَمَنْ أَثْنَى بِهِ فَقَدْ شَكَرَهُ وَمَنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ

Siapa yang diberi sesuatu lalu ia memiliki kelapangan harta, hendaklah ia membalasnya; jika ia tidak memiliki kelapangan harta, hendaknya ia memuji (mendoakan)-nya. (HR Abu Dawud, Tirmidzi, al-Baihaqi).

Dalam riwayat at-Tirmidzi dari Usamah bin Zaid, pujian (doa) yang paling baik untuk itu adalah dengan mengatakan, “Jazâkallâh khayr[an] (Semoga Allah membalasmu dengan yang lebih baik).”

Sekalipun diperintahkan untuk menerima hadiah dan dilarang menolaknya, ada beberapa macam hadiah yang justru tidak boleh (haram) diterima, di antaranya: Pertama, hadiah kepada penguasa, pejabat atau pegawai negara. Abu Humaid as-Sa’idi menuturkan bahwa Nabi saw. pernah mengangkat seseorang dari Bani Azad yang bernama Ibn al-Utbiyah (Ibn al-Lutbiyah) sebagai amil pemungut zakat, lalu ia kembali dan mengatakan, “Ya Rasul, ini untuk Anda dan ini dihadiahkan untuk saya.”

Nabi saw. lalu berpidato, “Tidak pantas seorang petugas yang kami utus lalu datang dan berkata, “Ini untuk Anda dan ini dihadiahkan untuk saya.” Mengapa ia tidak duduk saja di rumah bapak dan ibunya lalu memperhatikan apakah itu dihadiahkan kepadanya atau tidak. Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah ia datang membawa pemberian itu, kecuali ia pasti datang pada Hari Kiamat kelak memanggul barang itu di pundaknya.” (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad dan Abu Dawud).

Hadis ini menunjukkan hadiah itu datang karena jabatan, kedudukan atau tugasnya.

Kedua, hadiah yang diberikan karena adanya akad al-qardh (utang). Anas ra. menuturkan, Nabi saw. pernah bersabda:

إِذَا أَقْرَضَ أَحَدُكُمْ قَرْضًا فَأَهْدَى لَهُ أَوْ حَمَلَهُ عَلَى الدَّابَّةِ فَلاَ يَرْكَبْهَا وَلاَ يَقْبَلْهُ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ جَرَى بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ قَبْلَ ذَلِكَ

Jika salah seorang di antara kalian mengutangi suatu utang lalu yang berutang memberinya hadiah atau membawanya di atas hewan tunggangan maka jangan ia menaikinya dan jangan menerima hadiah itu, kecuali yang demikian itu biasa terjadi di antara keduanya sebelum utang-piutang itu. (HR Ibn Majah).

Ketiga, hadiah yang diberikan agar suatu kemungkaran dibiarkan atau agar penerima hadiah mengendurkan aktivitas amar makruf nahi mungkar atau yang semisalnya. Hadiah yang dimaksudkan untuk membatalkan yang hak dan mengokohkan yang batil, termasuk hadiah agar yang haq tidak disuarakan dan agar yang batil dibiarkan atau tidak dikritik, tidak boleh diterima.

Apalagi hadiah yang diberikan agar kebatilan disuarakan dan disebarkan, atau agar kemungkaran diperintahkan, tentu lebih tidak boleh lagi diterima; termasuk di dalamnya hadiah dari negara atau lembaga asing untuk penyebaran ide selain Islam seperti demokrasi, HAM, pluralisme, liberalisme, dsb; atau hadiah agar ide-ide tidak islami seperti itu dibiarkan. Masih ada beberapa macam hadiah yang tidak boleh diterima.7 Hal itu bisa kita lihat dalam penjelasan para ulama dalam kitab-kitab mereka. Wallâh a‘lam wa ahkam.

Catatan kaki:

2 Al-Qâmûs al-Fiqhî, 1/367, CD Maktabah Syamilah ishdar ats-tsaniy.

3 Mu’jam Lughah al-Fukahâ’, 1/493, CD Maktabah Syamilah ishdar ats-tsaniy.

4 An-Nawawi, Rawdhah ath-Thâlibîn wa ‘Umdah al-Muftîn, V/364-365, al-Maktab al-Islami, Beirut, cet. ii. 1405

5 Al-Bukhari, al-Adab al-Mufrad; al-Baihaqi, Syu’ab al-خmân, Abu Ya’la, Musnad Abiy Ya’lâ. Al-Hafizh Ibn Hajar berkata: isnadnya hasan.

6 Lihat QS. Mumtahanah [6]: 8-9

7 Tentang undian lihat al-Wa’ie no. 38.

Sumber:

tsaqofah.id

Jawaban Tuntas Pertanyaan Berulang Seputar Khilafah dan Hizbut Tahrir

Jawaban Tuntas Pertanyaan Berulang Seputar Khilafah dan Hizbut Tahrir

Tsaqofatuna.id- 1. Benarkah tidak ada dalil tentang kewajiban Khilafah ?

Kewajiban adanya Khilafah telah disepakati oleh seluruh ulama dari seluruh mazhab. Tidak ada khilafiyah (perbedaan pendapat) dalam masalah ini, kecuali dari segelintir ulama yang tidak teranggap perkataannya (laa yu’taddu bihi). (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah, Bab Al Imamah Al Kubro, Juz 6 hlm. 163).

Disebutkan dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah Juz 6 hlm. 164 :

أجمعت الأمّة على وجوب عقد الإمامة ، وعلى أنّ الأمّة يجب عليها الانقياد لإمامٍ عادلٍ ، يقيم فيهم أحكام اللّه ، ويسوسهم بأحكام الشّريعة الّتي أتى بها رسول اللّه صلى الله عليه وسلم ولم يخرج عن هذا الإجماع من يعتدّ بخلافه

“Umat Islam telah sepakat mengenai wajibnya akad Imamah [Khilafah], juga telah sepakat bahwa umat wajib mentaati seorang Imam [Khalifah] yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah mereka, yang mengatur urusan mereka dengan hukum-hukum Syariah Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Tidak ada yang keluar dari kesepakatan ini, orang yang teranggap perkataannya saat berbeda pendapat.”

Syaikh Abdul Qadim Zallum (Amir kedua Hizbut Tahrir) menyebutkan, ”Mengangkat seorang khalifah adalah wajib atas kaum muslimin seluruhnya di segala penjuru dunia. Melaksanakan kewajiban ini – sebagaimana kewajiban manapun yang difardhukan Allah atas kaum muslimin- adalah perkara yang pasti, tak ada pilihan di dalamnya dan tak ada toleransi dalam urusannya. Kelalaian dalam melaksanakannya termasuk sebesar-besar maksiat, yang akan diazab oleh Allah dengan azab yang sepedih-pedihnya.” (Abdul Qadim Zallum, Nizhamul Hukm fi Al Islam, hlm. 34)

Kewajiban Khilafah ini bukan hanya pendapat Hizbut Tahrir, tapi pendapat seluruh ulama. Imam Ibnu Hazm menyebutkan bahwa, “Telah sepakat semua Ahlus Sunnah, semua Murji`ah, semua Syiah, dan semua Khawarij akan wajibnya Imamah [Khilafah]…” (Ibnu Hazm, Al-Fashlu fi Al Milal wal Ahwa` wan Nihal, Juz 4 hlm.78)

Khusus dalam lingkup empat mazhab Ahlus Sunnah, Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menyebutkan,”Para imam mazhab yang empat [Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad] rahimahumullah, telah sepakat bahwa Imamah [Khilafah] itu fardhu, dan bahwa kaum muslimin itu harus mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang akan menegakkan syiar-syiar agama dan menolong orang yang dizalimi dari orang zalim. Mereka juga sepakat bahwa kaum muslimin dalam waktu yang sama di seluruh dunia, tidak boleh mempunyai dua imam, baik keduanya sepakat atau bertentangan.” (Ibnu Hazm, Al-Fashlu fi Al Milal wal Ahwa` wan Nihal, Juz 4 hlm.78)

Para ulama menerangkan bahwa dalil-dalil kewajiban Khilafah ada 4 (empat), yaitu : Al Qur`an, As Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qaidah Syar’iyyah.

Dalil Al Qur`an, antara lain firman Allah SWT :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-NYa, dan Ulil Amri di antara kamu.” (QS An-Nisaa`: 59)

Wajhul Istidlal (cara penarikan kesimpulan dari dalil) dari ayat ini adalah, ayat ini telah memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati Ulil Amri di antara mereka, yaitu para Imam (Khalifah). Perintah untuk mentaati Ulil Amri ini adalah dalil wajibnya mengangkat Ulil Amri, sebab tak mungkin Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk mentaati sesuatu yang tidak ada. Dengan kata lain, perintah mentaati Ulil Amri ini berarti perintah mengangkat Ulil Amri. Jadi ayat ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang Imam (Khalifah) bagi umat Islam adalah wajib hukumnya. (Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji, Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49.)

Dalil Al Qur`an lainnya, adalah firman Allah SWT :

فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ عَمَّا جَاءكَ مِنَ الْحَقِّ

“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS Al Maidah : 48)

Wajhul Istidlal dari ayat ini adalah, bahwa Allah telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk memberikan keputusan hukum di antara kaum muslimin dengan apa yang diturunkan Allah (Syariah Islam). Kaidah ushul fiqih menetapkan bahwa perintah kepada Rasulullah SAW hakikatnya adalah perintah kepada kaum muslimin, selama tidak dalil yang mengkhususkan perintah itu kepada Rasulullah SAW saja. Dalam hal ini tak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya kepada Rasulullah SAW, maka berarti perintah tersebut berlaku untuk kaum muslimin seluruhnya hingga Hari Kiamat nanti. Perintah untuk menegakkan Syatiah Islam tidak akan sempurna kecuali dengan adanya seorang Imam (Khalifah). Maka ayat di atas, dan juga seluruh ayat yang memerintahkan berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, hakikatnya adalah dalil wajibnya mengangkat seorang Imam (Khalifah), yang akan menegakkan Syariah Islam itu. (Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji, Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49.

Dalil Al Qur`an lainnya, adalah ayat-ayat yang memerintahkan qishash (QS Al Baqarah: 178), hudud (misal had bagi pelaku zina dalam QS An Nuur: 2; atau had bagi pencuri dalam QS Al Maidah : 38), dan ayat-ayat lainnya yang pelaksanaannya bergantung pada adanya seorang Imam (Khalifah). Ayat-ayat semisal ini, berarti adalah dalil untuk wajibnya mengangkat seorang Imam (Khalifah), sebab pelaksanaan ayat-ayat tersebut bergantung pada keberadaan Imam itu.

Dalil As Sunnah, banyak sekali, antara lain sabda Nabi SAW :

من مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية

“Barangsiapa yang mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada seorang imam/khalifah), maka matinya adalah mati jahiliyah.” (HR Muslim, no 1851).

Dalalah (penunjukkan makna) dari hadis di atas jelas, bahwa jika seorang muslim mati jahiliyyah karena tidak punya baiat, berarti baiat itu wajib hukumnya. Sedang baiat itu tak ada kecuali baiat kepada seorang imam (khalifah). Maka hadis ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) itu wajib hukumnya. (Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji, Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49.)

Dalil lain dari As Sunnah misalnya sabda Nabi SAW :

إذا خرج ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم

“Jika ada tiga orang yang keluar dalam suatu perjalanan, maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka untuk menjadi amir (pemimpin).” (HR Abu Dawud).

Imam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa jika Islam mewajibkan pengangkatan seorang amir (pemimpin) untuk jumlah yang sedikit (tiga orang) dan urusan yang sederhana (perjalanan), maka berarti Islam juga mewajibkan pengangkatan amir (pemimpin) untuk jumlah yang lebih besar dan untuk urusan yang lebih penting. (Ibnu Taimiyah, Al Hisbah, hlm. 11).

Dengan demikian, untuk kaum muslimin yang jumlahnya lebih dari satu miliar seperti sekarang ini, dan demi urusan umat yang lebih penting dari sekedar perjalanan, seperti penegakan hukum Syariah Islam, perlindungan umat dari penjajahan dan serangan militer kafir penjajah, maka mengangkat seorang Imam (Khalifah) adalah wajib hukumnya.

Adapun dalil Ijma’ Shahabat, telah disebutkan oleh para ulama, misalnya Ibnu Khaldun sebagai berikut :

نصب الإمام واجب ، وقد عرف وجوبه في الشرع بإجماع الصحابة والتابعين

“Mengangkat seorang imam (khalifah) wajib hukumnya, dan kewajibannya dapat diketahui dalam Syariah dari ijma’ (kesepakatan) para shahabat dan tabi’in…” (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 191).

Imam Ibnu Hajar Al Haitami berkata :

اعلم أيضًا أن الصحابة رضوان الله عليهم أجمعوا على أن نصب الإمام بعد انقراض زمن النبوة واجب، بل جعلوه أهم الواجبات حيث اشتغلوا به عن دفن رسول الله

“Ketahuilah juga, bahwa para shahabat -semoga Allah meridhai mereka- telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib, bahkan mereka menjadikannya sebagai kewajiban paling penting ketika mereka menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan meninggalkan kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW.” (Ibnu Hajar Al Haitami, As Shawa’iqul Muhriqah, hlm. 7).

Adapun dalil Qaidah Syar’iah, adalah kaidah yang berbunyi :

ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب

“Jika suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.”

Sudah diketahui bahwa terdapat kewajiban-kewajiban syariah yang tidak dapat dilaksanakan secara sempurna oleh individu, seperti kewajiban melaksanakan hudud, seperti hukuman had bagin pelaku zina dalam QS An Nuur: 2; atau hukuman had bagi pencuri dalam QS Al Maidah: 38, kewajiban jihad untuk menyebarkan Islam, kewajiban memungut dan membagikan zakat, dan sebagainya. Kewajiban-kewajiban ini tak dapat dan tak mungkin dilaksanakan secara sempurna oleh individu, sebab kewajiban-kewajiban ini membutuhkan suatu kekuasaan (sulthah), yang tiada lain adalah Khilafah. Maka kaidah syariah di atas juga merupakan dalil wajibnya Khilafah. (Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji, Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49).

2. Apakah khabar dari Rasulullah tentang akan adanya khilafah ala minhajin nubuwah (hadits Hudzaifah bin al Yaman) juga jadi dalil?

Dalil wajib tegaknya khilafah sudah diuraikan di atas. Adapun hadits Hudzaifah bin al Yaman adalah busyra atau kabar gembira Rasululullah tentang bakal kembalinya khilafah di masa mendatang. Meski tidak mengandung tuntutan atau thalab, tapi hadits tadi penting untuk diperhatikan. Logikanya, tidak mungkin sesuatu itu, yakni Khilafah, dikabarkan oleh Rasulullah bakal kembali tegak bila sesuatu itu bukan perkara penting dan wajib dalam agama ini.

3. Secara ilmiah dan empiris, sebenarnya kemungkinan tegaknya khilafah di muka bumi?

Pasti akan tegak. Mengapa? Pertama, khilafah itu sebuah kewajiban, bahkan dijanjikan oleh Allah Swt. Dan semua janji Allah pasti akan terwujud asal kita memenuhi semua syarat-syarat bagi terwujudnya janji-janji itu. Sebagaimana jatuhnya Romawi Timur kepada Islam. Meski itu sangat sulit, tapi karena keyakinan dari para sahabat, para pejuang Islam pada waktu itu bahwa jatuhnya Romawi Timur ini adalah sebuah kemestian, sebuah kewajiban dan sekaligus dijanjikan, maka misi sesulit itu tetap saja dilakukan. Ekspedisi untuk menaklukkan Konstantinopel sudah di mulai semenjak Khalifah Usman bin Affan. Dan Anda tahu, sejarah membuktikan Konstantinopel jatuh baru pada tahun 1453. Jadi hampir 700 tahun kemudian. Ketika panglima Muhammad al-Fatih masuk ke benteng Konstantinopel, dia teringat kepada hadist yang berbunyi Fala ni’ma al-amir, amiruha. Fala ni’ma al-jaiz fadzalika al-jaiz (sebaik-baik panglima perang adalah panglima perang yang menaklukkan Konstantinopel, dan sebaik-baik tentara adalah tentara yang menaklukkan Konstantinopel). Hadis itu dibaca oleh Muhammad al-Fatih, seolah-olah Nabi memuji dirinya. Padahal hadis itu diucapkan pada 700 tahunan sebelum peristiwa besar itu terjadi.

Bila untuk menaklukkan Konstantinopel yang merupakan jantung dari adikuasa Romawi Timur saja akhirnya bisa dilakukan, meski harus melalui upaya yang luar biasa dan memakkan ratusan tahun, apalagi untuk sebuah khilafah yang itu sudah pernah ada, dan tinggal membangkitkan memori umat, tentu insha Allah akan lebih mudah. Dalam pengalaman gerak Hizbut Tahrir, pengalaman gerak saya di negeri ini sekian tahun lamanya, saya mendapatkan respon yang luar biasa dari umat. Ketika umat ini makin lama makin mendukung, apalagi ditambah dengan kondisi eksternal seperti bagaimana Amerika Serikat dengan kejam menggempur Irak, juga Afganistan tanpa bisa kita cegah sama sekali, dan konflik Israel dan Palestina yang sudah lebih 50 tahun tidak juga kunjung selesai, para pemimpin umat pun berfikir lalu solusinya apa? Apa yang bisa kita lakukan untuk membela diri? PBB sudah terbukti lebih berpihak kepada negara-negara besar. Organisasi Konferensi Islam (OKI) juga tidak punya gigi karena masing-masing anggota lebih mementingkan negaranya sendiri-sendiri. Negara-negara Arab sama saja, ASEAN apalagi. Pada puncaknya mereka, para pemimpin umat itu, akan melihat bahwa gagasan khilafah ini yang paling pas. Meski cita-cita itu sangat sulit. Dan kesulitan itu juga yang kami rasakan. Tapi semua masih sangat mungkin berubah, baik karena faktor internal maupun tekanan eksternal. Ada banyak tokoh-tokoh Islam yang pada 20 tahun yang lalu ketika kami pertama kali muncul untuk menyampaikan ide khilafah ini tidak mau mendengar atau bahkan mencibir dan sebagainya, sekarang berubah total, mereka mendukung betul.

Pada kenyataannya pengamat dunia internasional pun juga memperkirakan khilafah Islam akan berdiri tidak lama lagi. National Intelligence Council (NIC) yang bersidang di Amerika Serikat baru baru ini, menskenariokan bahwa pada tahun 2020 Islamic Caliphate (khilafah Islam) akan berdiri. Mereka menskenariokan empat kemungkinan pada tahun 2020. Pertama, dunia tetap dipimpin oleh Amerika Serikat. Kedua, dunia dipimpin oleh India atau China. Ketiga, dunia dipimpin oleh seorang tiran, entah dari mana. Lalu yang keempat berdirinya Islamic Caliphate. Bila mereka saja bisa memprediksi bahwa khilafah Islam akan berdiri, mengapa kita bilang itu tidak mungkin?

4. Bagaimana dengan adanya pihak yang mengatakan, khilafah bukan satu-satunya jaminan bagi kejayaan umat Islam?

Kejayaan umat ditentukan oleh dua faktor. Yang pertama adalah sistem yang baik. Dan yang kedua adalah kepemimpinan yang amanah. Sistem yang baik itu adalah sistem yang berasal dari Dzat yang Maha Baik, yaitu Allah SWT. Itulah syariah Islam. Dan pemimpin yang amanah adalah pemimpin yang mau tunduk kepada sistem yang baik tadi, dan dia memimpin dengan penuh keadilan.

Secara i’tiqadiy, Allah SWT telah menjamin syariah pasti akan membawa rahmat. Nabi Muhammad diutus untuk membawa agama Islam sebagai rahmat bagi alam semesta (rahmatan li al-‘alamin). Dari berbagai ayat dan hadits, kita dapat disimpulkan bahwa ‘hinama yakunu asy-syar’u takunu al-maslahah’, dimana ada hukum syariat di situ pasti ada kemaslahatan. Sejarah pun membuktikan hal itu. Kejayaan Islam masa lalu pun diraih ketika kehidupan Islam dimana di dalamnya diterapkan syariat terwujud serta umat Islam bersatu dan bekerja keras di bawah kepemimpinan seorang khalifah. Maka, kejayaan yang sama akan diraih kembali di masa yang akan datang melalui jalan serupa.

Kalau kita percaya bahwa Islam dengan akidah dan syariatnya datang untuk membawa rahmat, dan rahmat adalah segala kebaikan yang kita angankan berupa kedamaian, keadilan, kesejahteraan, kemajuan, kebersamaan dan sebagainya, maka bagaimana mungkin rahmat itu akan terwujud kalau kemudian kita menolak ketentuan syariat Islam itu sendiri di mana di dalam syariat itu ada perintah agar kita bersatu.

Kejayaan Islam dibawah Khilafah diakui oleh siapapun yang membaca sejarah dengan jujur. Diantaranya, Will Durant, dalam The Story of Civilization, vol. XIII, ia menulis:

Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan tersebar luas, hingga berbagai ilmu, sastera, filsafat dan seni mengalami kemajuan luar biasa, yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad.

Jadi, bila bukan dengan khilafah, lantas dengan apa umat Islam akan meraih kembali kejayaannya?

5. Bagaimana dengan pandangan yang tidak setuju dengan solusi yang ditawarkan oleh HT menyangkut penyelesaian problematika umat Islam yakni perbaikan sistem dan pemimpin sekaligus. Bagi mereka yang penting pribadi masyarakat bagus, nanti otomatis sebuah negara/bangsa akan bagus.?

Itu asumsi yang tampak indah, tapi tidak faktual. Nyatanya, orang akan cenderung menjadi baik dalam lingkungan dan sistem yang baik. Begitu sebaliknya, orang yang baik akan cenderung tergerus kebaikannya dalam lingkungan dan sistem yang buruk. Lihatlah sekarang ini, dalam lingkungan yang korup banyak birokrat yang baik, akhirnya terseret juga menjadi korup. Oleh karena itu dalam menyelesaikan problem kita harus menggarap dua sisi sekaligus yakni sistem dan kepemimpinan.

6. Bagaimana dengan tudingan bahwa HT mu’tazilah, khawarij, dan bukan bagian dari Ahlu Sunnah wal Jamaah?

Khawarij mempunyai beberapa sebutan. Kadang disebut Haruriyyah karena mereka keluar di suatu tempat yang bernama Harura’. Mereka juga disebut warga Nahrawan, karena Imam Ali memerangi mereka di sana. Di antara kelompok Khawarij ada yang beraliran Abadhiyyah, yaitu para pengikut Abdullah bin Abadh; ada juga yang beraliran Azariqah, yaitu para pengikut Nafi’ bin al-Azraq, dan aliran an-Najadat, yaitu para pengikut Najdah al-Haruri. Merekalah kelompok yang pertama kali mengkafirkan kaum Muslim karena sejumlah dosa. Karenanya, mereka juga telah menghalalkan darah kaum Muslim. Mereka mengkafirkan Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, dan siapa saja yang loyal kepada keduanya. Mereka telah membunuh Ali bin Abi Thalib setelah menyatakan bahwa beliau halal untuk dibunuh. Secara umum mereka berpandangan bahwa status orang hanya ada dua, Mukmin atau kafir. Mukmin adalah siapa saja yang telah melakukan semua kewajiban dan meninggalkan keharaman. Siapa saja yang tidak seperti itu berarti kafir, ia kekal di dalam neraka. Mereka pun kemudian memvonis kafir siapa saja yang berbeda dengan pandangan mereka. Mereka menyatakan bahwa Utsman dan Ali telah berhukum pada selain hukum yang diturunkan oleh Allah dan zalim. Karena itu, mereka kafir.[1] Bahkan, sekte an-Najadat tegas menolak kewajiban mengangkat imam atau khalifah.[2]

Berdasarkan fakta-fakta di atas, jelas sekali perbedaan Khawarij dengan Hizbut Tahrir, antara lain: Pertama, dalam masalah iman dan kufur, Hizbut Tahrir berpegang pada prinsip pembuktian yang qath‘i (al-burhân al-qâthi‘). Karena itu, Hizbut Tahrir tidak dengan mudah memvonis orang Islam dengan vonis kafir.[3] Kedua, Hizbut Tahrir juga berkeyakinan bahwa umat Islam saat ini masih memeluk akidah Islam, betapapun kotor dan rapuhnya akidah tersebut. Dengan kata lain, Hizbut Tahrir tidak pernah menganggap umat ini tidak lagi berakidah Islam, karena anggapan seperti justru sangat berbahaya, dan membahayakan.[4] Karena itu, Hizbut Tahrir tidak pernah menghalalkan darah kaum Muslim sehingga boleh dibunuh. Bahkan, tumpahnya darah seorang Muslim dianggap masih jauh lebih berharga ketimbang dunia dan seisinya, sebagaimana sabda Nabi saw.:

لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ

Sesungguhnya hilangnya dunia (dan seisinya) benar-benar lebih ringan bagi Allah ketimbang terbunuhnya seorang Muslim. (HR at-Tirmidzi). Ketiga, Hizbut Tahrir menyatakan bahwa semua Sahabat adalah adil (kullu ash-Shahâbah ‘udul). Meski seorang Sahabat bisa saja berbuat salah, hal itu tetap tidak akan menghilangkan status keadilannya.[5] Apatah lagi, memvonis Sahabat dan para pengikutnya dengan vonis kafir. Na‘ûdzu billâh.

Keempat, Hizbut Tahrir juga menyatakan bahwa Utsman dan Ali sebagai kepala negara Islam tetap berhukum pada hukum yang diturunkan oleh Allah. Adapun kasus tahkîm yang terjadi antara Ali dan Muawiyah, yang masing-masing mengangkat Abu Musa al-Asy‘ari dan Amr bin al-Ash, justru untuk menjalankan perintah Allah dalam masalah tahkîm, bukan sebaliknya.

Kelima, dalam konteks pengangkatan imam dan khalifah, termasuk di dalamnya kewajiban menegakkan Khilafah,[6] jelas Hizbut Tahrir sangat berbeda dengan sekte an-Najadat, yang dengan tegas menolak kewajiban tersebut.Tinggal satu masalah, apakah tindakan Hizbut Tahrir menasihati penguasa dan mengkritik kebijakan mereka secara terbuka sama dengan tindakan kaum Khawarij? Tentu tidak. Kaum Khawarij, sebagaimana namanya, adalah mereka yang melawan para penguasa (Khalifah) yang nyata-nyata menjalankan hukum Allah, bukan para penguasa yang tidak menjalankan hukum Allah. Sebaliknya, Hizbut Tahrir menasihati penguasa dan mengkritik kebijakan mereka secara terbuka justru karena mereka tidak mau tunduk dan patuh pada hukum Allah. Umumnya, mereka adalah para penguasa boneka dan kaki tangan negara penjajah, pengkhianat Allah dan Rasul-Nya, serta seluruh kaum Muslim.

Dalam melakukan misinya, kaum Khawarij menggunakan cara-cara fisik dan kekerasan, bahkan sampai membunuh lawannya, sebagaimana yang mereka lakukan terhadap Ali bin Abi Thalib. Sebaliknya, Hizbut Tahrir, sebagai entitas intelektual, tidak pernah menggunakan cara-cara tersebut. Sekalipun para anggotanya banyak yang telah dianiaya, dizalimi dan dibunuh di dalam penjara-penjara para penguasa despot, Hizbut Tahrir tetap hanya menjalankan aktivitas intelektual dan politik; tanpa sedikitpun menggunakan cara-cara kekerasan, apalagi anarkis. Semua itu dilakukan bukan karena tidak berani atau tidak mampu, tetapi semata-mta karena Hizbut Tahrir berpegang teguh pada garis perjuangan Nabi saw. dan tidak ingin menyimpang sedikitpun, meski hanya seutas rambut.

Lalu, dari mana Hizbut Tahrir dan aktivitasnya disamakan dengan Khawarij, padahal keduanya berbeda sama sekali? Ataukah mereka yang membuat tuduhan itu memang tidak paham tentang Khawarij dan juga Hizbut Tahrir? Atau mungkin mereka paham, tetapi sengaja melakukan penyesatan, karena ada pesanan, sehingga bisa membuat analogi yang sama sekali keliru, yang bahkan membuktikan rendahnya kadar intelektualitas mereka?

Hizbut Tahrir juga berbeda dengan Muktazilah, antara lain: Pertama, dalam masalah akal. Muktazilah dan Asy’ariyah, sama-sama menggunakan akal tanpa batas, sehingga digunakan melampaui kapasitasnya, sebagaimana dalam pembahasan tentang Sifat Allah; apakah sifat sama dengan Zat (Muktazilah), atau berbeda dengan Zat (Asy’ariyah). Kedua, dalam masalah perbuatan. Muktazilah menyatakan, seluruh perbuatan manusia berasal dari manusia, tanpa membedakan mana yang wilayah ikhtiyari dan ijbari. Ini jelas ditolak oleh Hizb. Ketiga, dalam masalah tawallud al-af’al (konsekuensi perbuatan), yang dinisbatkan kepada manusia. Ini juga berbeda dengan pandangan Hizb. Keempat, dalam masalah takwil. Muktazilah cenderung menakwilkan ayat-ayat Mutasyabihat yang tidak sejalan dengan pandangannya, sehingga mengorbankan ayat-ayat yang lain. Dengan kata lain, takwil didasarkan pada cocok dan tidak dengan logika, bukan didasarkan pada nas. Ini juga ditolak oleh Hizb. Dengan demikian, jelas sudah, bahwa Hizbut Tahrir tidak bisa dipersamakan dengan Muktazilah. Mempersamakan Hizbut Tahrir dengan Muktazilah hanya menunjukkan kejahilan tentang Muktazilah dan tentang Hizbut Tahrir.

7. Mengapa HT tidak banyak berkembang di Timur Tengah, apakah karena idenya tidak diterima atau karena faktor lain?

Di sepanjang kekuasaan rezim represif di seluruh negara Timur Tengah, bukan hanya HT, gerakan Islam lain yang bersifat politik juga tidak berkembang. Jadi tidak berkembangnya HT bukan karena idenya tidak diterima, tapi lebih karena tekanan penguasa yang memang tidak membiarkan gerakan apapun yang mungkin akan mengancam kekuasaan mereka itu berkembang. Tapi setelah para penguasa itu tumbang, HT dengan cepat berkembang lagi di Mesir, Tunisia, Lybia dan negara-negara Timur Tengah lain.

8. Mengapa HT sering dipojokkan?

HT memang sering dipojokkan. Ini aneh, karena dalam perjuangannya HT tidak pernah menggunakan kekerasan atau merugikan orang lain. Gagasan-gasannya juga cukup jelas. Bisa dibaca dan didiskusikan dengan terbuka. Jadi, mengapa HT sering dipojokkan, ada banyak kemungkinan. Bisa karena mereka itu tidak paham substansi dari perjuangan HT, yang intinya bagaimana mewujudkan kembali kehidupan Islam masyarakat dan negara melalui penerapan syariah dalam bingkai khilafah agar kerahmatan Islam bisa dirasakan oleh semua. Bisa juga karena memang tidak suka pada ide ini. Mereka yang tidak paham, insha allah tidak sulit dipahamkan. Dengan sedikit penjelasan, biasanya mereka akan mudah memahami apa sesungguhnya ancaman yang tengah menimpa negeri ini dan apa itu substansi syariah dan khilafah yang tidak lain adalah justru untuk menyelamatkan negeri ini dari ancaman itu.

Sementara yang tidak suka bisa jadi karena ada penyakit dalam hatinya, bisa juga karena mereka telah diuntungkan oleh sistem sekuler yang ada sekarang ini. Dari sini sebenarnya kita bisa mengatakan bahwa mereka yang menentang ide syariah dan khilafah itulah berarti orang yang tidak menginginkan Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim dan mengakui bahwa kemerdekaan negeri terjadi atas berkat rahmat Allah, menjadi lebih baik di masa mendatang. Mereka juga berarti menginginkan penjajahan (baru) tetap terus berlangsung karena mereka turut diuntungkan meski itu telah menyengsarakan rakyat banyak.

9. Siapa yang ada di balik upaya itu?

Ada dua. Pertama anasir-anasir di dalam negeri, baik muslim maupun non muslim, yang tidak menginginkan Islam tegak. Bila non muslim, pasti mereka tidak memahami esensi perjuangan HT dengan baik dan sudah keblanjur ada kedengkian dan ketakutan tanpa dasar. Sementara bila muslim, pasti mereka adalah muslim yang telah tersekulerkan. Bagaimana mungkin seorang muslim justru menentang perjuangan bagi tegaknya syariah dan khilafah yang akan membawa Islam kembali jaya.

Kedua, adalah negara Barat, yang memang akan terus berusaha melanggengkan hegemoninya di dunia Islam, termasuk di Indonesia, demi kepentingan politik dan ekonomi mereka. Mereka akan menghantam habis setiap kekuatan politik muslim yang berpotensi akan mengganggu hegemoni mereka itu. Dan dalam operasinya mereka akan berkolaborasi dengan kelompok pertama dan kedua tadi.

10. Bagaimana HT menghadapi itu semua?

HT menghadapi semua itu dengan tenang dan tegar. HT tidak takut menghadapi semua itu. HT memahami semua itu sebagai salah satu tantangan, hambatan dan rintangan dalam dakwah. Bila karena belum atau salah paham, HT akan datang memahamkannya. Bila itu fitnah, HT akan menjernikah fitnah itu. Dan dalam menghadapi semua tantangan itu, HT yakin sekali akan pertolongan Allah SWT yang pasti akan diberikan kepada para pejuang agamaNya.

Sumber:

tsaqofah.id

Benarkah Hizbut Tahrir Wahabi ?

Benarkah Hizbut Tahrir Wahabi ?

Soal:

Siapa sebenarnya Wahabi? Benarkah Hizbut Tahrir Wahabi atau setidaknya mirip Wahabi? Jika tidak, ada apa sebenarnya di balik tuduhan seperti ini?

Jawab:

Tsaqofatuna.id- Wahabi adalah gerakan Islam yang dinisbatkan kepada Muhammad bin Abdul Wahhab (1115-1206 H/1701-1793 M). Muhammad bin Abdul Wahhab sebenarnya merupakan pengikut mazhab Hanbali, kemudian berijtihad dalam beberapa masalah, sebagaimana yang diakuinya sendiri dalam kitab, Shiyânah al-Insân, karya Muhammad Basyir as-Sahsawani.1 Meski demikian, hasil ijtihadnya dinilai bermasalah oleh ulama Sunni yang lainnya.

Nama Wahabi sendiri telah dikubur oleh para pengikut dan penganutnya. Boleh jadi karena sejarah kelam pada masa lalu. Namun, mereka mempunyai alasan lain. Menurut mereka, ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab adalah ajaran Nabi Muhammad, bukan ajarannya sendiri. Karenanya, mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafi atau Muwahhidûn, yang berarti “orang-orang yang mentauhidkan Allah”, bukan Wahhâbi.

Secara historis, gerakan Wahabi telah mengalami beberapa kali metamorfosis. Mula-mula adalah gerakan keagamaan murni yang bertujuan untuk memurnikan tauhid dari syirik, tahayul, bid’ah dan khurafat, yang dimulai dari Uyainah, kampung halaman pendirinya tahun 1740 M. Di kampungnya, gerakan ini mendapatkan penentangan. Muhammad bin Abdul Wahhab pun terusir dari kampung halamannya dan berpindah ke Dar’iyyah. Di sini, pendiri Wahabi itu mendapat perlindungan dari Muhammad bin Saud, yang notabene bermusuhan dengan Amir Uyainah. Dalam kurun tujuh tahun, sejak tinggal di Dar’iyyah, dakwah Wahabi berkembang pesat.

Tahun 1747 M, Muhammad bin Saud, yang notabene adalah agen Inggris, menyatakan secara terbuka penerimaannya terhadap berbagai pemikiran dan pandangan keagamaan Muhammad bin Abdul Wahhab. Keduanya pun sama-sama diuntungkan. Dalam kurun 10 tahun, wilayah kekuasaan Muhammad bin Saud berkembang seluas 30 mil persegi. Muhammad bin Abdul Wahhab pun diuntungkan, karena dakwahnya berkembang dan pengaruhnya semakin menguat atas dukungan politik dari Ibn Saud. Namun, pengaruhnya berhenti sampai di wilayah Ihsa’ 1757 M.

Ketika Ibn Saud meninggal dunia tahun 1765 M, kepemimpinannya diteruskan oleh anaknya, Abdul Aziz. Namun, tidak ada perkembangan yang berarti dari gerakan ini, kecuali setelah tahun 1787 M. Dengan kata lain, selama 31 tahun (1957-1788 M), gerakan ini stagnan.

Namun, setelah Abdul Aziz, yang juga agen Inggris itu, mendirikan Dewan Imarah pada tahun 1787 M, sekaligus menandai lahirnya sistem monarki, Wahabi pun terlibat dalam ekspansi kekuasaan yang didukungnya, sekaligus menyebarkan paham yang dianutnya. Tahun 1788 M, mereka menyerang dan menduduki Kuwait. Melalui metode baru ini, gerakan ini menimbulkan instabilitas di wilayah Khilafah Utsmani; di semenanjung Arabia, Irak dan Syam yang bertujuan melepaskan wilayah tersebut dari Khilafah. Gerakan mereka akhirnya berhasil dipukul mundur dari Madinah tahun 1812 M. Benteng terakhir mereka di Dar’iyyah pun berhasil diratakan dengan tanah oleh Khilafah tahun 1818 M. Sejak itu, nama Wahabi seolah terkubur dan lenyap ditelan bumi.2

Namun, pandangan dan pemikiran Wahabi memang tidak mati. Demikian juga hubungan penganut dan pendukung Wahabi dengan keluarga Ibn Saud.

Metamorfosis berikutnya terjadi ketika mereka mengubah nama. Nama Wahabi tidak pernah lagi digunakan, mungkin karena rentan. Akhirnya, mereka lebih suka menyebut diri mereka Salafi. Namun, pandangan dan cara mereka berdakwah tetap sama. Inilah fakta sejarah tentang Wahabi. Dari fakta ini jelas sekali, bahwa Wahabi (Salafi) ikut membidani lahirnya Kerajaan Arab Saudi. Karena itu, tidak aneh jika kemudian Wahabi (Salafi) senantiasa menjadi pendukung kekuasaan Ibn Saud sekalipun Wahabi (Salafi) bukan merupakan gerakan politik.

Ini jelas berbeda dengan Hizbut Tahrir. Hizbut Tahrir adalah partai politik yang berideologi Islam. Tujuannya adalah untuk mengembalikan kehidupan Islam dengan mendirikan Khilafah yang menerapkan sistem Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Politik adalah aktivitasnya.3 Meski begitu, Hizbut Tahrir tidak pernah terlibat dalam pendirian rezim manapun yang berkuasa saat ini di dunia. Hizb juga tidak pernah terlibat dalam dukung-mendukung kekuasaan/negara manapun. Sebabnya, semua negara yang ada di seluruh dunia saat ini bukanlah negara yang dibangun berdasarkan akidah Islam dan memerintah berdasarkan hukum-hukum Allah. Dalam pandangan Islam, menurut Hizb, satu-satunya negara bagi umat Islam di seluruh dunia adalah Khilafah, yang notabene pernah dirongrong oleh konspirasi Inggris dan agennya, dinasti Ibn Saud, termasuk di dalamnya menggunakan Wahabi.

Pandangan keagamaan Wahabi sebenarnya bukan hal yang baru. Dalam masalah akidah, misalnya, Wahabi, banyak mengambil pandangan Ibn Taimiyyah dan muridnya, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah. Tauhid, menurut mereka, ada dua yaitu: tauhid rububiyyah wa asma’ wa shifat dan tauhid rububiyyah. Tauhid yang pertama bertujuan untuk mengenal dan menetapkan Allah sebagai Rabb, dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Tauhid yang kedua terkait dengan tuntutan dan tujuan (at-thalab wa al-qashd).4 Syaikh ‘Abd al-’Aziz bin Baz, kemudian membagi tauhid tersebut menjadi tiga: tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah dan tauhid al-asma’ wa as-shifat.5

Ini berbeda dengan Hizb. Dalam tauhid, Hizb tidak mengenal klasifikasi seperti ini. Dalam pembahasan tentang sifat, misalnya, Hizb tidak membahas sifat dan asma dalam konteks itsbât bilâ tahrîf wa la ta’thîl wa la takyîf wa la tamtsîl (menetapkan sifat dan asma Allah, tanpa menyelewengkan, mengabaikan, mendes-kripsikan tatacara-Nya dan menyerupakannya dengan yang lain), sebagaimana lazimnya Wahabi.6 Hizb membahas sifat justru untuk meluruskan perdebatan yang tidak berkesudahan, antara Muktazilah, yang menyatakan bahwa sifat Allah sama dengan Dzat-Nya, dan Ahlussunnah, yang menyatakan, bahwa sifat Allah tidak sama dengan Zat-Nya. Dalam pandangan Hizb, perdebatan seperti ini tidak bisa dan tidak boleh dilakukan, karena tidak berangkat dari fakta, melainkan didasarkan pada asumsi mantik.7

Bagi Wahabi, masalah utama umat Islam adalah masalah akidah; akidah umat ini dianggap sesat, karena dipenuhi syirik, tahayul, bid’ah dan khurafat. Karena itu, aktivitas dakwah mereka difokuskan pada upaya purifikasi (pemurnian) akidah dan ibadah umat Islam. Akidah dimurnikan dari syirik, baik syirik ashghar (syirik kecil), akbar (syirik besar) maupun syirik khafi (syirik yang samar-samar); juga tahayul dan khurafat. Ibadah juga harus dimurnikan dari bid’ah, yang didefinisikan sebagai membuat metode yang tidak dicontohkan sebelumnya. Dalam pandangan mereka, bid’ah ada dua: bid’ah dalam adat dan tradisi; bid’ah dalam agama. Bid’ah yang pertama, menurut mereka, hukumnya mubah/boleh. Bid’ah yang kedua semuanya haram dan sesat (dhalalah). Bid’ah yang kedua ini mereka bagi menjadi dua: Bid’ah qawliyyah i’tiqadiyyah, seperti ucapan dan pandangan Jahmiyah, Muktazilah, Rafidhah dan sebagainya; bid’ah fi al-’ibâdah.8

Ini berbeda dengan Hizb. Pandangan seperti ini, menurut Hizb, juga berbahaya karena menganggap seolah-oleh umat Islam belum berakidah Islam. Ini tampak pada pandangan mereka terhadap kaum Muslim yang lain, selain kelompok mereka, yang dianggap sesat. Bahkan mereka tidak jarang saling sesat-menyesatkan terhadap kelompok sempalan mereka. Pandangan ini, menurut Hizb, sebagaimana disebutkan dalam kitab Nidâ’ al-Hâr, tidak proporsional. Betul, bahwa ada masalah dalam akidah umat Islam, tetapi tidak berarti mereka belum berakidah Islam. Bagi Hizb, umat Islam sudah berakidah Islam. Hanya saja, akidahnya harus dibersihkan dari kotoran dan debu, yang disebabkan oleh pengaruh kalam dan filsafat. Karena itu, Hizb tidak pernah menganggap umat Islam ini sesat. Hizb juga menganggap, bahwa persoalan akidah ini, meski penting, bukanlah masalah utama. Bagi Hizb, masalah utama umat Islam adalah tidak berdaulatnya hukum Allah dalam kehidupan mereka. Karena itu, fokus perjuangan Hizb adalah mengembalikan kedaulatan hukum Allah, dengan menegakkan kembali Khilafah.

Bagi Hizb, akidah umat harus dibersihkan agar bisa menjadi landasan yang kokoh dalam kehidupan pribadi, masyarakat dan negara. Setelah itu, akidah yang hidup di dalam diri umat ini akan mampu membangkitkan mereka dari keterpurukan, dan akhirnya mendorong mereka untuk memperjuangkan tegaknya Khilafah dan hukum Allah di muka bumi.

Dengan pandangan Wahabi seperti itu terhadap akidah umat Islam, ditambah ketidaktahuan mereka tentang konstruksi masyarakat—yang terdiri dari manusia, pemikiran, perasaan dan system—maka wajar jika sejarah Wahabi berlumuran darah kaum Muslim. Situs-situs penting dan bersejarah di dalam Islam pun mereka hancurkan. Semuanya dengan dalih membebaskan umat Islam dari syirik dan khurafat. Ini jelas berbeda dengan Hizb. Hizb tahu persis konstruksi masyarakat sehingga dalam dakwahnya tidak pernah menyerang manusia atau obyek-obyek fisik, seperti situs-situs penting dan bersejarah; melainkan menyerang pemikiran, perasaan dan sistem yang diyakini dan dipraktikkan oleh manusia. Itulah yang menjadi fokus serangan Hizb. Karena itu, dakwah Hizb dikenal sebagai dakwah fikriyyah lâ ‘unfiyyah (intelektual dan non-kekesaran).

Pendek kata, perbedaan Hizb dengan Wahabi begitu jelas dan nyata. Menyamakan Hizb dengan Wahabi bisa jadi karena tidak mengerti tentang kedua-duanya, atau sengaja untuk melakukan monsterisasi terhadap Hizb, agar disalahpahami, dibenci dimusuhi dan dijauhi oleh umat. Inilah yang sebenarnya hendak dilakukan. Lalu siapa yang diuntungkan dengan semuanya ini, tentu bukan Islam dan kaum Muslim, melainkan kaum kafir penjajah dan para boneka mereka, yang tetap menginginkan negeri-negeri Muslim, seperti Indonesia, ini tetap terjajah. Na’ûdzu billâh. [] KH Hafidz Abdurrahman

Catatan kaki:

1 Lihat, Muhammad Basyir as-Sahsawani, Shiyânah al-Insân, hlm. 475.

2 Lihat, ‘Abdul Qadîm Zallûm, Kayfa Hudimat al-Khilâfah, Dâr al-Ummah, Beirut, 1994.

3 Taqiyuddîn an-Nabhâni, Mafâhîm Hizb at-Tahrîr, Min Mansyûrat Hizb at-Tahrîr, cet. ke-6, edisi Muktamadah, 2001, hlm. 84.

4 Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan ‘Ali as-Syaikh, Fath al-Majîd: Syarah Kitâb at-Tawhîd, Muassasah Qurthubah, t.t., hlm. 25.

5 Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Bâz, Al-Ahkam al-Mulimmah ‘ala ad-Durus al-Muhimmah li ‘Ammati al-Ummah, Makatabah al-Malik Fahd al-Wathaniyyah, cet. II, 1423 H, hlm. 30.

6 Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan ‘Ali as-Syaikh, Fath al-Majîd: Syarh Kitâb at-Tawhîd, hlm. 25; Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Bâz, Al-Ahkam al-Mulimmah ‘ala ad-Durus al-Muhimmah li ‘Ammati al-Ummah, hlm. 20.

7 Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah al-Juz al-Awwâl, Min Mansyûrat Hizb at-Tahrîr, cet. ke-6, edisi Muktamadah, 2003, hlm. 116-124.

8 Dr. Fauzan bin ‘Abdullah Fauzan, ‘Aqîdah at-Tawhîd, Mamlakah al-’Arabiyyah as-Sa’udiyyah, Muassasah al-Haramain al-Khairiyyah, Riyadh, hlm. 176-177.

Sumber:

tsaqofah.id

Benarkah Rasulullah SAW Tidak Membangun Pemerintahan Islam?

Benarkah Rasulullah SAW Tidak Membangun Pemerintahan Islam?

dr. Mohammad Ali Syafi'udin

Tsaqofatuna.id-

Ada seseorang yang berpendapat bahwa politik itu tidak ditetapkan oleh syariat Islam sehingga bentuk Pemerintahan Islam itu bisa bermacam-macam dan tidak baku.

Ia berargumentasi dengan pendapat Imam Abul Wafa Ibnu ‘Aqil Al Hambali,

السِّيَاسَةُ مَا كَانَ مِنْ الْأَفْعَالِ بِحَيْثُ يَكُونُ النَّاسُ مَعَهُ أَقْرَبَ إلَى الصَّلَاحِ وَأَبْعَدَ عَنْ الْفَسَادِ ، وَإِنْ لَمْ يُشَرِّعْهُ الرَّسُولُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا نَزَلَ بِهِ وَحْيٌ ؛

“Politik (siyasah) adalah semua tindakan yang dengannya manusia lebih dekat dengan kebaikan dan semakin jauh dari kerusakan, meskipun tidak disyariatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak ada wahyu yang turun tentangnya.(I’lamul Muwaqqi’in ‘an rabbil’ alamin II/649, daru Ibnu al-jauziy, dan ath-thuruq al-hukmiyah fii as-siyasati asy-syar’iyyah oleh Ibnu Qayyim al-jauziyah hal 17, darul hadis)

Dari kalimat ”Meskipun tidak disyariatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak ada wahyu yang turun tentangnya” inilah ia mengatakan Rasulullah Saw tidak membangun pemerintahan Islam karena memang tidak disyariatkan.

Seharusnya ia jujur dalam mengutip pendapat ulama, tidak asal memotong penjelasan Ibnu Aqil berikutnya. Penjelasan berikutnya secara utuh dari Ibnu Aqil yaitu

فَإِنْ أَرَدْتَ بِقَوْلِكَ ” لَا سِيَاسَةَ إلَّا مَا وَافَقَ الشَّرْعَ ” أَيْ لَمْ يُخَالِفْ مَا نَطَقَ بِهِ الشَّرْعُ فَصَحِيحٌ ، وَإِنْ أَرَدْتَ مَا نَطَقَ بِهِ الشَّرْعُ فَغَلَطٌ وَتَغْلِيطٌ لِلصَّحَابَةِ ؛ فَقَدْ جَرَى مِنْ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ الْقَتْلِ وَالْمَثْلِ مَا لَا يَجْحَدُهُ عَالِمٌ بِالسِّيَرِ ، وَلَوْ لَمْ يَكُنْ إلَّا تَحْرِيقُ الْمَصَاحِفِ كَانَ رَأْيًا اعْتَمَدُوا فِيهِ عَلَى مَصْلَحَةٍ ، وَكَذَلِكَ تَحْرِيقُ عَلِيٍّ كَرَّمَ اللَّهُ وَجْهَهُ الزَّنَادِقَةَ فِي الْأَخَادِيدِ ، وَنَفْيُ عُمَرُ نَصْرَ بْنَ حَجَّاجٍ .

Jika yang Anda maksud dengan Pernyataanmu ‘Tidak ada politik kecuali harus sesuai dengan syariat’ dalam arti politik tidak boleh bertentangan dengan apa yang disebutkan oleh syariat, maka itu benar. Tetapi jika yang anda maksudkan dengan siyasah hanyalah yang disebutkan oleh syariat, maka itu kesalahan dan sekaligus menyalahkan para sahabat nabi.”

Para khulafa’ur rasyidin telah banyak melakukan kebijaksanaan sendiri, terkait dengan hukuman bunuh dan jenis hukuman berat lainnya yang tidak dibantah/ditentang oleh (para sahabat nabi) yang mengetahui. Pembakaran semua mushhaf (kecuali mushhaf Utsmani dalam rangka menyatukan) maka semata-mata pendapat yang dipegang demi tercapainya maslahat. Demikian pula Ali bin Abi Thalib yang membakar orang zindiq di Akhadid dan Umar bin Al Khathab juga pernah mengasingkan Nashr bin Hajjaj.” (I’lamul Muwaqqi’in ‘an rabbil ‘alamin II/649, daru Ibnu al-jauziy, dan ath-thuruq al-hukmiyah fii as-siyasati asy-syar’iyyah oleh Ibnu Qayyim al-jauziyah, hal 17, darul hadis).

Dari penjelasan berikutnya oleh Ibnu Aqil bisa ditarik kesimpulan bahwa politik itu harus sesuai dengan hukum syariat, namun tidak semua politik itu dijelaskan secara tekstual oleh syariat. Contohnya seperti yang beliau sebutkan diatas yaitu kebijakan para Khulafaur Rasyidin.

Jika kita kaitkan contoh-contoh aktivitas politik para Khulafaur Rasyidin yang dijelaskan oleh Ibnu Aqil dengan definisi yang rumus beliau, maka akan tampak bahwa aktivitas politik yang tidak disebutkan secara tekstual oleh syariat adalah Masalah ijtihadiy terhadap masalah yang muncul yang mana masalah tersebut belum ada pada zaman Rasulullah.

Ibnu Aqil mencontohkan Khalifah Usman bin Affan r.a. memerintahkan untuk membakar semua mushaf dan mengharuskan umat Islam untuk berpegang kepada hanya satu mushaf saja demi menjaga persatuan dan untuk kemaslahatan umat. Ali bin Abi Thalib r.a menghukum kaum zindiq dengan membakar supaya menjadi pelajaran yang lain. Umar bin Khattab mengasingkan Nasr bin hajjaj supaya tidak timbul fitnah karena banyak wanita yang tertarik kepadanya.

Ini semua adalah wilayah ijtihadiy para Khulafaur Rasyidin yang memang menjadi wewenang mereka untuk mengadopsi hukum tertentu

Perbedaan kebijakan para Khulafaur Rasyidin, selain masalah ijtihadiy, juga bisa terjadi terhadap masalah tekhnis (uslub) dan sarana (wasilah) dalam menjalankan suatu perintah dari nas. Memang masalah tehnis (uslub) ini merupakan masalah cabang yang tidak membutuhkan dalil khusus dan cukup hanya dengan dalil umum pada perbuatan pokoknya.

Ketika syariat telah menjelaskan dengan dalil pada aktivitas pokok maka dalil itu juga meliputi aktivitas-aktivitas cabang yang merupakan cabang dari aktivitas pokok tersebut.

Contoh:

وَءَاتَوُا۟ ٱلزَّكَوٰةَ

“Tunaikan zakat” (QS Al-Baqarah 277)

Ini merupakan dalil yang bersifat umum. Namun tidak terdapat dalil yang menjelaskan tata cara pengumpulannya, apakah pergi dengan naik kendaraan atau jalan kaki, apakah boleh mempekerjakan para pekerja untuk membantunya ataukah tidak, apakah harus dicatat dalam daftar, apakah harus ditetapkan di tempat tertentu untuk mengumpulkannya, apakah harus digunakan brankas dan seterusnya. Semua itu dan semisalnya merupakan perbuatan-perbuatan cabang dari perintah Tunaikan zakat (QS Al-Baqarah 277).Semua telah tercakup di dalam dalil-dalil umum tersebut.

Cara-cara administrasi atau cara-cara manajemen itu juga termasuk masalah teknis yang bersifat universal dimana memungkinkan bisa diambil dari sistem manapun kecuali jika terdapat dalil spesifik yang melarang satu cara administrasi tertentu. Contoh Umar bin Khattab r.a. telah mengambil diwan, meniru yang dilakukan oleh raja di Syam, sebagai cara untuk mencatat nama-nama tentara dan rakyat. Catatan itu dibuat dalam rangka membagikan harta kepada mereka baik yang berasal dari harta kepemilikan umum maupun kepemilikan negara dalam bentuk pemberian negara atau gaji.

Jadi perbedaan kebijakan politik para Khulafaur Rasyidin bukan menandakan tidak adanya perintah untuk mendirikan pemerintah Islam atau tidak adanya sistem baku pemerintah Islam. Perbedaan itu bisa terjadi pada Ijtihad para Khalifah yang menjadi wewenangnya terhadap persoalan yang baru dan mungkin juga terjadi pada masalah tehnis. Namun yang penting kebijakan para Khulafaur Rasyidin semuanya berpijak dan bersandar kepada dalil-dalil Al-Qur’an dan as-sunah.

Sementara itu Rasulullah Saw memerintahkan kepada kita untuk berpegang pada sunahnya dan sunah Khulafaur Rasyidin. Dan diantara sunah Khulafaur Rasyidin adalah menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum-hukum Allah. Artinya kita wajib meniru sistem pemerintahan para Khulafaur Rasyidin yaitu sistem khilafah.

Rasulullah Saw bersabda:

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

Maka wajib atas kalian berpegang teguh pada sunnahku dan Sunnah khulafaur rosyidin yang mendapatkan petunjuk, Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

Jika kita kaji dalil-dalil baik dari Al-Qur’an, as-sunah, ijma’ sahabat dan qiyas maka kita akan mendapatkan gambaran sistem pemerintahan Islam yang khas yang berbeda dengan sistem pemerintahan yang lainnya.

Juga akan didapatkan perkara-perkara pokok yang menjadi pilar pemerintahan Islam yaitu kedaulatan ditangan Syara’, kekuasaan adalah milik umat, mengangkat seorang Khalifah adalah wajib bagi kaum muslim dan hanya Khalifah yang memiliki hak untuk Mengadopsi hukum dan undang-undang negara.

Jadi jelas bahwa Rasulullah Saw telah mensyariatkan sistem pemerintahan Islam, berikut sistem politiknya baik dalam negeri maupun luar negeri.

Makna politik

Secara bahasa politik (siyasah) berasal dari kata “Sasa-yasusu-siyasatan” yang berarti mengurus kepentingan seseorang.

Berkata pengarang kamus mukhith : “sustu ar-ra’iyyah siyasatan amartuha wa nahaituha” artinya Mengatur urusannya dengan perintah dan larangan

Secara istilah maknanya telah dijelaskan oleh Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah di dalam Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’ :

السياسية: رعاية شئون الامة بالداخل والخارج وفق الشريعة الاسلامية

“Siyâsah (politik) adalah pengaturan urusan umat baik dalam maupun luar negeri berdasarkan syari’at Islam.”

Namun definisi yang lebih komprehensif adalah yang dijelaskan oleh Syeh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Afkarun Siyasiyatun.

السـياسـة هي رعاية شـؤون الأمة داخلياً وخارجياً، وتكون من قبل الدولة والأمة، فالدولة هي التي تباشر هذه الرعاية عملياً، والأمة هي التي تحاسب بها الدولة

“Politik (siyasah) adalah pengaturan urusan umat baik dalam negri maupun luar negeri, yang dilaksanakan oleh negara (pemerintah) maupun umat, dimana negara adalah institusi yang mengatur urusan tersebut secara praktis sedangkan umat mengoreksi kepada pemerintah dalam melakukan tugasnya.”

Definisi politik (siyasah) ini adalah definisi syar’i yang berasal dari dalil-dalil syar’i. Hal ini difahami dari adanya nas-nas yang menjelaskan tugas dan tanggung jawab penguasa dan juga adanya nas-nas yang menjelaskan tentang kewajiban muhasabah umat kepada penguasa atau hubungan antar sesama kaum muslim dalam mengurus urusan mereka maka semua itu menunjukkan makna politik yakni mengurus kepentingan umat.

Definisi politik ini juga merupakan definisi yang umum pada semua orang karena menggambarkan realitas aktivitas politik. Sehingga istilah tersebut mempunyai makna tunggal. Namun demikian masing-masing kelompok manusia mempunyai aturan dan hukum-hukum yang berbeda dalam sistem politik mereka. Jika sistem politiknya adalah sistem Islam maka pasti akan mengantarkan kemaslahatan dan keadilan, tetapi jika sistem politiknya sekuler maka pasti akan mengantarkan kedzaliman.

Oleh karena itu Imam Ibnu Qayyim al-jauziyah dalam kitab i’lamul muwaqqi’in dan ath-thuruq al-hukmiyah fii as-siyasati asy-syar’iyyah, membagi siyasah ada dua jenis yaitu

as-siyasah al-‘adilah dan as-siyasah adz-dzalimah.

Demikian juga Imam Syafi’i memberikan batasan bahwa politik itu harus sesuai dengan syariat sebagaimsna yang dinukil oleh Imam Ibnu Qayyim al-Jawziyyah (w. 751 H):

لَا سِيَاسَةَ إلَّا مَا وَافَقَ الشَّرْعَ السِّيَاسَةُ

“Tidak ada siyasah kecuali yang sejalan dengan hukum syari’ah.” Yakni yang tidak menyelisihi hukum syari’ah.

Wallahu a’lam bis shawab

Sumber:

tsaqofah.id

MEMAKNAI HADITS KEMBALINYA KHILAFAH

MEMAKNAI HADITS KEMBALINYA KHILAFAH

Oleh: Yuana Ryan Tresna| Mudir Ma’had Khadimus Sunnah Bandung

Hadits tentang Kabar Gembira Kembalinya Khilafah

Tsaqofatuna.id- Hadits yang mengabarkan berita gembira kembalinya khilafah sangatlah banyak. Adalah tidak benar bahwa hadits bisyarah nabawiyyah (kabar gembira kenabian) akan datangnya khilafah hanya didasarkan pada hadits riwayat Imam Ahmad. Masih banyak hadits-hadits lain yang secara makna sejalan dengan hadits tersebut.

Misalnya hadits riwayat Muslim, Ahmad dan Ibnu Hibban tentang khalifah di akhir zaman yang akan ‘menumpahkan’ harta yang tidak terhitung jumlahnya; hadits tentang akan datangnya khilafah di Baitul Maqdis (HR. Abu Dawud, Ahmad, al-Thabarani, al-Baihaqi); dan hadits tentang kekuasaan umat Nabi Muhammad yang akan melinggkupi dari timur hingga barat (HR. Muslim, Tirmidzi, Abu Daud). Hadits ini didukung oleh banyak hadits lain dengan makna yang sama, seperti masuknya Islam ke setiap rumah, al-waraq al-mu’allaq, hijrah setelah hijrah, penaklukan kota Roma, dst. Makna hadits kembalinya Khilafah ‘ala minhaj nubuwwah ini diriwayatkan oleh sekitar 25 shahabat, yang kemudian diriwayatkan oleh sekitar 39 tabi’in, kemudian diriwayatkan oleh sekitar 62 tabi’ al-tabi’in.

Berikut adalah hadits dari Hudzaifah ra., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:

«تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ»

“Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian, atas izin Allah ia tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan yang zhalim; ia juga ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan diktator yang menyengsarakan; ia juga ada dan atas izin Alah akan tetap ada. Selanjutnya akan ada kembali khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” (HR Ahmad, Abu Dawud al-Thayalisi dan al-Bazzar).

Hadits ini merupakan hadits maqbul, artinya diterima dan dapat dijadikan sebagai hujjah. Al-Hafizh al-‘Iraqi mengomentari: “Hadits ini hadits shahih, Imam Ahmad meriwayatkannya dalam Musnad-nya.” (al-‘Iraqi, Mahajjat al-Qurb ila Mahabbat al-‘Arab, hlm. 176).

Periode terakhir pada hadits di atas adalah periode kembalinya khilafah yang mengikuti metode (manhaj) kenabian. Ini merupakan berita gembira akan tegaknya kembali Khilafah setelah keruntuhannya. Makna yang sama juga diriwayatkan dalam banyak riwayat. Sebagai kabar gembira, hadits ini bukan dalil pokok kewajiban menegakkan khilafah. Kewajiban menegakkan khilafah dalilnya adalah al-Quran terkait kewajiban taat kepada ulil amri dan kewajiban menerapakan hukum-hukum Allah; dan hadits-hadits yang mewajiban adanya baiat dan adanya imam sebagai junnah (perisai).

Menjawab Keraguan terkait Otentisitas dan Validitas Hadits

Sebagian pihak mengatakan bahwa hadits tentang akan datangnya khilafah dari segi kritik sanad dan matan telah gugur. Tuduhan pada aspek kritik matan sangatlah lemah dan sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan. Adapun terkait kritik sanad, ini juga sangat tergesa-gesa. Menurut mereka, bahwa hadits yang dijadikan landasan utama oleh pejuang khilafah, dalam perspektif kritik sanad bermasalah karena ada seorang rawi bernama Habib bin salim al-Anshari yang dianggap tidak tsiqah (terpercaya). Alasannya adalah karena Habib bin Salim mendapatkan penilaian yang negatif (al-jarh) dari imam al-Bukhari yang menilai dengan sebutan “fihi nazhar”, dan juga komentar yang senada dari Ibn Adi. Lalu, mereka menyimpulkan, bahwa hadits tentang kekuasaan khilafah tersebut dari segi kritik sanad sudah gugur.

Jika kita meneliti penilaian para ulama jarh wa ta’dil, tampak jelas bahwa rawi Habib bin Salim dinyatakan tsiqah oleh sebagian ulama jarh wa ta’dil dan dikatakan jarh oleh sebagian lainnya. Jadi para ulama tidak satu suara ketika menilai rawi bernama Habib bin Salim. Oleh karenanya, peneliti seharusnya adil dan objektif menelaah setiap ungkapan tersebut.

Lalu benarkah rawi yang dinilai “fihi nazhar” oleh imam al-Bukhari sudah pasti dha’if? Memang pada keumumannya, “fihi nazhar” itu berkaitan dengan penilaian jarh dari imam al-Bukhari. Pada umumnya jarh ringan. Tapi tidak sesederhana itu. Tidak bisa memutlakan kedha’ifan hadits yang terdapat rawi yang dinilai “fihi nazhar”.

Ungkapan “fihi nazhar” tergantung qarinah-qarinahnya (indikasi-indikasinya). Qarinah ini perlu diteliti dan dikaji. Sayangnya sebagian pihak tergesa-gesa memutlakan kedha’ifan hadits yang di dalamnya ada rawi yang dinilai “fihi nazhar” oleh imam al-Bukhari tanpa memperhatikan qarinah-qarinahnya. Termasuk penilaian para ulama jarh wa ta’dil lainnya ketika menilai rawi yang dikomentari “fihi nazhar”.

Meski ungkapan “fihi nazhar” adalah cela ringan, tetapi masih membuka ruang penelitian. Imam al-Bukhari sendiri adakalanya menolak dan adakalanya menerima rawi yang dinilai “fihi nazhar”. Demikian juga dengan penilaian para ulama hadits lainnya, seperti Yahya bin Ma’in, Abu Hatim, Ibnu Adi, dll., berbeda-beda tergantung rawi yang ditelitinya. Ringkasnya, “fihi nazhar” memberikan peluang kesimpulan mulai dari kadzdzab (pendusta) hingga tsiqah. Sebuah rentang peluang yang sangat lebar.

Paling tidak ada 80 rawi yang dinilai “fihi nazhar” oleh imam al-Bukhari. Ini baru yang ungkapan “fihi nazhar”. Belum lagi yang dinilai “fi isnadihi nazhar, fi haditsihi nazhar, fihi ba’dhu nazhar, dll”. Untuk rawi bernama Habib bin Salim, Maula Nu’man bin Basyir, dalam al-Tarikh al-Kabir (al-Bukhari, 2/2606), al-Dhu’afa’ al-Kabir (al-Uqaili, 2/66) dan al-Kamil fi Dhu’afa al-Rijal (Ibnu Adi, 2/405), imam al-Bukhari menilainya “fihi nazhar”.

Imam Ibu Hatim, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban menilai Habib bin Salim sebagai seorang tsiqah. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani menilai “la ba’sa bihi”. (Lihat al-Jarh wa Ta’dil, 3/102; al-Tsiqat, 4/138; al-Kamil, 2/405; al-Taqrib, 1/151). Imam Muslim menggunakan rawi Habib bin Salim dalam hadits cabang sebagai mutaba’ah. Imam Ahmad dan al-Darimi juga meriwayatkannya.

Meski demikian, imam al-Bukhari menilai shahih riwayat Habib bin Salim, sebagaimana dijumpai dalam ‘Ilal al-Tirmidzi no. 152. Indikasi lainnya, imam al-Bukhari berhujjah dengan perkataan Habib bin Salim dalam biografi Yazid bin Nu’man bin Basyir (Tarikh al-Kabir, 8/365).

Pembahasan ini juga dibahas dalam kitab Muthalahat al-Jarh wa al-Ta’dil wa Tathawwuruha al-Tarikhiy fi al-Turats al-Mathbu’ li al-Imam al-Bukhari ma’a Dirasah Musthalahiyyah li Qaul al-Bukhari (Fihi Nazhar), hlm. 621-644.

Catatan lainnya, bahwa manhaj yang dipegang oleh para ahli hadits dan fuqaha adalah bahwa penilaian dha’if dan shahih suatu hadits tidak selalu disepakati semua ahli hadits dan bersifat mutlak. Bagi fuqaha, penilaian shahih menurut sebagian ahli hadits sudah cukup dapat dijadikan sebagai dalil.

Sebagaimana telah disinggung, bahwa Habib bin Salim al-Anshari adalah salah satu rijal dalam shahih Muslim. Imam Muslim (II/598) meriwayatkan hadits tentang bacaan pada shalat ‘ied dan jum’ah dari al-Nu’man bin Basyir. Artinya, menurut Imam Muslim, Habib bin Salim al-Anshari memenuhi syarat yang telah beliau tetapkan dalam muqaddimah kitab shahihnya. Maka bisa dimengerti mengapa Ibnu Hajar dalam Taqrib al-Tahdzib menyatakan “la ba’sa bihi”.

Adapun tuduhan pada rawi lainnya, seperti Ibrahim bin Dawud al-Wasithi, sungguh telah ditsiqahkan oleh Abu Dawud al-Thayalisi dan Ibnu Hibban. Selain kedua rawi tersebut, adalah para rawi yang tsiqah.

Dengan demikian, tidak benar bahwa hadits bisyarah nabawiyyah akan datangnya khilafah itu dha’if hanya karena sorotan pada rawi bernama Habib bin Salim. Para ulama justru telah menerima periwayatan Habib bin Salim. Adapun ungkapan “fihi nazhar” dari imam al-Bukhari sudah terjawab dalam penjelasan sebelumnya.

Jadi merupakan suatu kesalahan yang fatal kalau menganggap bahwa perjuangan untuk menerapkan hukum Islam melalui khilafah hanya didasarkan pada hadits dha’if. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad tentang akan kembalinya khilafah adalah shahih atau minimal hasan. Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh Syu’aib al-Arna’uth dalam Musnad Ahmad bi Hukm al-Arna’uth, juz 4 No. 18.430 dan dinilai shahih oleh al-Hafizh al-‘Iraqi dalam Mahajjah al-Qurab fi Mahabbah al-‘Arab (2/17).

Sikap yang Benar terhadap Kabar Gembira Kembalinya Khilafah

Sikap yang benar yang harus ditunjukkan seorang mukmin terkait janji kekhilafahan adalah: Pertama, seorang mukmin wajib menyakini sepenuhnya janji akan berkuasaanya kembali umat Islam (QS. Al-Nur: 55), karena Allah SWT pasti menunaikan janji-janji-Nya. (QS. (18):108 dan (73):18). Yakin kepada janji Allah termasuk bagian keimanan; dan siapa saja ingkar atau ragu terhadap janji Allah SWT, keimanannya telah rusak; Kedua, seorang mukmin harus membenarkan kabar gembira dari Rasulullah SAW, sebagaimana yang Rasulullah kabarkan dalam banyak hadits shahihnya; Ketiga, bersungguh-sungguh mewujudkan kabar gembira tersebut dengan rasa optimis sebagai wujud ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Keempat, tidak menunggu kemenangan dengan berpangku tangan, pesimis, atau sekadar menunggu datangnya al-Mahdi.

Pada dasarnya, para ulama dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah menggariskan hal-hal penting berkaitan dengan khilafah islamiyyah: Pertama, mengangkat seorang khalifah untuk menduduki tampuk khilafah Islamiyyah adalah kewajiban. (al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz 6, hlm. 291); Kedua, mengangkat seorang khalifah setelah berakhirnya zaman nubuwwah adalah kewajiban yang paling penting. (al-Haitsami, Shawa’iq al-Muhriqah, juz 1, hlm. 25); Ketiga, Allah SWT telah menjanjikan kekhilafahan kepada kaum mukmin hingga akhir zaman. (al-Syaukani, Fath al-Qadir, Juz 5, hlm. 241); Keempat, menegakkan kekuasaan Islam (khilafah Islamiyyah) termasuk sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT yang paling agung. (Ibnu Taimiyyah, al-Siyasah al-Syar’iyyah, hlm. 161).

Dalam menegakkan khilafah Islamiyyah sebagai kewajiban syariat, sikap yang seharusnya bagi seorang mukmin adalah tunduk, patuh, dan berusaha menunaikan kewajiban itu dengan sebaik-baiknya. Seorang mukmin dilarang mempertanyakan, meragukan, menggugat, atau menghindari kewajiban agung ini dengan alasan apapun. Sebaliknya, ia wajib menerimanya dengan sepenuh keimanan dan ketundukan. Alasannya, kewajiban menegakkan khilafah Islamiyyah sama kedudukannya dengan kewajiban-kewajiban lain, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan lain-lain.

Sedangkan dalam konteks menegakkan khilafah Islamiyyah sebagai kewajiban paling penting dan sarana mendekatkan diri kepada Allah yang paling agung, maka seorang mukmin harus menyibukkan dan memfokuskan dirinya pada kewajiban ini, dan menjadikannya sebagai qadhiyyah al-mashiriyyah (persoalan utama) bagi kaum muslim. Alasannya, khilafah Islamiyyah adalah thariqah syar’iyyah (metode syar’i) untuk menerapkan Islam secara sempurna, sekaligus melangsungkan kepemimpinan kaum muslim di seluruh penjuru dunia.

Sebaliknya, sikap putus asa adalah perkara yang diharamkan. Contoh sikap putus asa adalah tidak peduli, dan cenderung mencemooh pejuang dan perjuangan penegakkan khilafah Islamiyyah. Padahal, sikap putus asa, pesimis, dan mencemooh kewajiban yang dibebankan Allah SWT termasuk perbuatan dosa. Nabi SAW bersabda:

وَثَلاَثَةٌ لاَ تُسْأَلُ عَنْهُمْ: رَجُلٌ نَازَعَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ رِدَاءَهُ فَإِنَّ رِدَاءَهُ الْكِبْرِيَاءُ وَإِزَارَهُ الْعِزَّةُ، وَرَجُلٌ شَكَّ فِي أَمْرِ اللهِ، وَالْقُنُوْطُ مِنْ رَحْمَةِ اللهِ

“Ada tiga golongan manusia yang tidak akan ditanya di hari Kiamat yaitu: manusia yang mencabut selendang Allah; dan sesungguhnya selendang Allah adalah kesombongan dan kainnya adalah al-‘izzah (keperkasaan); manusia yang meragukan perintah Allah; dan manusia yang putus harapan dari rahmat Allah.” (HR. Ahmad, Thabarani, al-Bazar)

Diantara sikap keliru lain yang dikembangkan sebagian kaum muslim adalah mengabaikan perjuangan menegakkan syariah dan Khilafah, dengan alasan menunggu datangnya imam Mahdi. Pemahaman seperti ini tidak tepat, karena menegakkan khilafah Islamiyyah adalah kewajiban syariat. Seorang muslim tidak boleh abai dengan kewajiban ini, atau tidak berupaya memperjuangkannya dengan sungguh-sungguh. Sebab, khilafah Islamiyyah adalah thariqah syar’i untuk menerapkan Islam secara sempurna.

Adapun hadits-hadits yang berbicara tentang turunnya imam Mahdi, sama sekali tidak menafikan kewajiban menegakkan khilafah Islamiyyah atas kaum muslim. Hadits-hadits tersebut juga tidak memerintahkan kaum muslim untuk hanya menunggu datangnya imam Mahdi, dan berdiam diri terhadap kewajiban menegakkan khilafah Islamiyyah.

Penutup

Kaum muslim wajib bersungguh-sungguh menyongsong kabar gembira Rasulullah SAW. Tegaknya khilafah akan mengembalikan kemuliaan dan kehormatan umat Islam. Apa yang terjadi sekarang ini, menggambarkan bahwa kita hidup saat ketiadaan perisai yang menjaga agama dan melindungi umat. Maka perlu ada upaya serius untuk menorehkan kembali sejarah agung peradaban Islam, mengembalikan kehidupan Islam dengan tegaknya al-khilafah ‘ala minhaj al-nubuwwah di muka bumi. Kaum muslim sudah seharusnya bangkit dari keterpurukan, dimana mereka terpuruk di tengah limpahan potensi sumber daya yang ada. Imam Ibn Muflih al-Hanbali (w. 763 H) menuturkan:

كَالْعِيسِ فِي الْبَيْدَاءِ يَقْتُلُهَا الظَّمَا * وَالْمَاءُ فَوْقَ ظُهُورِهَا مَحْمُولُ

“Bagaikan unta di padang pasir yang mati kehausan * Dan air di atas punggungnya tersimpan.” (Ibnu Muflih al-Maqdisi, Al-Adab al-Syar’iyyah, juz III, hlm. 104).

Sumber:

tsaqofah.id