Tampilkan postingan dengan label Nafsiyah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nafsiyah. Tampilkan semua postingan

Tingkatkan Iman Dan Kualitas Diri

Tingkatkan Iman Dan Kualitas Diri

Oleh: DR Nasrul Syarif M.Si.

Penulis Buku Gizi Spiritual dan Buku The Power of Spirituality

Tsaqofatuna.id - Sobat. Ilmu bertambah dengan belajar, kemampuan akal bertambah dengan pengalaman, agama bertambah dengan ibadah, akhlak bertambah dengan pendidikan, harta bertambah dengan pengelolaan yang baik dan penghematan, teman bertambah dengan perilaku yang baik, musuh bertambah dengan kesombongan, penyakit bertambah dengan banyak makan, penalaran tambah berkualitas dengan ketelitian, hati bertambah kuat dengan ujian dan cobaan, dan dzikir bertambah baik dengan meluruskan batin.

Sobat. Musibah adalah bahan pelajaran. Orang yang tidak pernah merasakan pahitnya kesempitan tidak akan merasakan nikmatnya kelapangan. Orang yang tidak pernah merasakan lapar tidak akan merasakan nikmatnya kenyang. Orang yang tidak pernah sakit tidak akan merasakan nikmatnya sehat. Orang yang tidak pernah dipenjara tidak akan merasakan indahnya kebebasan dan kemerdekaan. Sesungguhnya semua musibah itu merupakan pelajaran.

Sobat. Apalah artinya dunia tanpa iman dan amal sholeh. Seandainya Anda memiliki gudang dunia, tetapi tidak memiliki iman dan amal sholeh,ketahuilah Anda pasti celaka.

Allah SWT berfirman :

تِلۡكَ ٱلدَّارُ ٱلۡأٓخِرَةُ نَجۡعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوّٗا فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فَسَادٗاۚ وَٱلۡعَٰقِبَةُ لِلۡمُتَّقِينَ

“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” ( QS. Al-Qasas (28) : 83)

Sobat. Ayat ini menerangkan bahwa kebahagiaan dan segala kenikmatan di akhirat disediakan untuk orang-orang yang tidak takabur, tidak menyombongkan diri, dan tidak berbuat kerusakan di muka bumi seperti menganiaya dan sebagainya. Mereka itu bersifat rendah hati, tahu menempatkan diri kepada orang yang lebih tua dan lebih banyak ilmunya. Kepada yang lebih muda dan kurang ilmunya, mereka mengasihi, tidak takabur, dan menyom-bongkan diri. Orang yang takabur dan menyombongkan diri tidak disukai Allah, akan mendapat siksa yang amat pedih, dan tidak masuk surga di akhirat nanti, sebagaimana firman Allah:

Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, Allah akan menyempurnakan pahala bagi mereka dan menambah sebagian dari karunia-Nya. Sedangkan orang-orang yang enggan (menyembah Allah) dan menyombongkan diri, maka Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih. Dan mereka tidak akan mendapatkan pelindung dan penolong selain Allah. (an-Nisa'/4: 173)

Sabda Rasulullah saw:

Tidak akan masuk surga orang yang ada di dalam hatinya sifat takabur, sekalipun sebesar zarah. (Riwayat Muslim dan Abu Dawud dari Ibnu Mas'ud)

Ayat 83 ini ditutup dengan penjelasan bahwa kesudahan yang baik berupa surga diperoleh orang-orang yang takwa kepada Allah dengan mengamalkan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, tidak takabur dan tidak menyombongkan diri seperti Fir'aun dan Karun.

Allah SWT berfirman :

قُلْ مَن يَرۡزُقُكُم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ أَمَّن يَمۡلِكُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَٰرَ وَمَن يُخۡرِجُ ٱلۡحَيَّ مِنَ ٱلۡمَيِّتِ وَيُخۡرِجُ ٱلۡمَيِّتَ مِنَ ٱلۡحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ ٱلۡأَمۡرَۚ فَسَيَقُولُونَ ٱللَّهُۚ فَقُلۡ أَفَلَا تَتَّقُونَ فَذَٰلِكُمُ ٱللَّهُ رَبُّكُمُ ٱلۡحَقُّۖ فَمَاذَا بَعۡدَ ٱلۡحَقِّ إِلَّا ٱلضَّلَٰلُۖ فَأَنَّىٰ تُصۡرَفُونَ

“Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka katakanlah "Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?" Maka (Zat yang demikian) itulah Allah Tuhan kamu yang sebenarnya; maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?” ( QS. Yunus (10) : 31-32)

Sobat. Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw, agar mengata-kan kepada penduduk Mekah yang menentang kenabiannya, bahwa siapakah yang menurunkan rezeki dari langit dan siapa pula yang menumbuhkan tumbuh-tumbuhan di bumi yang beraneka macam untuk manusia ataupun binatang ternak mereka?

Pernyataan ini dimaksudkan agar orang-orang musyrikin Mekah itu menyadari diri mereka sendiri dan ingat bahwa berhala-berhala itu sama sekali tidak sanggup menurunkan hujan dan yang menurunkan hujan itu hanyalah Allah.

Sobat. Selanjutnya Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw untuk menanyakan kepada mereka bahwa siapakah yang kuasa menciptakan telinga sebagai alat pendengaran dan mata sebagai alat penglihatan mereka, sehingga dengan kedua indra itu, mereka dapat mengenal alam semesta dengan fenomenanya. Dengan telinga manusia dapat mendengar tutur kata orang lain dan dengan perantaraannya pula dapat menerima ilmu pengetahuan dan memperoleh pengalaman.

Demikian pula dengan penglihatannya, manusia dapat melihat keindahan alam dan dapat menerima isyarat-isyarat yang dapat menuntun pikirannya untuk mengetahui siapa pencipta alam semesta.

Sobat. Tanpa kedua indra ini, manusia tidak dapat mengetahui dengan sempurna keadaan alam dunia. Dua indra ini disebutkan dalam dua ayat ini karena kedua indera itulah yang menjadi alat untuk menerima ilmu pengetahuan, sehingga manusia mempunyai derajat lebih tinggi dari hewan. Sebab, meskipun hewan mempunyai pendengaran dan penglihatan, tetapi hewan tidak diberi akal oleh Allah, sehingga binatang itu tidak dapat menerima ilmu pengetahuan kecuali sekedar instink kebinatangan.

Sobat. Apabila manusia suka merenungkan siapa yang menciptakan kedua indera itu tentulah ia tidak akan ragu, bahkan tanpa berpikir panjang mereka dapat menemukan jawabannya. Apabila mereka menemukan jawabannya, tentulah mereka akan mensyukuri nikmat Allah serta akan beriman dengan iman yang sebenar-benarnya dengan mengakui bahwa tiada tuhan yang lain kecuali Zat Yang Berkuasa Yang menciptakan panca indera itu.

Sobat. Selanjutnya Allah memerintahkan kepada Rasulullah untuk menanyakan kepada orang-orang musyrik bahwa siapakah yang berkuasa menghidupkan dan mematikan, dan siapa yang menciptakan benda hidup dari benda mati dan menciptakan benda mati dari benda hidup? Pertanyaan ini sengaja ditanyakan untuk menumbuhkan kesadaran mereka, bahwa hanya Allah-lah yang menciptakan tumbuh-tumbuhan dari bumi yang mati, setelah bumi itu diberi kehidupan oleh Allah dengan menurunkan air hujan, firman Allah:

Apakah engkau tidak memperhatikan, bahwa Allah menurunkan air dari langit, lalu diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi, kemudian dengan air itu ditumbuhkan-Nya tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya. (az-Zumar/39: 21)

Sobat. Tanda-tanda kehidupan pada setiap makhluk berbeda-beda. Tanda kehidupan pada tumbuh-tumbuhan ialah tumbuh-tumbuhan itu dapat terus tumbuh, berkembang, dan membesar, sedang tanda kehidupan bagi binatang ialah bergerak dan bernafas. Tanda kehidupan serupa itu mudah dipahami dan diterima oleh akal manusia.

Tetapi bagaimanakah tanda-tanda kehidupan dari biji-bijian, baik biji-bijian tunggal ataupun berkeping dua, atau tumbuh-tumbuhan spora, dan bagaimana pula kehidupan pada ovum dan sperma, baik dari binatang dan manusia. Hal ini adalah suatu tanda yang sukar dibayangkan dan dianalisa oleh manusia.

Sobat. Oleh sebab itulah, Allah memberikan tamsil yang mudah dipahami yaitu mengeluarkan benda hidup dari benda mati dan sebaliknya bagaimana mengeluarkan benda mati dari benda hidup untuk menyatakan kekuasaan Allah menciptakan segala benda mati ataupun benda hidup dengan kekuasaan-Nya.

Sobat. Apabila seseorang mau meneliti asal mula kejadian biji-bijian, spora, ovum, dan sperma serta segala macam asal kehidupan, maka mereka akan sampai pada kesimpulan bahwa asal mula kehidupan makhluk yang ada di bumi berasal dari benda mati. Sudah tentu pendapat ini berlawanan dengan pendapat para ahli biologi yang mengatakan bahwa segala jenis yang hidup tidak akan timbul kecuali dari yang hidup. Memang pendapat ini kelihatannya benar apabila kita tinjau dari siklus peredaran kehidupan binatang dan tumbuh-tumbuhan, akan tetapi apabila ditinjau dari asal mula kejadiannya tentulah pendapat tadi tidak tepat.

Selanjutnya Allah memerintahkan kepada Rasulullah saw untuk menanyakan siapakah yang mengendalikan segala macam urusan makhluk di muka bumi ini? Pengendaliannya sangat mengagumkan. Segala macam kehidupan diatur dengan hukum-hukum yang serasi dan seimbang. Maka bagi orang yang mau merenungkan hukum-hukum-Nya ia akan memberikan jawaban dari semua pertanyaan itu bahwa yang menciptakan segala-galanya ialah Allah, Tuhan seru sekalian alam dan Dia pula yang mengurus dan mengendalikannya.

Allah memerintahkan kepada Nabi saw agar mengatakan kepada kaum musyrikin, mengapa mereka tidak memelihara diri mereka agar terlepas dari kesesatan? Apabila mereka mau memelihara diri mereka tentulah mereka tidak akan terjerumus kepada kemusyrikan dan menjadi penyembah-penyembah berhala. Sembahan-sembahan selain Allah itu sedikitpun tidak mempunyai kekuasaan untuk mendatangkan kemudaratan atau kemanfaatan kepada mereka.

Sobat. Kemudian ayat ini mengisyaratkan kepada orang-orang musyrikin Mekah bahwa Zat yang mempunyai sifat-sifat yang telah disebutkan terdahulu ialah Allah Yang memelihara mereka, Dialah Tuhan Yang Hak, Yang Hidup dan menghidupkan. Dan Dialah Yang berhak untuk disembah. Dan Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw agar menyatakan kepada mereka bahwa tidak ada Tuhan yang mengurus segala urusan di dunia ini selain Allah.

Sobat. Allah menyalahkan perbuatan mereka dan meminta pertanggungjawaban mengapa mereka menyeleweng dari agama yang benar yaitu agama tauhid kepada sesuatu yang batil, seolah-olah mereka itu lari dari petunjuk Allah dan mencari jalan yang sesat, padahal mereka mengetahui bukti-bukti kebenaran adanya Allah Tuhan Yang sebenarnya. Apabila mereka telah mengetahui bukti-bukti adanya Allah Pencipta alam maka seharusnya mereka tidak mau menyembah tuhan-tuhan yang lain. Sebab apabila terjadi demikian, berarti pengakuan mereka berbeda dengan perbuatan, dan apa yang terbetik dalam hati mereka tidak sesuai dengan apa yang mereka kerjakan.

Sobat. Bagi siapa yang bersikap menghambakan dirinya kepada Allah berarti mereka telah menempuh jalan yang benar dan mendapat petunjuk-Nya, karena mereka menyembah Tuhan yang benar. Tetapi orang-orang yang menyembah tuhan-tuhan selain Allah, mereka itulah orang-orang yang sesat, karena mereka menyembah tuhan yang tidak berhak disembah yang mereka anggap sebagai perantara. Setiap orang yang menyembah tuhan-tuhan selain Allah adalah orang-orang musyrik dan bergelimang dalam kebatilan serta terjerumus dalam lembah kesesatan.

Amal Yang Lebih Baik Dari Dunia Seisinya

Amal Yang Lebih Baik Dari Dunia Seisinya

Tsaqofatuna.id- Sobat. Dalam beberapa hadits Nabi dijelasakan keutamaan satu ungkapan atau amalan yang jika seseorang mengamalkannya maka amalannya jauh lebih baik daripada dunia seisinya.

1. Kalimat tauhid Laa ilaaha illallaah . Jika ditimbang di neraca timbangan, maka kalimat ini bisa lebih berat , lebih berharga, dan lebih berbobot daripada timbangan langit, bumi dan seisinya. Kalimat tauhid adalah kunci surga, Setiap kunci mempunyai gerigi, sedangkan gigi tauhid itu sendiri adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan yang diharamkan dan melaksanakan kewajiban-kewajiban syariat.

Allah SWT berfirman :

فَٱعۡلَمۡ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لِذَنۢبِكَ وَلِلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتِۗ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ مُتَقَلَّبَكُمۡ وَمَثۡوَىٰكُمۡ

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.” ( QS. Muhammad (47) : 19 )

Sobat. Dalam ayat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad, apabila ia telah yakin dan mengetahui pahala yang akan diperoleh oleh orang-orang yang beriman, serta azab yang akan diperoleh oleh orang-orang kafir di akhirat, untuk berpegang teguh kepada agama Allah yang dapat mendatangkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Beliau juga diperintahkan untuk memohon kepada Allah agar mengampuni dosa-dosanya dan dosa-dosa orang beriman, selalu berdoa dan berzikir kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali memberi kesempatan kepada setan untuk melaksanakan maksud buruknya kepada beliau.

Sebuah hadis sahih mengatakan, Rasulullah saw selalu berdoa:

Wahai Allah, ampunilah kesalahanku, kebodohanku, dan perbuatanku yang berlebih-lebihan, dan dosaku yang lebih Engkau ketahui daripadaku. Wahai Allah, ampunilah dosa perkataanku yang tidak serius dan perkataanku yang sungguh-sungguh, kesalahanku, kesengajaanku, dan semua yang ada padaku." (Riwayat al-Bukhari dari Abu Musa al-Asy'ari)

Rasulullah sering berdoa pada akhir salatnya, sebelum mengucapkan salam:

Ya Allah, ampunilah dosaku yang terdahulu dan yang terkemudian, yang tersembunyi dan yang tampak, serta perbuatanku yang berlebihan dan dosaku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku, Engkau Tuhanku, tak ada tuhan selain Engkau." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu 'Abbas)

Hai manusia, bertobatlah kamu kepada Tuhanmu maka sesungguhnya aku pun mohon ampun kepada Allah dan bertobat kepada-Nya setiap hari lebih dari tujuh puluh kali. (Riwayat Muslim)

Abu Bakar as-shiddiq berkata, "Hendaklah kamu membaca, "La ilaha illallah dan istigfar." Bacalah keduanya berulang kali, maka sesungguhnya Iblis berkata, "Aku membinasakan manusia dengan perbuatan dosanya, dan mereka membinasakanku dengan membaca La ilaha illallah dan istigfar, maka ketika aku mengetahui yang demikian, mereka aku hancurkan dengan hawa nafsunya, mereka mengira mendapat petunjuk." (Riwayat Abu Ya'la).

Dalam satu atsar diterangkan perkataan Iblis, "Demi keperkasaan dan keagungan-Mu, wahai Tuhan, aku senantiasa memperdaya mereka selama nyawa mereka dikandung badan." Lalu Allah berfirman, "Demi keperkasaan dan keagungan-Ku, Aku senantiasa mengampuni dosa mereka, selama mereka tetap memohon ampunan kepada-Ku."

Selanjutnya Allah mendorong manusia melaksanakan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, dan agar selalu berusaha untuk mencari rezeki dan kebahagiaan hidupnya. Allah berfirman, "Dia mengetahui segala usaha, perilaku, dan tindak-tanduk mereka di siang hari, begitu pula tempat mereka berada di malam hari. Oleh karena itu, bertakwa dan meminta ampunlah kepada-Nya." Dalam ayat lain, Allah berfirman:

Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya.) Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfudz). (Hud/11: 6)

Dan Dialah yang menidurkan kamu pada malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari. Kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umurmu yang telah ditetapkan. Kemudian kepada-Nya tempat kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (al-An'am/6: 60)

2. Orang yang melaksanakan sholat dua rokaat sunnah sebelum shubuh maka pahalanya jauh lebih baik dari dunia seisinya. ( HR. Tirmidzi dan An-Nasaí ).

3. Dua kalimat yang enteng diucapkan namun sangat disenangi Allah, dan jika ditimbang dalam timbangan amalan, akan sangat berat : Subhaanallah wabihamdih, Subhaanallah al-‘Azhim ( HR Bukhari dan Muslim )

4. Membaca Subhaanallah walhamdulillah walaa ilaaha illallah wallahu akbar, lebih baik dari hari ketika matahari yang muncul menyinari bumi ( HR Muslim dan Tirmidzi )

5. Pada saat mendapat wahyu berupa surat al-Fath , Nabi sangat bahagia dan mengatakan bahwa surat ini lebih aku sukai daripada hari ketika matahari bersinar. ( HR Muslim dan Tirmidzi )

Sobat. Dari penjelasan di atas nyatalah bahwa ketauhidan , keimanan, dan hal-hal yang ukhrawi atau berorientasi ukhrawi jauh lebih baik dan lebih berharga daripada materi duniawi. Hal itu, karena materi duniawi bersifat sementara dan akan habis, sedangkan pahala akherat akan kekal.

Sobat. Orang cerdas adalah orang yang selalu memilih keabadian dan kelanggengan daripada yang bersifat sementara dan akan habis. Orang yang bijak akan memilih nilai-nilai kebadian daripada yang bersifat materi.

Sobat. Dengan melihat itu semua, Al-Qur’an sebagai kalamullah yang berisi tuntunan hidup dan pencerahan jauh lebih baik dan lebih besar anugerahnya daripada seluruh alam semesta. Semoga kita bisa menikmati kehadiran Al-Qur’an dalam kehidupan ini.

( DR Nasrul Syarif M.Si. Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo. Wakil Ketua Komnas Pendidikan Jawa Timur )

Urgensi Doa dan Zikir Dalam Perjuangan

UUrgensi Doa dan Zikir Dalam Perjuangan

Irfan Abu Naveed, M.Pd.I; (Penulis Buku “InnaLlâha Ma’anâ”)

Hakikat Zikir: Konsisten pada Islam

Tsaqofatuna.id - Doa dan dzikruLlâh tatkala Islam dan pengemban dakwahnya dipersekusi semakin penting. Doa dan zikir bisa menguatkan ma’iyatuLlâh (kebersamaan dengan Allah) dalam setiap langkah perjuangan. Karena itu doa dan zikir harus menghiasi kalbu dan lisan para pejuang sebagai senjata ampuh (silâh al-mu’min) menghadapi berbagai tantangan. Dengan doa yang khusyuk, seseorang mengingat Allah. Dengan dzikruLlâh ia mawas diri menegakkan Islam dalam kehidupan. Sebab konsistensi pada syariah adalah syarat pengabulan doa dari Allah (lihat: QS al-Baqarah [2]: 172 dan 186; QS al-Mu’minun [23]: 51).

Rasulullah saw. menceritakan tentang seseorang yang melakukan perjalanan panjang. Kumal pakaiannya. Ia menengadahkan tangannya ke langit, lalu berdoa. “Yâ Rabb, yâ Rabb.” Namun, makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dipenuhi dengan yang haram. Lalu bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan oleh Allah?” (HR Muslim dan Ahmad).

Al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H) dalam Fath al-Bâri (XI/96) menegaskan bahwa kehalalan makanan dan pakaian merupakan salah satu syarat pengabulan doa. Dengan demikian doa sangat penting bagi seorang Mukmin. DzikruLlâh yang membuahkan sifat wara’ juga sangat menyokong pengabulan doa.

Dengan demikian konsisten pada Islam (akidah dan syariahnya), baik lahiriah maupun batiniahnya, merupakan dzikruLlâh sesungguhnya:

ٱلَّذِينَ يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمٗا وَقُعُودٗا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَٰذَا بَٰطِلٗا سُبۡحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ

(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Tuhan Kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau. Karena itu peliharalah Kami dari siksa neraka.” (QS Ali Imran [3]: 191).

Ketika menafsirkan ayat tersebut, Al-Hafizh Ibn Jarir ath-Thabari (w. 310 H) dalam tafsirnya (VII, hlm. 474) menjelaskan bahwa potongan kalimat alladzîna yadzkurûnaLlâha qiyâm[an] wa qu’ûd[an] merupakan sifat dari ulul albâb yang disebutkan pada ayat sebelumnya. Kalimat tersebut merupakan kiasan (majâz mursal) dari keseluruhan aktivitas manusia. Semua itu tak akan terwujud kecuali jika seseorang berpegang teguh pada akidah dan syariah-Nya.

Banyak dalil yang menjelaskan keutamaan dzikruLlâh. Al-Hafizh Ibn al-Jauzi (w. 597 H) dalam Bahr ad-Dumû’ menuliskan sub-bab berjudul, “Al-Hatsts ’alâ DzikriLlâh” (Anjuran untuk Mengingat Allah). Sub-bab ini memaparkan dalil-dalil al-Quran dan as-Sunnah mengenai anjuran dan keutamaan dzikruLlâh sehingga sudah selayaknya menghiasi kalbu dan lisan para pejuang.

Senjata Ampuh dalam Dakwah

Doa dan zikir adalah senjata ampuh para nabi dan rasul ‘alayhim as-salâm tatkala menghadapi kesulitan dan kezaliman manusia. Allah SWT berfirman menggambarkan pengabulan doa atas Nabi Dzunnun (Yunus as.) ketika di dalam perut ikan paus (lihat: QS al-Anbiya’ [21]: 87-88). Al-Hafizh Ibn Katsir (w. 774 H) dalam tafsirnya (V/368) menjelaskan: yakni jika orang beriman menghadapi berbagai kesulitan, lantas berdoa dan bertobat kembali kepada Allah. Apalagi jika ia berdoa dengan doa ini:

لَّآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنتَ سُبۡحَٰنَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ

Tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, sungguh aku adalah termasuk orang-orang yang zalim (QS al-Anbiya’ [21]: 87).

Tercatat dalam lembaran emas sîrah NabiyuLlâh al-Mushthafa Muhammad saw. dan para sahabatnya, tatkala menghadapi persekusi kaum Kafir Quraisyi, apa yang mereka ucapkan. Mereka mengucapkan kalimat zikir yang mengandung doa:

ٱلَّذِينَ قَالَ لَهُمُ ٱلنَّاسُ إِنَّ ٱلنَّاسَ قَدۡ جَمَعُواْ لَكُمۡ فَٱخۡشَوۡهُمۡ فَزَادَهُمۡ إِيمَٰنٗا وَقَالُواْ حَسۡبُنَا ٱللَّهُ وَنِعۡمَ ٱلۡوَكِيلُ

(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan, “Sungguh manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian. Karena itu takutlah kalian kepada mereka.” Namun, perkataan itu malah menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (QS Ali Imran [3]: 173).

Baginda Rasulullah saw., dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim, secara khusus berdoa untuk para pemimpin utama kafir Quraisyi, dengan uslûb doa: “Allâhumma ’alayka bi Quraysyin (diulang tiga kali).” Lalu beliau menyebutkan sejumlah nama: Abu Jahal bin Hisyam, Utbah bin Rabiah, Syaibah bin Rabiah, al-Walid bin Uqbah, Umayyah bin Khalaf dan Uqbah bin Abi Muith.

Apa yang terjadi kemudian? Pada Perang Badar, mereka yang disebutkan ini mati mengenaskan.

Rasulullah saw. pun banyak berdoa untuk kemenangan kaum Muslim pada Badr al-Kubra. Setelah beliau mempersiapkan para sahabat baik fisik maupun spirit (berjihad dengan al-quwwah al-rûhiyyah), beliau dan kaum Muslim pun memenuhi hukum sebab-akibat untuk meraih kemenangan. Mereka bermusyawarah merumuskan strategi yang tepat, mempersiap-kan senjata dan mengenakan baju besi. Dalam riwayat al-Bukhari digambarkan bahwa Rasulullah saw. pun banyak berdoa kepada Allah di Qubbah-nya:

اللَّهُمَّ إِنِيّ أَنْشُدُكَ عَهْدَكَ وَوَعْدَكَ اللَّهُمَّ إِنْ شِئْتَ لمَ تُعْبَدْ بَعْدَ الْيَوْمِ

Ya Allah, sungguh aku benar-benar memohon kepada-Mu akan perjanjian dan janji-Mu. Ya Allah, jika Engkau menghendaki (kehancuran pasukan Islam ini) maka Engkau tidak akan disembah lagi setelah hari ini.

Lalu Abu Bakar memegangi tangan beliau dan berkata, “Cukup, wahai Rasulullah saw. Sungguh Tuan telah bersungguh-sungguh meminta dengan terus-menerus kepada Rabb Tuan.”

Saat itu mengenakan baju besi, beliau lalu tampil sambil membacakan firman Allah SWT:

سَيُهۡزَمُ ٱلۡجَمۡعُ وَيُوَلُّونَ ٱلدُّبُرَ ٤٥ بَلِ ٱلسَّاعَةُ مَوۡعِدُهُمۡ وَٱلسَّاعَةُ أَدۡهَىٰ وَأَمَرُّ

Kesatuan musuh itu pasti akan diceriberaikan dan mereka akan lari tunggang langgang. Akan tetapi sebenarnya, Hari Kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka (siksaan) dan Hari Kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit (QS al-Qamar [54]: 45-46).

Rasulullah saw. pun sempat berkata, “Abu Bakar, sampaikan kabar gembira ini, bahwa pertolongan Allah telah tiba. Ini Jibril as. sedang memegang tali kekang kuda yang dia tunggangi berada di antara debu-debu.”

Bi idzniLlâh, kaum Muslim yang berjumlah tiga ratus tiga puluh jiwa mampu menceraiberaikan sekitar seribu pasukan kafir Quraisy. Allah mendatangkan pasukan para malaikat yang membantu kaum Muslim memporakporandakan barisan musuh hingga digambarkan Allah seakan-akan kaum kuffâr menyaksikan kaum Muslim dua kali lipat jumlahnya.

Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qa’ah Ji (w. 1435 H) dalam Ru’yah Siyâsiyyah li as-Sîrah an-Nabwiyyah (hlm. 134) menukil pendapat para ulama bahwa para malaikat tak ikut berperang secara langsung membantu kaum Muslim dalam peperangan selain Perang Badar al-Kubra. Mahabenar Allah Yang berfirman dalam QS Ali Imran [3]: 13 hingga sampai pada ayat:

وَٱللَّهُ يُؤَيِّدُ بِنَصۡرِهِۦ مَن يَشَآءُۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَعِبۡرَةٗ لِّأُوْلِي ٱلۡأَبۡصَٰرِ

Allah menguatkan dengan pertolongan-Nya siapa yang Dia kehendaki. Sungguh pada yang demikian terdapat pelajaran bagi kaum yang mempunyai mata hati (QS Ali Imrân [3]: 13).

Dengan demikian mudah bagi Allah untuk memenangkan hamba-hamba-Nya yang beriman atas kaum kuffâr dan sekutunya, AlLâh al-Musta’ân. Ketika pertolongan itu tiba maka tiada makhluk-Nya yang mampu menghadang-nya:

إِن يَنصُرۡكُمُ ٱللَّهُ فَلَا غَالِبَ لَكُمۡۖ

Jika Allah menolong kalian maka tak ada seorang pun yang dapat mengalahkan ka lian (QS Ali Imran [3]: 160).

اللَّهُمَّ امْنُنْ عَلَيْنَا بِنَصْرٍ عَزِيْزٍ مُؤَزَّرٍ مِنْ عِنْدِك، يُعَزُّ فِيْهِ أَوْلِيَاؤُك، وَيُذَلُّ فِيْهِ أَعْدَاؤُك، وَيُفْرَحُ المؤْمِنُونَ بِنَصْرِك، يا ناصر المؤمنين، يأ أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ، يا ربَّ العَالَمِينَ

Musibah: Hukuman Atau Ujian?

Ustadz Labib: Sebuah Kezaliman Menjamu Israel yang Memerangi Palestina

Pendahuluan

Tsaqofatuna.id-Ketika terjadi musibah yang menimpa sebagian umat Islam di suatu tempat, sebagian umat Islam ada yang langsung menyatakan bahwa musibah itu adalah hukuman atau azab (al-’uqūbāt/al-’iqāb) bagi umat di tempat tersebut. Namun ada yang membantah pernyataan tersebut, seraya menyatakan bahwa musibah itu bukanlah hukuman, melainkan ujian (al-ibtilā’). Artinya, musibah itu tidak ada hubungannya dengan dosa atau maksiat yang dilakukan umat Islam di lokasi musibah.

Bagaimanakah sebenarnya mendudukkan musibah yang terjadi di antara dua kemungkinan, yaitu apakah musibah itu hukuman ataukah sekedar ujian dari Allah SWT? Tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan tersebut dengan mengkaji dan menganalisis sejumlah nash-nash syara’ dari Al-Qur`an dan As-Sunnah mengenai musibah dalam kaitannya dengan dosa atau maksiat yang dilakukan manusia, sehingga akan diketahui bahwa musibah itu hukuman atau ujian.

Definisi Musibah

Para ulama mendefinisikan musibah sebagai berikut :

اَلْمُصِيْبَةُ هِيَ كُلُّ مَكْرُوْهٍ يَحُلُّ بِالْإِنْسَانِ

“Musibah adalah segala sesuatu yang dibenci yang terjadi pada manusia.” (kullu makrūhin yaḥullu bi al-insān).” (Ibrahim Anis dkk, Al-Mu’jam al-Wasīṭ, hlm. 527).

Berbagai bencana yang sering terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, seperti gempa bumi dan banjir misalnya, adalah musibah. Ini dikarenakan fenomena tersebut telah melahirkan berbagai hal yang dibenci oleh umumnya manusia, seperti kematian anggota keluarga, robohnya rumah, rusaknya perabotan, dsb.

Dua Macam Sebab Musibah

Berdasarkan studi terhadap nash-nash Al-Qur`an dan As Sunnah yang terkait dengan musibah, secara garis besar ada dua sebab terjadinya musibah :

Pertama, musibah yang disebabkan oleh dosa atau maksiat yang dilakukan oleh manusia. Dengan kata lain, musibah ini adalah hukuman (al-’uqūbāt/al-’iqāb) atas perbuatan dosa yang dilakukan manusia. Contohnya adalah musibah banjir kepada kaum Nabi Nuh AS yang tidak mau beriman kepada beliau, sesuai firman Allah SWT :

وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا نُوْحًا اِلٰى قَوْمِهٖ فَلَبِثَ فِيْهِمْ اَلْفَ سَنَةٍ اِلَّا خَمْسِيْنَ عَامًا ۗفَاَخَذَهُمُ الطُّوْفَانُ وَهُمْ ظٰلِمُوْنَ

“Dan sungguh, Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka dia tinggal bersama mereka selama seribu tahun kurang lima puluh tahun. Kemudian mereka dilanda banjir besar, sedangkan mereka adalah orang-orang yang zalim.” (QS Al-‘Ankabut : 14).

Kedua, musibah yang terjadi bukan karena dosa atau maksiat yang dilakukan manusia. Dengan kata lain, musibah ini merupakan ujian (al-ibtilā’) kepada manusia, bukan sebagai hukuman (al-’uqūbāt/al-’iqāb). Contohnya berbagai bencana alam yang menjadi ujian kepada manusia, seperti firman Allah SWT :

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ اَلَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ ۗ قَالُوْٓا اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ

“Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un”

(sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).” (QS Al-Baqarah : 155-156).

Contoh-Contoh Nash Bahwa Musibah Adalah Hukuman

Berikut ini akan disajikan contoh-contoh nash yang menunjukkan musibah adalah hukuman (al-’iqāb) atas perbuatan dosa :

(1) Firman Allah SWT :

وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا نُوْحًا اِلٰى قَوْمِهٖ فَلَبِثَ فِيْهِمْ اَلْفَ سَنَةٍ اِلَّا خَمْسِيْنَ عَامًا ۗفَاَخَذَهُمُ الطُّوْفَانُ وَهُمْ ظٰلِمُوْنَ

“Dan sungguh, Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka dia tinggal bersama mereka selama seribu tahun kurang lima puluh tahun. Kemudian mereka dilanda banjir besar, sedangkan mereka adalah orang-orang yang zalim.” (QS Al-’Ankabut : 14).

(2) Firman Allah SWT :

وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ

“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-A’raf : 96)

(3) Firman Allah SWT :

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).“ (QS Al-Ruum : 41)

(4) Firman Allah SWT :

وَمَآ اَصَابَكُمْ مِّنْ مُّصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ اَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍۗ

“Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS Al-Syuura : 30)

(5) Firman Allah SWT :

ومَآ اَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ ۖ وَمَآ اَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَّفْسِكَ ۗ وَاَرْسَلْنٰكَ لِلنَّاسِ رَسُوْلًا ۗ وَكَفٰى بِاللّٰهِ شَهِيْدًا

“Kebaikan apa pun yang kamu peroleh, adalah dari sisi Allah, dan keburukan apa pun yang menimpamu, itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS An-Nisa : 79).

(6) Hadits Rasulullah SAW :

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، قَالَ: ” أَقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا مَعْشَرَ الْمُهَاجِرِينَ! خَمْسٌ إِذَا ابْتُلِيتُمْ بِهِنَّ، وَأَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ تُدْرِكُوهُنَّ: لَمْ تَظْهَرِ الْفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ قَطُّ، حَتَّى يُعْلِنُوا بِهَا، إِلَّا فَشَا فِيهِمُ الطَّاعُونُ، وَالْأَوْجَاعُ الَّتِي لَمْ تَكُنْ مَضَتْ فِي أَسْلَافِهِمُ الَّذِينَ مَضَوْا. وَلَمْ يَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ، إِلَّا أُخِذُوا بِالسِّنِينَ، وَشِدَّةِ الْمَئونَةِ، وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ. وَلَمْ يَمْنَعُوا زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ، إِلَّا مُنِعُوا الْقَطْرَ مِنَ السَّمَاءِ، وَلَوْلَا الْبَهَائِمُ لَمْ يُمْطَرُوا. وَلَمْ يَنْقُضُوا عَهْدَ اللَّهِ، وَعَهْدَ رَسُولِهِ، إِلَّا سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ عَدُوًّا مِنْ غَيْرِهِمْ، فَأَخَذُوا بَعْضَ مَا فِي أَيْدِيهِمْ. وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ، وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ، إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ رواه ابن ماجة بالرقم 4019 و الحاكم، وحسنه الألباني في السلسلة الصحيحة ج 1 ص

(6) Hadits Rasulullah SAW :

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar RA, dia berkata,”Rasulullah SAW menghadap kepada kami lalu bersabda,”Wahai golongan Muhajirin, ada lima perkara yang kamu akan

diberi ujian dengannya, dan aku berlindung kepada Allah agar kamu [tidak] menjumpainya :

[1] Tidaklah terjadi perbuatan keji (zina) terjadi secara terang-terangan di suatu kaum, sampai-sampai mereka mempublikasikannya, kecuali akan menyebar luas di antara mereka wabah tha’un, serta berbagai penyakit yang tidak pernah terjadi pada generasi-generasi sebelumnya,

[2] Tidaklah mereka mengurangi takaran dan timbangan, kecuali mereka akan ditimpa paceklik, susahnya penghidupan dan kezaliman penguasa atas ereka,

[2] Tidaklah mereka mengurangi takaran dan timbangan, kecuali mereka akan ditimpa paceklik, susahnya penghidupan dan kezaliman penguasa atas ereka,

[3] Tidaklah mereka menahan zakat harta mereka (tidak membayar zakat mal), kecuali hujan akan ditahan dari langit (hujan tidak turun), dan kalau bukan karena hewan-hewan, niscaya manusia tidak akan diberi hujan,

[4] Tidaklah mereka melanggar perjanjian mereka dengan Allah dan Rasul-Nya, kecuali Allah akan menjadikan musuh mereka (dari kalangan selain mereka; yakni dari kalangan orang kafir) berkuasa atas mereka, lalu musuh tersebut akan mengambil sebagian dari apa yang mereka miliki,

[5] Dan selama pemimpin-pemimpin mereka (kaum muslimin) tidak berhukum dengan Kitabullah (al-Qur’an) dan mengambil sikap pilih-pilih dari apa-apa yang diturunkan oleh Allah (syariat Islam), maka niscaya Allah akan menjadikan permusuhan di antara mereka (sesama umat Islam).” (HR Ibnu Majah & Al Hakim, dihasankan oleh Al-Albani).

(7) Hadits Rasulullah SAW :

عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا ، وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَافِيَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. رواه الترمذي (2396) وحسنه ، وصححه الألباني في صحيح الترمذي

Dari Anas RA, da berkata, Rasulullah SAW telah bersabda,’Jika Allah berkehendak kepada seorang hamba-Nya untuk mendapat kebaikan, maka Allah akan mempercepat hukuman baginya di dunia. Dan jika Allah berkehendak kepada seorang hamba-Nya untuk mendapat keburukan, maka Allah akan menahan dia dengan dosanya [tidak dihukum di dunia], hingga Allah akan memberi balasan kepadanya pada Hari Kiamat kelak [dibalas dengan siksa neraka di Akhirat].” (HR Tirmidzi, no. 2396, hadits shahih).

Nash-nash yang telah dicontohkan di atas, dengan jelas menunjukkan bahwa musibah itu disebabkan oleh dosa atau maksiat yang dilakukan oleh manusia. Musibah karena dosa ini, adalah hukuman (al-’uqūbāt/al-’iqāb) atas perbuatan dosa manusia.

Dalam konteks ini, Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berkata :

” قالوا : وقد دل الكتاب والسنة في أكثر من مائة موضع على أن الجزاء من جنس العمل في الخير والشر ، كما قال تعالى ( جَزَاءً وِفَاقًا ) أي : وفق أعمالهم ، وهذا ثابت شرعا وقدرا ” انتهى من “) عون المعبود مع حاشية ابن القيم” (12 / 176.

“Mereka [para ulama] mengatakan bahwa Al-Qur`an dan As-Sunnah menunjukkan di lebih dari seratus nash, bahwa balasan itu sejenis dengan amal, baik itu amal yang baik maupun yang buruk, sebagaimana firman Allah (جَزَاءً وِفَاقًا) artinya, manusia akan mendapat pembalasan yang setimpal, yakni sesuai dengan amal-amal perbuatan mereka. Dan ini telah ditetapkan secara syara’ dan secara qadar dari Allah.” (‘Aunul Ma’bud Ma’a Hasyiyah Ibnul Qayyim, 12/176).

Contoh-Contoh Nash Bahwa Musibah Adalah Ujian

Selain nash-nash yang menunjukkan bahwa musibah adalah hukuman, sebagaimana disajikan sebeljumnya, ternyata ada nash-nash yang menunjukkan bahwa musibah adalah ujian (al-ibtilā’) yang tidak terkait dengan perbuatan dosa. Nash-nash tersebut menunjukkan bahwa musibah yang terjadi terkait dengan hal-hal di luar hukuman sebagai hikmah-hikmahnya, seperti pemberian ampunan (maghfirah), pengguguran dosa (takfīr al-ẓunūb), peningkatan derajat (tarfī’ al-darajah), penambahan pahala (ta’ẓīm al-ajr) dengan kesabaran, dan sebagainya.

Dalam konteks ini, Imam Ibnu Taimiyyah berkata :

قال شيخ الإسلام ابن تيمية: «المصائب المُقدَّرة في النفس والأهل لا تخلو من ثلاثة أحوال: إما أن تكون كفارة، وإما أن تكون زيادة في الأجر والثواب، وإما أن تكون عقابًا وانتقامًا»، الصارم المسلول على شاتم الرسول

1/432

“Berbagai macam musibah yang telah ditetapkan Allah pada jiwa atau keluarga, tidak lepas dari tiga keadaan; pertama, musibah itu sebagai kaffarah atau penggugur dosa; kedua, musibah itu sebagai penambah pahala, dan ketiga, musibah itu menjadi hukuman dan siksa.” (Ibnu Taimiyyah, Al-Ṣarim Al-Maslūl ‘Ala Shātim Al-Rasūl, Juz I, hlm. 432).

Berikut ini contoh nash-nash yang menunjukkan bahwa musibah itu ada kalanya bukan hukuman untuk pelaku dosa, namun sebagai ujian, dengan berbagai macam hikmahnya masing-masing sebagai berikut :

(1) Firman Allah SWT yang mengaitkan musibah dengan ampunan (maghfirah/ghufran) :

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ اَلَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ ۗ قَالُوْٓا اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ

“Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar,(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).” (QS Al-Baqarah : 155-156).

Dua ayat tersebut kemudian disambung dengan ayat berikutnya, yang mengaitkan kesabaran menghadapi musibah itu dengan pemberian ampunan (maghfirah) dari Allah SWT :

اُولٰۤىِٕكَ عَلَيْهِمْ صَلَوٰتٌ مِّنْ رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۗوَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُهْتَدُوْنَ

“Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS Al-Baqarah : 157).

Menurut Tafsir Al-Qurthubi, bahwa orang yang sabar itu mendapat (صَلَوٰتٌ مِّنْ رَّبِّهِمْ) maksudnya adalah mendapatkan (الغفران والثناء الحسن), yakni ampunan dan pujian baik dari Allah.

(2) Sabda Rasulullah SAW yang mengaitkan musibah dengan pengguguran dosa (takfir al-dzunub) seorang hamba yang terjena musibah :

مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حَزَن وَلاَ أَذًى وَلاَ غمٍّ، حتَّى الشَّوْكَةُ يُشَاكُها إِلاَّ كفَّر اللَّه بهَا مِنْ خطَايَاه متفقٌ عَلَيهِ.

“Tidaklah seorang muslim itu ditimpa musibah baik berupa rasa lelah, rasa sakit, rasa khawatir, rasa sedih, gangguan atau rasa gelisah bahkan sampai duri yang melukainya melainkan dengannya Allah akan mengampuni dosa-dosanya.” (HR. Al-Bukhari, no. 5641 dan Muslim, no. 2573).

(3) Sabda Rasulullah SAW yang mengaitkan musibah dengan peningkatan derajat (tarfi’ ad-darajah) bagi seorang hamba :

إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا سَبَقَتْ لَهُ مِنْ اللَّهِ مَنْزِلَةٌ لَمْ يَبْلُغْهَا بِعَمَلِهِ ابْتَلَاهُ اللَّهُ فِي جَسَدِهِ أَوْ فِي مَالِهِ أَوْ فِي وَلَدِهِ ثُمَّ صَبَّرَهُ عَلَى ذَلِكَ حَتَّى يُبْلِغَهُ الْمَنْزِلَةَ الَّتِي سَبَقَتْ لَهُ مِنْ اللَّهِ تَعَالَى. رواه أبو داود (3090) ، وصححه الألباني في “السلسلة الصحيحة” (رقم/2599)

Sesungguhnya seorang hamba jika telah ditakdirkan baginya suatu tingkatan [di surga] yang belum bisa dia capai dengan sebab amalnya, maka Allah akan menimpakan kepadanya musibah pada dirinya, hartanya atau anaknya, kemudian Allah menjadikan dia bersabar atas musibah tersebut sehingga dengan sebab tersebut Allah menjadikan dia bisa mencapai tingkatan [di surga] yang telah Allah takdirkan untuknya.” (HR. Abu Daud, no. 3090, dengan sanad yang shahih).

(4) Sabda Rasulullah SAW yang mengaitkan musibah dengan dua hikmah sekaligus, yaitu pengguguran dosa (takfir al-dzunub) dan peningkatan derajat (tarfi’ ad-darajah) :

مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ شَوْكَةٍ فَمَا فَوْقَهَا إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً ، أَوْ حَطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةً ). رواه البخاري (5641) ، ومسلم (2573(

“Tidaklah seorang mukmin itu tertusuk duri atau yang lebih daripada itu, kecuali dengannya Allah akan mengangkat derajatnya dan akan mengampuni dosanya.” (HR. Bukhari no. 5641, Muslim no. 2573).

(5) Sabda Rasulullah SAW yang mengaitkan musibah dengan penambahan pahala (ta’zhim al-ajr) bagi hamba yang mendapat musibah :

إِنَّ عِظَمَ الجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ البَلاَءِ ، وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا ، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ. رواه الترمذي 2396

“Sesungguhnya besarnya pahala itu sesuai dengan besarnya ujian. Dan sesungguhnya Allah jika mencintai suatu kaum, maka Allah akan memberikan ujian kepada mereka. Maka barangsiapa yang ridho [terhadap ujian itu], maka dia mendapat ridho Allah, dan barangsiapa yang marah [tidak ridho], maka dia mendapat kemarahan dari Allah.” (HR. Tirmidzi, no. 2396, dengan sanad yang shahih).

Kondisi Khusus

Terdapat nash-nash yang menunjukkan kondisi khusus, yaitu kondisi perkecualian dari penjelasan sebelumnya, bahwa musibah itu boleh jadi terkait dengan hukuman dan boleh jadi terkait dengan ujian. Paling tidak terdapat 4 (empat) kondisi khusus sebagai berikut :

Pertama, boleh jadi Allah memaafkan dan tidak menjatuhkan musibah kepada pelaku dosa, sebagaimana firman Allah SWT :

وَمَآ اَصَابَكُمْ مِّنْ مُّصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ اَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍۗ

“Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS Al-Syuura : 30)

Kedua, boleh jadi Allah tidak menjatuhkan hukuman di dunia kepada pelaku dosa, tetapi menunda pemberian hukumannya di neraka di Akhirat kelak, sesuai dalil hadits Nabi SAW sebagai berikut:

عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا ، وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَافِيَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. رواه الترمذي (2396) وحسنه ، وصححه الألباني في “صحيح الترمذي

Dari Anas RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Jika Allah berkehendak kepada hamba-Nya untuk mendapatkan kebaikan, maka Allah SWT akan mempercepat hukuman untuknya di dunia. Namun jika Allah berkehendak kepada hamba-Nya untuk mendapatkan keburukan, maka Allah akan menahan hamba itu dengan dosanya [tidak menjatuhkan hukuman di dunia] hingga Allah akan memberinya hukuman kelak pada Hari Kiamat.” (HR Tirmidzi, hadits hasan shahih).

Ketiga, boleh jadi Allah akan memberikan hukuman secara umum (merata) baik kepada pelaku dosa ataupun bukan pelaku dosa, ketika orang yang kuat (pemimpin, ulama, tokoh, dsb) tidak menjalankan kewajibannya beramar ma’ruf nahi munkar, sesuai sabda Nabi SAW:

مَا مِنْ قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيهِمْ بِالْمَعَاصِي هُمْ أَعَزُّ وَأَكثَرُ مِمَّنْ يَعمَلُهُ، ثُمَّ لَمْ يُغَيِّرُوا إِلَّا عَمّهُمُ اللهُ بِعِقَابٍ.

”Tidaklah satu kaum yang di dalamnya dikerjakan satu perbuatan maksiat, dimana mereka yang tidak mengerjakan kemaksiatan itu lebih kuat dan lebih banyak daripada yang mengerjakannya, namun mereka tidak mengubah kemaksiatan tersebut; niscaya Allah akan menimpakan hukuman adzab secara merata kepada mereka semua.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ath-Thabarani, Ibnu Hibban dan Al-Baihaqi, hadits shahih)

Keempat, boleh jadi Allah akan memberikan hukuman secara umum (merata) kepada suatu kaum, sedangkan di antara mereka ada yang pelaku dosa dan bukan pelaku dosa, dan mereka nanti akan dibangkitkan sesuai niat mereka masing-masing, sesuai sabda Nabi SAW:

يغزو جَيْشٌ الْكَعْبَةَ فَإِذَا كَانُوا ببيْداءَ مِنَ الأَرْضِ يُخْسَفُ بأَوَّلِهِم وَآخِرِهِمْ”. قَالَتْ: قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَيْفَ يُخْسَفُ بَأَوَّلِهِم وَآخِرِهِمْ وَفِيهِمْ أَسْوَاقُهُمْ وَمَنْ لَيْسَ مِنهُمْ،؟ قَالَ: ” يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِم وَآخِرِهِمْ، ثُمَّ يُبْعَثُون عَلَى نِيَّاتِهِمْ” مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

“Nanti akan ada sekelompok pasukan yang akan menyerang Ka’bah. Kemudian ketika mereka sampai di suatu tanah lapang, mereka semua dari orang yang berada paling depan sampai paling belakang dibinasakan yakni ditenggelamkan ke perut bumi. ‘Aisyah berkata: “Aku bertanya, Ya Rasulullah, bagaimana mereka dibinasakan semua, orang yang berada dibarisan terdepan sampai yang paling belakang, padahal di tengah-tengah mereka terdapat pasar-pasar mereka, dan orang-orang yang bukan dari golongan mereka?”. Beliau menjawab: “Mereka di binasakan semua, yang berada di baris terdepan sampai yang paling belakang, kemudian nanti mereka akan dibangkitkan sesuai dengan niat masing-masing dari mereka”. (HR Bukhari no. 2118, Muslim no. 2884).

Kesimpulan

Berdasarkan kajian terhadap nash-nash syara’ yang terkait musibah, apakah musibah itu hukuman ataukah ujian, dapat diambil 4 (empat) poin kesimpulan sebagai berikut :

Pertama, jika suatu musibah menimpa muslim pelaku dosa dan maksiat, maka ada dugaan kuat (ghalabatuzh zhann) bahwa musibah itu adalah hukuman atau azab dari Allah bagi orang tersebut.

Kedua, jika suatu musibah menimpa muslim yang taat dan shaleh, maka musibah itu sekedar ujian dari Allah, yakni bukan hukuman dari Allah bagi orang tersebut, melainkan boleh jadi musibah itu menjadi pemberian ampunan, penggugur dosa, peningkatan derajat, atau penambahan pahala bagi muslim tersebut.

Ketiga, jika suatu musibah menimpa suatu kaum yang bercampur keadaannya, ada muslim pelaku dosa dan ada pula muslim yang taat, maka bagi pelaku dosa musibah itu azab, dan bagi muslim yang taat musibah itu ujian, bukan azab.

Keempat, terdapat perkecualian di luar tiga kondisi yang teah disebutkan sebelumnya, yaitu : (1) boleh jadi Allah memaafkan dan tidak menjatuhkan musibah kepada pelaku dosa; (2) boleh jadi Allah tidak menjatuhkan hukuman di dunia kepada pelaku dosa, tetapi menunda pemberian hukumannya di Akhirat; (3) boleh jadi Allah akan memberikan hukuman secara umum (merata) baik kepada pelaku dosa ataupun bukan pelaku dosa, ketika orang yang kuat (pemimpin, ulama, tokoh, dsb) tidak menjalankan kewajibannya beramar ma’ruf nahi munkar; dan (4) boleh jadi Allah akan memberikan hukuman secara umum (merata) kepada suatu kaum, baik yang taat maupun yang berbuat maksiat. Wallāhu a’lam.

Jakarta, 14 Desember 2022

M.Shiddiq Al-Jawi