Tampilkan postingan dengan label Headline. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Headline. Tampilkan semua postingan

Tidak Ada Ajaran Terorisme Dalam Islam, Justru Munculnya Terorisme Dari Orang-orang Kafir

Tidak Ada Ajaran Terorisme Dalam Islam, Justru Munculnya Terorisme Dari Orang-orang Kafir

Tsaqofatuna.id - Menangggapi adanya upaya mendiskreditkan para pejuang di Gaza Palestina sebagai teroris, Gus Tuhu Pengasuh Majelis Taklim mengukapkan bahwa tidak ada dalam Islam ajaran terorisme justru muncul dari orang-orang Kafir.

“Kalau kita berbicara terorisme, di dalam Islam sama sekali tidak ada ajaran teroris itu, tidak ada terorisme. Fakta yang sesungguhnya, justru yang terjadi terorisme itu munculnya dari orang-orang Kafir,” ungkapnya dalam acara Multaqo Ulama Aswaja Tapal Kuda Probolinggo: Penghalang Kita Adalah Tembok Gaza Dan Ashobiyah Nasionalisme, Selasa (28/11/2023), di Kanal YouTube NgajiPro ID.

“Kalau dicatatan PBB, Hamas dimasukkan sebagai organisasi teroris. Tapi itu tidak mengherankan, Kenapa? Karena yang mengesahkan mensetujui tegaknya negara Yahudi itu ya PBB,” imbuhnya.

Karena menurutya, ketidakjujuran Barat dalam pelebelan terorisme hanya diberikan kepada umat Islam yang sebenarnya hanya membela tanah air nya. Padahal menurut penelitian pakar-pakar terorisme ada namanya state terrorism (terorisme negara), seperti halnya Amerika yang meluluhlantakkan Irak, Afganistan dan Vietnam, begitu juga yang dilakukan oleh Zionis Yahudi di Gaza Palestina saat ini.

“Memborbadir di daerah Gaza gambaran dari state terrorism, itu negara yang memunculkan, kalau itu mereka menyebut negara, memunculkan ketakutan pada orang-orang sipil. Bahkan menurut peraturan yang mereka buat sendiri, Palang Merah bagian-bagian kesehatan orang-orang sipil yang membantu orang-orang yang lemah, tidak boleh dibunuh, ada ambulans berisi ibu-ibu anak-anak orang sakit dihabisi oleh tentara Zionis Yahudi,” ungkapnya.

“Masih banyak lagi fakta-fakta yang menunjukkan bahwa Zionis Yahudi itu sesungguhnya apa yang mereka lakukan sesungguhnya adalah gambaran dari terorisme negara karena mereka menimbulkan ketakutan-ketakutan,” tandasnya.[]Lukman Indra Bayu

Menyoal Nasionalisme, Gus Tuhu: Lemah Sebagaimana Sarang Laba-laba

Menyoal Nasionalisme, Gus Tuhu: Lemah Sebagaimana Sarang Laba-laba

Tsaqofatuna.id - Mengungkapkan persoalan Nasionalisme, Gus Tuhu Pengasuh Majlis Taklim Al-Mustanir Probolinggo menyatakan bahwa Nasionalime itu ikatan yang lemah sebagaimana sarang laba-laba.

“Apa yang disebut dengan nasionalisme itu sebenarnya sangat lemah, kita berani menyebut di sini nasionalisme itu lemah sebagaimana lemahnya sarang laba-laba,” ungkapnya dalam program Kajian Islam Tematik Al-Mustanir: Nasionalisme, Masih Relevankah Hari Ini?, Senin (27/11/2023) di kanal Youtube NgajiProID.

Karena menurutnya, ikatan kebangsaan ini telah tumbuh berabad-abad lamanya seketika bisa mudah hilang dan tergantikan dengan satu kepentingan, pemahaman dan ikatan yang lebih tinggi cakupannnya daripada kepentingan nation satu bangsa. Bukti-bukti bahwa paham kebangsaan atau nasionalisme sebenarnya akan hilang dan lenyap oleh adanya musik, bisnis, harta atau uang, olahraga, ambisi kekuasaan dan mudah tergantiakn oleh ideologi lainnya.

“Jadi paham kebangsaan itu bisa lenyap hanya oleh musik, di mana para pecinta musik itu menyebut bahwa musik itu lintas teritorial, bahwa musik itu adalah mondial, alamiah, mendunia, musik tidak bisa dibatasi oleh sekat-sekat kebangsaan,” tegasnya.

“Nasalionalisme luntur hilang lenyap oleh bisnis, apalagi kalau pemain bisnisnya adalah Oligarki, tidak ada lagi kata nasionalisme,” imbuhnya.

Gus Tuhu lalu menjelaskan, satu-satunya penguat paham kebangsaan hanya jika ada pihak luar dari bangsanya datang menyerang secara fisik menjajah negerinya, setelah itu selesai maka hilanglah rasa kebangsaan nya.

“Jadi tidaklah mengherankan ketika pihak asing dan aseng datang merampok sumber alam dalam bentuk kerja sama atau investasi dan hal itu sah menurut konstitusi. Maka tidak ada satu pun bagi anak bangsa yang protes atau melawan perampokan resmi ini. Pertanyaannya dimana rasa Nasionalismenya? pungkasnya.[] Muhriz

Sikap Penguasa Negeri IslamTerhadap Gaza, Direktur Rumah Inspirasi Perubahan: Dipasung Sekat- sekat Nasionalisme

Sikap Penguasa Negeri IslamTerhadap Gaza, Direktur Rumah Inspirasi Perubahan: Dipasung Sekat- sekat Nasionalisme

Tsaqofatuna.id - Menaggapi sikap penguasa negeri-negeri Islam yang hanya bisa mengecam dan membisu terhadap genosida dilakukan oleh Entitas Yahudi di Gaza, Ustaz Indra Fakhrudin Direktur Rumah Inspirasi Perubahan Probolinggo mengungkapkan bahwa hal tersebut dikarenakan negeri-negeri islam telah dipasung oleh sekat-sekat nasionalisme (ashobiyyah).

“Karena negeri-negeri Islam telah dipasung oleh sekat-sekat Nasionalisme (ashobiyyah),” ujarnya dalam acara Multaqo Ulama Aswaja Tapal Kuda Probolinggo: Penghalang Kita Adalah Tembok Gaza Dan Ashobiyah Nasionalisme, Selasa (28/11/2023), di Kanal YouTube NgajiPro ID.

Begitu halnya dengan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) berangotakan 57 negara tersebar di empat benua tidak berdaya dibuatnya, katanya. Seharusnya penguasa negeri-negeri Islam mengerahkan pasukan nya, kekuatan miiter untuk membantu saudara-saudara Muslim di Gaza.

“Bahasan nasionalisme dan akar sejarahnya yang secara historis dan empiris telah menjadi tembok penghalang gaza selama ini, inysaAllah akan dibahas oleh para Alim (Ulama) yang sudah hadir di Multaqo Ulama Aswaja Tapal Kuda Probolinggo malam ini,” ujarnya.

Direktur Rumah Inspirasi Perubahan ini melanjutkan bahwa para Ulama sangat berkewajiban menjadi garda terdepan dalam membela umat , menjadi rujukan umat dalam berbagai persoalan khususnya menyampaikan gagasan syar’i dan ideologis berkenaan dengan persoalan Palestina.

“Dan kita para ulama akan terus memantau persoalan ini, walaupun gencatan senjata sementara sudah dilakukan antara kedua belah pihak. Namun kita sangat paham bagaimana karakter munafik kaum Zionis Yahudi yang kerap berkhianat,” pungkasnya.[] Lukman Indra Bayu

Benarkah Hizbut Tahrir Wahabi ?

Benarkah Hizbut Tahrir Wahabi ?

Soal:

Siapa sebenarnya Wahabi? Benarkah Hizbut Tahrir Wahabi atau setidaknya mirip Wahabi? Jika tidak, ada apa sebenarnya di balik tuduhan seperti ini?

Jawab:

Tsaqofatuna.id- Wahabi adalah gerakan Islam yang dinisbatkan kepada Muhammad bin Abdul Wahhab (1115-1206 H/1701-1793 M). Muhammad bin Abdul Wahhab sebenarnya merupakan pengikut mazhab Hanbali, kemudian berijtihad dalam beberapa masalah, sebagaimana yang diakuinya sendiri dalam kitab, Shiyânah al-Insân, karya Muhammad Basyir as-Sahsawani.1 Meski demikian, hasil ijtihadnya dinilai bermasalah oleh ulama Sunni yang lainnya.

Nama Wahabi sendiri telah dikubur oleh para pengikut dan penganutnya. Boleh jadi karena sejarah kelam pada masa lalu. Namun, mereka mempunyai alasan lain. Menurut mereka, ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab adalah ajaran Nabi Muhammad, bukan ajarannya sendiri. Karenanya, mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafi atau Muwahhidûn, yang berarti “orang-orang yang mentauhidkan Allah”, bukan Wahhâbi.

Secara historis, gerakan Wahabi telah mengalami beberapa kali metamorfosis. Mula-mula adalah gerakan keagamaan murni yang bertujuan untuk memurnikan tauhid dari syirik, tahayul, bid’ah dan khurafat, yang dimulai dari Uyainah, kampung halaman pendirinya tahun 1740 M. Di kampungnya, gerakan ini mendapatkan penentangan. Muhammad bin Abdul Wahhab pun terusir dari kampung halamannya dan berpindah ke Dar’iyyah. Di sini, pendiri Wahabi itu mendapat perlindungan dari Muhammad bin Saud, yang notabene bermusuhan dengan Amir Uyainah. Dalam kurun tujuh tahun, sejak tinggal di Dar’iyyah, dakwah Wahabi berkembang pesat.

Tahun 1747 M, Muhammad bin Saud, yang notabene adalah agen Inggris, menyatakan secara terbuka penerimaannya terhadap berbagai pemikiran dan pandangan keagamaan Muhammad bin Abdul Wahhab. Keduanya pun sama-sama diuntungkan. Dalam kurun 10 tahun, wilayah kekuasaan Muhammad bin Saud berkembang seluas 30 mil persegi. Muhammad bin Abdul Wahhab pun diuntungkan, karena dakwahnya berkembang dan pengaruhnya semakin menguat atas dukungan politik dari Ibn Saud. Namun, pengaruhnya berhenti sampai di wilayah Ihsa’ 1757 M.

Ketika Ibn Saud meninggal dunia tahun 1765 M, kepemimpinannya diteruskan oleh anaknya, Abdul Aziz. Namun, tidak ada perkembangan yang berarti dari gerakan ini, kecuali setelah tahun 1787 M. Dengan kata lain, selama 31 tahun (1957-1788 M), gerakan ini stagnan.

Namun, setelah Abdul Aziz, yang juga agen Inggris itu, mendirikan Dewan Imarah pada tahun 1787 M, sekaligus menandai lahirnya sistem monarki, Wahabi pun terlibat dalam ekspansi kekuasaan yang didukungnya, sekaligus menyebarkan paham yang dianutnya. Tahun 1788 M, mereka menyerang dan menduduki Kuwait. Melalui metode baru ini, gerakan ini menimbulkan instabilitas di wilayah Khilafah Utsmani; di semenanjung Arabia, Irak dan Syam yang bertujuan melepaskan wilayah tersebut dari Khilafah. Gerakan mereka akhirnya berhasil dipukul mundur dari Madinah tahun 1812 M. Benteng terakhir mereka di Dar’iyyah pun berhasil diratakan dengan tanah oleh Khilafah tahun 1818 M. Sejak itu, nama Wahabi seolah terkubur dan lenyap ditelan bumi.2

Namun, pandangan dan pemikiran Wahabi memang tidak mati. Demikian juga hubungan penganut dan pendukung Wahabi dengan keluarga Ibn Saud.

Metamorfosis berikutnya terjadi ketika mereka mengubah nama. Nama Wahabi tidak pernah lagi digunakan, mungkin karena rentan. Akhirnya, mereka lebih suka menyebut diri mereka Salafi. Namun, pandangan dan cara mereka berdakwah tetap sama. Inilah fakta sejarah tentang Wahabi. Dari fakta ini jelas sekali, bahwa Wahabi (Salafi) ikut membidani lahirnya Kerajaan Arab Saudi. Karena itu, tidak aneh jika kemudian Wahabi (Salafi) senantiasa menjadi pendukung kekuasaan Ibn Saud sekalipun Wahabi (Salafi) bukan merupakan gerakan politik.

Ini jelas berbeda dengan Hizbut Tahrir. Hizbut Tahrir adalah partai politik yang berideologi Islam. Tujuannya adalah untuk mengembalikan kehidupan Islam dengan mendirikan Khilafah yang menerapkan sistem Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Politik adalah aktivitasnya.3 Meski begitu, Hizbut Tahrir tidak pernah terlibat dalam pendirian rezim manapun yang berkuasa saat ini di dunia. Hizb juga tidak pernah terlibat dalam dukung-mendukung kekuasaan/negara manapun. Sebabnya, semua negara yang ada di seluruh dunia saat ini bukanlah negara yang dibangun berdasarkan akidah Islam dan memerintah berdasarkan hukum-hukum Allah. Dalam pandangan Islam, menurut Hizb, satu-satunya negara bagi umat Islam di seluruh dunia adalah Khilafah, yang notabene pernah dirongrong oleh konspirasi Inggris dan agennya, dinasti Ibn Saud, termasuk di dalamnya menggunakan Wahabi.

Pandangan keagamaan Wahabi sebenarnya bukan hal yang baru. Dalam masalah akidah, misalnya, Wahabi, banyak mengambil pandangan Ibn Taimiyyah dan muridnya, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah. Tauhid, menurut mereka, ada dua yaitu: tauhid rububiyyah wa asma’ wa shifat dan tauhid rububiyyah. Tauhid yang pertama bertujuan untuk mengenal dan menetapkan Allah sebagai Rabb, dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Tauhid yang kedua terkait dengan tuntutan dan tujuan (at-thalab wa al-qashd).4 Syaikh ‘Abd al-’Aziz bin Baz, kemudian membagi tauhid tersebut menjadi tiga: tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah dan tauhid al-asma’ wa as-shifat.5

Ini berbeda dengan Hizb. Dalam tauhid, Hizb tidak mengenal klasifikasi seperti ini. Dalam pembahasan tentang sifat, misalnya, Hizb tidak membahas sifat dan asma dalam konteks itsbât bilâ tahrîf wa la ta’thîl wa la takyîf wa la tamtsîl (menetapkan sifat dan asma Allah, tanpa menyelewengkan, mengabaikan, mendes-kripsikan tatacara-Nya dan menyerupakannya dengan yang lain), sebagaimana lazimnya Wahabi.6 Hizb membahas sifat justru untuk meluruskan perdebatan yang tidak berkesudahan, antara Muktazilah, yang menyatakan bahwa sifat Allah sama dengan Dzat-Nya, dan Ahlussunnah, yang menyatakan, bahwa sifat Allah tidak sama dengan Zat-Nya. Dalam pandangan Hizb, perdebatan seperti ini tidak bisa dan tidak boleh dilakukan, karena tidak berangkat dari fakta, melainkan didasarkan pada asumsi mantik.7

Bagi Wahabi, masalah utama umat Islam adalah masalah akidah; akidah umat ini dianggap sesat, karena dipenuhi syirik, tahayul, bid’ah dan khurafat. Karena itu, aktivitas dakwah mereka difokuskan pada upaya purifikasi (pemurnian) akidah dan ibadah umat Islam. Akidah dimurnikan dari syirik, baik syirik ashghar (syirik kecil), akbar (syirik besar) maupun syirik khafi (syirik yang samar-samar); juga tahayul dan khurafat. Ibadah juga harus dimurnikan dari bid’ah, yang didefinisikan sebagai membuat metode yang tidak dicontohkan sebelumnya. Dalam pandangan mereka, bid’ah ada dua: bid’ah dalam adat dan tradisi; bid’ah dalam agama. Bid’ah yang pertama, menurut mereka, hukumnya mubah/boleh. Bid’ah yang kedua semuanya haram dan sesat (dhalalah). Bid’ah yang kedua ini mereka bagi menjadi dua: Bid’ah qawliyyah i’tiqadiyyah, seperti ucapan dan pandangan Jahmiyah, Muktazilah, Rafidhah dan sebagainya; bid’ah fi al-’ibâdah.8

Ini berbeda dengan Hizb. Pandangan seperti ini, menurut Hizb, juga berbahaya karena menganggap seolah-oleh umat Islam belum berakidah Islam. Ini tampak pada pandangan mereka terhadap kaum Muslim yang lain, selain kelompok mereka, yang dianggap sesat. Bahkan mereka tidak jarang saling sesat-menyesatkan terhadap kelompok sempalan mereka. Pandangan ini, menurut Hizb, sebagaimana disebutkan dalam kitab Nidâ’ al-Hâr, tidak proporsional. Betul, bahwa ada masalah dalam akidah umat Islam, tetapi tidak berarti mereka belum berakidah Islam. Bagi Hizb, umat Islam sudah berakidah Islam. Hanya saja, akidahnya harus dibersihkan dari kotoran dan debu, yang disebabkan oleh pengaruh kalam dan filsafat. Karena itu, Hizb tidak pernah menganggap umat Islam ini sesat. Hizb juga menganggap, bahwa persoalan akidah ini, meski penting, bukanlah masalah utama. Bagi Hizb, masalah utama umat Islam adalah tidak berdaulatnya hukum Allah dalam kehidupan mereka. Karena itu, fokus perjuangan Hizb adalah mengembalikan kedaulatan hukum Allah, dengan menegakkan kembali Khilafah.

Bagi Hizb, akidah umat harus dibersihkan agar bisa menjadi landasan yang kokoh dalam kehidupan pribadi, masyarakat dan negara. Setelah itu, akidah yang hidup di dalam diri umat ini akan mampu membangkitkan mereka dari keterpurukan, dan akhirnya mendorong mereka untuk memperjuangkan tegaknya Khilafah dan hukum Allah di muka bumi.

Dengan pandangan Wahabi seperti itu terhadap akidah umat Islam, ditambah ketidaktahuan mereka tentang konstruksi masyarakat—yang terdiri dari manusia, pemikiran, perasaan dan system—maka wajar jika sejarah Wahabi berlumuran darah kaum Muslim. Situs-situs penting dan bersejarah di dalam Islam pun mereka hancurkan. Semuanya dengan dalih membebaskan umat Islam dari syirik dan khurafat. Ini jelas berbeda dengan Hizb. Hizb tahu persis konstruksi masyarakat sehingga dalam dakwahnya tidak pernah menyerang manusia atau obyek-obyek fisik, seperti situs-situs penting dan bersejarah; melainkan menyerang pemikiran, perasaan dan sistem yang diyakini dan dipraktikkan oleh manusia. Itulah yang menjadi fokus serangan Hizb. Karena itu, dakwah Hizb dikenal sebagai dakwah fikriyyah lâ ‘unfiyyah (intelektual dan non-kekesaran).

Pendek kata, perbedaan Hizb dengan Wahabi begitu jelas dan nyata. Menyamakan Hizb dengan Wahabi bisa jadi karena tidak mengerti tentang kedua-duanya, atau sengaja untuk melakukan monsterisasi terhadap Hizb, agar disalahpahami, dibenci dimusuhi dan dijauhi oleh umat. Inilah yang sebenarnya hendak dilakukan. Lalu siapa yang diuntungkan dengan semuanya ini, tentu bukan Islam dan kaum Muslim, melainkan kaum kafir penjajah dan para boneka mereka, yang tetap menginginkan negeri-negeri Muslim, seperti Indonesia, ini tetap terjajah. Na’ûdzu billâh. [] KH Hafidz Abdurrahman

Catatan kaki:

1 Lihat, Muhammad Basyir as-Sahsawani, Shiyânah al-Insân, hlm. 475.

2 Lihat, ‘Abdul Qadîm Zallûm, Kayfa Hudimat al-Khilâfah, Dâr al-Ummah, Beirut, 1994.

3 Taqiyuddîn an-Nabhâni, Mafâhîm Hizb at-Tahrîr, Min Mansyûrat Hizb at-Tahrîr, cet. ke-6, edisi Muktamadah, 2001, hlm. 84.

4 Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan ‘Ali as-Syaikh, Fath al-Majîd: Syarah Kitâb at-Tawhîd, Muassasah Qurthubah, t.t., hlm. 25.

5 Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Bâz, Al-Ahkam al-Mulimmah ‘ala ad-Durus al-Muhimmah li ‘Ammati al-Ummah, Makatabah al-Malik Fahd al-Wathaniyyah, cet. II, 1423 H, hlm. 30.

6 Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan ‘Ali as-Syaikh, Fath al-Majîd: Syarh Kitâb at-Tawhîd, hlm. 25; Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Bâz, Al-Ahkam al-Mulimmah ‘ala ad-Durus al-Muhimmah li ‘Ammati al-Ummah, hlm. 20.

7 Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah al-Juz al-Awwâl, Min Mansyûrat Hizb at-Tahrîr, cet. ke-6, edisi Muktamadah, 2003, hlm. 116-124.

8 Dr. Fauzan bin ‘Abdullah Fauzan, ‘Aqîdah at-Tawhîd, Mamlakah al-’Arabiyyah as-Sa’udiyyah, Muassasah al-Haramain al-Khairiyyah, Riyadh, hlm. 176-177.

Sumber:

tsaqofah.id

Benarkah Rasulullah SAW Tidak Membangun Pemerintahan Islam?

Benarkah Rasulullah SAW Tidak Membangun Pemerintahan Islam?

dr. Mohammad Ali Syafi'udin

Tsaqofatuna.id-

Ada seseorang yang berpendapat bahwa politik itu tidak ditetapkan oleh syariat Islam sehingga bentuk Pemerintahan Islam itu bisa bermacam-macam dan tidak baku.

Ia berargumentasi dengan pendapat Imam Abul Wafa Ibnu ‘Aqil Al Hambali,

السِّيَاسَةُ مَا كَانَ مِنْ الْأَفْعَالِ بِحَيْثُ يَكُونُ النَّاسُ مَعَهُ أَقْرَبَ إلَى الصَّلَاحِ وَأَبْعَدَ عَنْ الْفَسَادِ ، وَإِنْ لَمْ يُشَرِّعْهُ الرَّسُولُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا نَزَلَ بِهِ وَحْيٌ ؛

“Politik (siyasah) adalah semua tindakan yang dengannya manusia lebih dekat dengan kebaikan dan semakin jauh dari kerusakan, meskipun tidak disyariatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak ada wahyu yang turun tentangnya.(I’lamul Muwaqqi’in ‘an rabbil’ alamin II/649, daru Ibnu al-jauziy, dan ath-thuruq al-hukmiyah fii as-siyasati asy-syar’iyyah oleh Ibnu Qayyim al-jauziyah hal 17, darul hadis)

Dari kalimat ”Meskipun tidak disyariatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak ada wahyu yang turun tentangnya” inilah ia mengatakan Rasulullah Saw tidak membangun pemerintahan Islam karena memang tidak disyariatkan.

Seharusnya ia jujur dalam mengutip pendapat ulama, tidak asal memotong penjelasan Ibnu Aqil berikutnya. Penjelasan berikutnya secara utuh dari Ibnu Aqil yaitu

فَإِنْ أَرَدْتَ بِقَوْلِكَ ” لَا سِيَاسَةَ إلَّا مَا وَافَقَ الشَّرْعَ ” أَيْ لَمْ يُخَالِفْ مَا نَطَقَ بِهِ الشَّرْعُ فَصَحِيحٌ ، وَإِنْ أَرَدْتَ مَا نَطَقَ بِهِ الشَّرْعُ فَغَلَطٌ وَتَغْلِيطٌ لِلصَّحَابَةِ ؛ فَقَدْ جَرَى مِنْ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ الْقَتْلِ وَالْمَثْلِ مَا لَا يَجْحَدُهُ عَالِمٌ بِالسِّيَرِ ، وَلَوْ لَمْ يَكُنْ إلَّا تَحْرِيقُ الْمَصَاحِفِ كَانَ رَأْيًا اعْتَمَدُوا فِيهِ عَلَى مَصْلَحَةٍ ، وَكَذَلِكَ تَحْرِيقُ عَلِيٍّ كَرَّمَ اللَّهُ وَجْهَهُ الزَّنَادِقَةَ فِي الْأَخَادِيدِ ، وَنَفْيُ عُمَرُ نَصْرَ بْنَ حَجَّاجٍ .

Jika yang Anda maksud dengan Pernyataanmu ‘Tidak ada politik kecuali harus sesuai dengan syariat’ dalam arti politik tidak boleh bertentangan dengan apa yang disebutkan oleh syariat, maka itu benar. Tetapi jika yang anda maksudkan dengan siyasah hanyalah yang disebutkan oleh syariat, maka itu kesalahan dan sekaligus menyalahkan para sahabat nabi.”

Para khulafa’ur rasyidin telah banyak melakukan kebijaksanaan sendiri, terkait dengan hukuman bunuh dan jenis hukuman berat lainnya yang tidak dibantah/ditentang oleh (para sahabat nabi) yang mengetahui. Pembakaran semua mushhaf (kecuali mushhaf Utsmani dalam rangka menyatukan) maka semata-mata pendapat yang dipegang demi tercapainya maslahat. Demikian pula Ali bin Abi Thalib yang membakar orang zindiq di Akhadid dan Umar bin Al Khathab juga pernah mengasingkan Nashr bin Hajjaj.” (I’lamul Muwaqqi’in ‘an rabbil ‘alamin II/649, daru Ibnu al-jauziy, dan ath-thuruq al-hukmiyah fii as-siyasati asy-syar’iyyah oleh Ibnu Qayyim al-jauziyah, hal 17, darul hadis).

Dari penjelasan berikutnya oleh Ibnu Aqil bisa ditarik kesimpulan bahwa politik itu harus sesuai dengan hukum syariat, namun tidak semua politik itu dijelaskan secara tekstual oleh syariat. Contohnya seperti yang beliau sebutkan diatas yaitu kebijakan para Khulafaur Rasyidin.

Jika kita kaitkan contoh-contoh aktivitas politik para Khulafaur Rasyidin yang dijelaskan oleh Ibnu Aqil dengan definisi yang rumus beliau, maka akan tampak bahwa aktivitas politik yang tidak disebutkan secara tekstual oleh syariat adalah Masalah ijtihadiy terhadap masalah yang muncul yang mana masalah tersebut belum ada pada zaman Rasulullah.

Ibnu Aqil mencontohkan Khalifah Usman bin Affan r.a. memerintahkan untuk membakar semua mushaf dan mengharuskan umat Islam untuk berpegang kepada hanya satu mushaf saja demi menjaga persatuan dan untuk kemaslahatan umat. Ali bin Abi Thalib r.a menghukum kaum zindiq dengan membakar supaya menjadi pelajaran yang lain. Umar bin Khattab mengasingkan Nasr bin hajjaj supaya tidak timbul fitnah karena banyak wanita yang tertarik kepadanya.

Ini semua adalah wilayah ijtihadiy para Khulafaur Rasyidin yang memang menjadi wewenang mereka untuk mengadopsi hukum tertentu

Perbedaan kebijakan para Khulafaur Rasyidin, selain masalah ijtihadiy, juga bisa terjadi terhadap masalah tekhnis (uslub) dan sarana (wasilah) dalam menjalankan suatu perintah dari nas. Memang masalah tehnis (uslub) ini merupakan masalah cabang yang tidak membutuhkan dalil khusus dan cukup hanya dengan dalil umum pada perbuatan pokoknya.

Ketika syariat telah menjelaskan dengan dalil pada aktivitas pokok maka dalil itu juga meliputi aktivitas-aktivitas cabang yang merupakan cabang dari aktivitas pokok tersebut.

Contoh:

وَءَاتَوُا۟ ٱلزَّكَوٰةَ

“Tunaikan zakat” (QS Al-Baqarah 277)

Ini merupakan dalil yang bersifat umum. Namun tidak terdapat dalil yang menjelaskan tata cara pengumpulannya, apakah pergi dengan naik kendaraan atau jalan kaki, apakah boleh mempekerjakan para pekerja untuk membantunya ataukah tidak, apakah harus dicatat dalam daftar, apakah harus ditetapkan di tempat tertentu untuk mengumpulkannya, apakah harus digunakan brankas dan seterusnya. Semua itu dan semisalnya merupakan perbuatan-perbuatan cabang dari perintah Tunaikan zakat (QS Al-Baqarah 277).Semua telah tercakup di dalam dalil-dalil umum tersebut.

Cara-cara administrasi atau cara-cara manajemen itu juga termasuk masalah teknis yang bersifat universal dimana memungkinkan bisa diambil dari sistem manapun kecuali jika terdapat dalil spesifik yang melarang satu cara administrasi tertentu. Contoh Umar bin Khattab r.a. telah mengambil diwan, meniru yang dilakukan oleh raja di Syam, sebagai cara untuk mencatat nama-nama tentara dan rakyat. Catatan itu dibuat dalam rangka membagikan harta kepada mereka baik yang berasal dari harta kepemilikan umum maupun kepemilikan negara dalam bentuk pemberian negara atau gaji.

Jadi perbedaan kebijakan politik para Khulafaur Rasyidin bukan menandakan tidak adanya perintah untuk mendirikan pemerintah Islam atau tidak adanya sistem baku pemerintah Islam. Perbedaan itu bisa terjadi pada Ijtihad para Khalifah yang menjadi wewenangnya terhadap persoalan yang baru dan mungkin juga terjadi pada masalah tehnis. Namun yang penting kebijakan para Khulafaur Rasyidin semuanya berpijak dan bersandar kepada dalil-dalil Al-Qur’an dan as-sunah.

Sementara itu Rasulullah Saw memerintahkan kepada kita untuk berpegang pada sunahnya dan sunah Khulafaur Rasyidin. Dan diantara sunah Khulafaur Rasyidin adalah menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum-hukum Allah. Artinya kita wajib meniru sistem pemerintahan para Khulafaur Rasyidin yaitu sistem khilafah.

Rasulullah Saw bersabda:

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

Maka wajib atas kalian berpegang teguh pada sunnahku dan Sunnah khulafaur rosyidin yang mendapatkan petunjuk, Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

Jika kita kaji dalil-dalil baik dari Al-Qur’an, as-sunah, ijma’ sahabat dan qiyas maka kita akan mendapatkan gambaran sistem pemerintahan Islam yang khas yang berbeda dengan sistem pemerintahan yang lainnya.

Juga akan didapatkan perkara-perkara pokok yang menjadi pilar pemerintahan Islam yaitu kedaulatan ditangan Syara’, kekuasaan adalah milik umat, mengangkat seorang Khalifah adalah wajib bagi kaum muslim dan hanya Khalifah yang memiliki hak untuk Mengadopsi hukum dan undang-undang negara.

Jadi jelas bahwa Rasulullah Saw telah mensyariatkan sistem pemerintahan Islam, berikut sistem politiknya baik dalam negeri maupun luar negeri.

Makna politik

Secara bahasa politik (siyasah) berasal dari kata “Sasa-yasusu-siyasatan” yang berarti mengurus kepentingan seseorang.

Berkata pengarang kamus mukhith : “sustu ar-ra’iyyah siyasatan amartuha wa nahaituha” artinya Mengatur urusannya dengan perintah dan larangan

Secara istilah maknanya telah dijelaskan oleh Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah di dalam Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’ :

السياسية: رعاية شئون الامة بالداخل والخارج وفق الشريعة الاسلامية

“Siyâsah (politik) adalah pengaturan urusan umat baik dalam maupun luar negeri berdasarkan syari’at Islam.”

Namun definisi yang lebih komprehensif adalah yang dijelaskan oleh Syeh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Afkarun Siyasiyatun.

السـياسـة هي رعاية شـؤون الأمة داخلياً وخارجياً، وتكون من قبل الدولة والأمة، فالدولة هي التي تباشر هذه الرعاية عملياً، والأمة هي التي تحاسب بها الدولة

“Politik (siyasah) adalah pengaturan urusan umat baik dalam negri maupun luar negeri, yang dilaksanakan oleh negara (pemerintah) maupun umat, dimana negara adalah institusi yang mengatur urusan tersebut secara praktis sedangkan umat mengoreksi kepada pemerintah dalam melakukan tugasnya.”

Definisi politik (siyasah) ini adalah definisi syar’i yang berasal dari dalil-dalil syar’i. Hal ini difahami dari adanya nas-nas yang menjelaskan tugas dan tanggung jawab penguasa dan juga adanya nas-nas yang menjelaskan tentang kewajiban muhasabah umat kepada penguasa atau hubungan antar sesama kaum muslim dalam mengurus urusan mereka maka semua itu menunjukkan makna politik yakni mengurus kepentingan umat.

Definisi politik ini juga merupakan definisi yang umum pada semua orang karena menggambarkan realitas aktivitas politik. Sehingga istilah tersebut mempunyai makna tunggal. Namun demikian masing-masing kelompok manusia mempunyai aturan dan hukum-hukum yang berbeda dalam sistem politik mereka. Jika sistem politiknya adalah sistem Islam maka pasti akan mengantarkan kemaslahatan dan keadilan, tetapi jika sistem politiknya sekuler maka pasti akan mengantarkan kedzaliman.

Oleh karena itu Imam Ibnu Qayyim al-jauziyah dalam kitab i’lamul muwaqqi’in dan ath-thuruq al-hukmiyah fii as-siyasati asy-syar’iyyah, membagi siyasah ada dua jenis yaitu

as-siyasah al-‘adilah dan as-siyasah adz-dzalimah.

Demikian juga Imam Syafi’i memberikan batasan bahwa politik itu harus sesuai dengan syariat sebagaimsna yang dinukil oleh Imam Ibnu Qayyim al-Jawziyyah (w. 751 H):

لَا سِيَاسَةَ إلَّا مَا وَافَقَ الشَّرْعَ السِّيَاسَةُ

“Tidak ada siyasah kecuali yang sejalan dengan hukum syari’ah.” Yakni yang tidak menyelisihi hukum syari’ah.

Wallahu a’lam bis shawab

Sumber:

tsaqofah.id

MEMAKNAI HADITS KEMBALINYA KHILAFAH

MEMAKNAI HADITS KEMBALINYA KHILAFAH

Oleh: Yuana Ryan Tresna| Mudir Ma’had Khadimus Sunnah Bandung

Hadits tentang Kabar Gembira Kembalinya Khilafah

Tsaqofatuna.id- Hadits yang mengabarkan berita gembira kembalinya khilafah sangatlah banyak. Adalah tidak benar bahwa hadits bisyarah nabawiyyah (kabar gembira kenabian) akan datangnya khilafah hanya didasarkan pada hadits riwayat Imam Ahmad. Masih banyak hadits-hadits lain yang secara makna sejalan dengan hadits tersebut.

Misalnya hadits riwayat Muslim, Ahmad dan Ibnu Hibban tentang khalifah di akhir zaman yang akan ‘menumpahkan’ harta yang tidak terhitung jumlahnya; hadits tentang akan datangnya khilafah di Baitul Maqdis (HR. Abu Dawud, Ahmad, al-Thabarani, al-Baihaqi); dan hadits tentang kekuasaan umat Nabi Muhammad yang akan melinggkupi dari timur hingga barat (HR. Muslim, Tirmidzi, Abu Daud). Hadits ini didukung oleh banyak hadits lain dengan makna yang sama, seperti masuknya Islam ke setiap rumah, al-waraq al-mu’allaq, hijrah setelah hijrah, penaklukan kota Roma, dst. Makna hadits kembalinya Khilafah ‘ala minhaj nubuwwah ini diriwayatkan oleh sekitar 25 shahabat, yang kemudian diriwayatkan oleh sekitar 39 tabi’in, kemudian diriwayatkan oleh sekitar 62 tabi’ al-tabi’in.

Berikut adalah hadits dari Hudzaifah ra., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:

«تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ»

“Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian, atas izin Allah ia tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan yang zhalim; ia juga ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan diktator yang menyengsarakan; ia juga ada dan atas izin Alah akan tetap ada. Selanjutnya akan ada kembali khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” (HR Ahmad, Abu Dawud al-Thayalisi dan al-Bazzar).

Hadits ini merupakan hadits maqbul, artinya diterima dan dapat dijadikan sebagai hujjah. Al-Hafizh al-‘Iraqi mengomentari: “Hadits ini hadits shahih, Imam Ahmad meriwayatkannya dalam Musnad-nya.” (al-‘Iraqi, Mahajjat al-Qurb ila Mahabbat al-‘Arab, hlm. 176).

Periode terakhir pada hadits di atas adalah periode kembalinya khilafah yang mengikuti metode (manhaj) kenabian. Ini merupakan berita gembira akan tegaknya kembali Khilafah setelah keruntuhannya. Makna yang sama juga diriwayatkan dalam banyak riwayat. Sebagai kabar gembira, hadits ini bukan dalil pokok kewajiban menegakkan khilafah. Kewajiban menegakkan khilafah dalilnya adalah al-Quran terkait kewajiban taat kepada ulil amri dan kewajiban menerapakan hukum-hukum Allah; dan hadits-hadits yang mewajiban adanya baiat dan adanya imam sebagai junnah (perisai).

Menjawab Keraguan terkait Otentisitas dan Validitas Hadits

Sebagian pihak mengatakan bahwa hadits tentang akan datangnya khilafah dari segi kritik sanad dan matan telah gugur. Tuduhan pada aspek kritik matan sangatlah lemah dan sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan. Adapun terkait kritik sanad, ini juga sangat tergesa-gesa. Menurut mereka, bahwa hadits yang dijadikan landasan utama oleh pejuang khilafah, dalam perspektif kritik sanad bermasalah karena ada seorang rawi bernama Habib bin salim al-Anshari yang dianggap tidak tsiqah (terpercaya). Alasannya adalah karena Habib bin Salim mendapatkan penilaian yang negatif (al-jarh) dari imam al-Bukhari yang menilai dengan sebutan “fihi nazhar”, dan juga komentar yang senada dari Ibn Adi. Lalu, mereka menyimpulkan, bahwa hadits tentang kekuasaan khilafah tersebut dari segi kritik sanad sudah gugur.

Jika kita meneliti penilaian para ulama jarh wa ta’dil, tampak jelas bahwa rawi Habib bin Salim dinyatakan tsiqah oleh sebagian ulama jarh wa ta’dil dan dikatakan jarh oleh sebagian lainnya. Jadi para ulama tidak satu suara ketika menilai rawi bernama Habib bin Salim. Oleh karenanya, peneliti seharusnya adil dan objektif menelaah setiap ungkapan tersebut.

Lalu benarkah rawi yang dinilai “fihi nazhar” oleh imam al-Bukhari sudah pasti dha’if? Memang pada keumumannya, “fihi nazhar” itu berkaitan dengan penilaian jarh dari imam al-Bukhari. Pada umumnya jarh ringan. Tapi tidak sesederhana itu. Tidak bisa memutlakan kedha’ifan hadits yang terdapat rawi yang dinilai “fihi nazhar”.

Ungkapan “fihi nazhar” tergantung qarinah-qarinahnya (indikasi-indikasinya). Qarinah ini perlu diteliti dan dikaji. Sayangnya sebagian pihak tergesa-gesa memutlakan kedha’ifan hadits yang di dalamnya ada rawi yang dinilai “fihi nazhar” oleh imam al-Bukhari tanpa memperhatikan qarinah-qarinahnya. Termasuk penilaian para ulama jarh wa ta’dil lainnya ketika menilai rawi yang dikomentari “fihi nazhar”.

Meski ungkapan “fihi nazhar” adalah cela ringan, tetapi masih membuka ruang penelitian. Imam al-Bukhari sendiri adakalanya menolak dan adakalanya menerima rawi yang dinilai “fihi nazhar”. Demikian juga dengan penilaian para ulama hadits lainnya, seperti Yahya bin Ma’in, Abu Hatim, Ibnu Adi, dll., berbeda-beda tergantung rawi yang ditelitinya. Ringkasnya, “fihi nazhar” memberikan peluang kesimpulan mulai dari kadzdzab (pendusta) hingga tsiqah. Sebuah rentang peluang yang sangat lebar.

Paling tidak ada 80 rawi yang dinilai “fihi nazhar” oleh imam al-Bukhari. Ini baru yang ungkapan “fihi nazhar”. Belum lagi yang dinilai “fi isnadihi nazhar, fi haditsihi nazhar, fihi ba’dhu nazhar, dll”. Untuk rawi bernama Habib bin Salim, Maula Nu’man bin Basyir, dalam al-Tarikh al-Kabir (al-Bukhari, 2/2606), al-Dhu’afa’ al-Kabir (al-Uqaili, 2/66) dan al-Kamil fi Dhu’afa al-Rijal (Ibnu Adi, 2/405), imam al-Bukhari menilainya “fihi nazhar”.

Imam Ibu Hatim, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban menilai Habib bin Salim sebagai seorang tsiqah. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani menilai “la ba’sa bihi”. (Lihat al-Jarh wa Ta’dil, 3/102; al-Tsiqat, 4/138; al-Kamil, 2/405; al-Taqrib, 1/151). Imam Muslim menggunakan rawi Habib bin Salim dalam hadits cabang sebagai mutaba’ah. Imam Ahmad dan al-Darimi juga meriwayatkannya.

Meski demikian, imam al-Bukhari menilai shahih riwayat Habib bin Salim, sebagaimana dijumpai dalam ‘Ilal al-Tirmidzi no. 152. Indikasi lainnya, imam al-Bukhari berhujjah dengan perkataan Habib bin Salim dalam biografi Yazid bin Nu’man bin Basyir (Tarikh al-Kabir, 8/365).

Pembahasan ini juga dibahas dalam kitab Muthalahat al-Jarh wa al-Ta’dil wa Tathawwuruha al-Tarikhiy fi al-Turats al-Mathbu’ li al-Imam al-Bukhari ma’a Dirasah Musthalahiyyah li Qaul al-Bukhari (Fihi Nazhar), hlm. 621-644.

Catatan lainnya, bahwa manhaj yang dipegang oleh para ahli hadits dan fuqaha adalah bahwa penilaian dha’if dan shahih suatu hadits tidak selalu disepakati semua ahli hadits dan bersifat mutlak. Bagi fuqaha, penilaian shahih menurut sebagian ahli hadits sudah cukup dapat dijadikan sebagai dalil.

Sebagaimana telah disinggung, bahwa Habib bin Salim al-Anshari adalah salah satu rijal dalam shahih Muslim. Imam Muslim (II/598) meriwayatkan hadits tentang bacaan pada shalat ‘ied dan jum’ah dari al-Nu’man bin Basyir. Artinya, menurut Imam Muslim, Habib bin Salim al-Anshari memenuhi syarat yang telah beliau tetapkan dalam muqaddimah kitab shahihnya. Maka bisa dimengerti mengapa Ibnu Hajar dalam Taqrib al-Tahdzib menyatakan “la ba’sa bihi”.

Adapun tuduhan pada rawi lainnya, seperti Ibrahim bin Dawud al-Wasithi, sungguh telah ditsiqahkan oleh Abu Dawud al-Thayalisi dan Ibnu Hibban. Selain kedua rawi tersebut, adalah para rawi yang tsiqah.

Dengan demikian, tidak benar bahwa hadits bisyarah nabawiyyah akan datangnya khilafah itu dha’if hanya karena sorotan pada rawi bernama Habib bin Salim. Para ulama justru telah menerima periwayatan Habib bin Salim. Adapun ungkapan “fihi nazhar” dari imam al-Bukhari sudah terjawab dalam penjelasan sebelumnya.

Jadi merupakan suatu kesalahan yang fatal kalau menganggap bahwa perjuangan untuk menerapkan hukum Islam melalui khilafah hanya didasarkan pada hadits dha’if. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad tentang akan kembalinya khilafah adalah shahih atau minimal hasan. Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh Syu’aib al-Arna’uth dalam Musnad Ahmad bi Hukm al-Arna’uth, juz 4 No. 18.430 dan dinilai shahih oleh al-Hafizh al-‘Iraqi dalam Mahajjah al-Qurab fi Mahabbah al-‘Arab (2/17).

Sikap yang Benar terhadap Kabar Gembira Kembalinya Khilafah

Sikap yang benar yang harus ditunjukkan seorang mukmin terkait janji kekhilafahan adalah: Pertama, seorang mukmin wajib menyakini sepenuhnya janji akan berkuasaanya kembali umat Islam (QS. Al-Nur: 55), karena Allah SWT pasti menunaikan janji-janji-Nya. (QS. (18):108 dan (73):18). Yakin kepada janji Allah termasuk bagian keimanan; dan siapa saja ingkar atau ragu terhadap janji Allah SWT, keimanannya telah rusak; Kedua, seorang mukmin harus membenarkan kabar gembira dari Rasulullah SAW, sebagaimana yang Rasulullah kabarkan dalam banyak hadits shahihnya; Ketiga, bersungguh-sungguh mewujudkan kabar gembira tersebut dengan rasa optimis sebagai wujud ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Keempat, tidak menunggu kemenangan dengan berpangku tangan, pesimis, atau sekadar menunggu datangnya al-Mahdi.

Pada dasarnya, para ulama dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah menggariskan hal-hal penting berkaitan dengan khilafah islamiyyah: Pertama, mengangkat seorang khalifah untuk menduduki tampuk khilafah Islamiyyah adalah kewajiban. (al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz 6, hlm. 291); Kedua, mengangkat seorang khalifah setelah berakhirnya zaman nubuwwah adalah kewajiban yang paling penting. (al-Haitsami, Shawa’iq al-Muhriqah, juz 1, hlm. 25); Ketiga, Allah SWT telah menjanjikan kekhilafahan kepada kaum mukmin hingga akhir zaman. (al-Syaukani, Fath al-Qadir, Juz 5, hlm. 241); Keempat, menegakkan kekuasaan Islam (khilafah Islamiyyah) termasuk sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT yang paling agung. (Ibnu Taimiyyah, al-Siyasah al-Syar’iyyah, hlm. 161).

Dalam menegakkan khilafah Islamiyyah sebagai kewajiban syariat, sikap yang seharusnya bagi seorang mukmin adalah tunduk, patuh, dan berusaha menunaikan kewajiban itu dengan sebaik-baiknya. Seorang mukmin dilarang mempertanyakan, meragukan, menggugat, atau menghindari kewajiban agung ini dengan alasan apapun. Sebaliknya, ia wajib menerimanya dengan sepenuh keimanan dan ketundukan. Alasannya, kewajiban menegakkan khilafah Islamiyyah sama kedudukannya dengan kewajiban-kewajiban lain, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan lain-lain.

Sedangkan dalam konteks menegakkan khilafah Islamiyyah sebagai kewajiban paling penting dan sarana mendekatkan diri kepada Allah yang paling agung, maka seorang mukmin harus menyibukkan dan memfokuskan dirinya pada kewajiban ini, dan menjadikannya sebagai qadhiyyah al-mashiriyyah (persoalan utama) bagi kaum muslim. Alasannya, khilafah Islamiyyah adalah thariqah syar’iyyah (metode syar’i) untuk menerapkan Islam secara sempurna, sekaligus melangsungkan kepemimpinan kaum muslim di seluruh penjuru dunia.

Sebaliknya, sikap putus asa adalah perkara yang diharamkan. Contoh sikap putus asa adalah tidak peduli, dan cenderung mencemooh pejuang dan perjuangan penegakkan khilafah Islamiyyah. Padahal, sikap putus asa, pesimis, dan mencemooh kewajiban yang dibebankan Allah SWT termasuk perbuatan dosa. Nabi SAW bersabda:

وَثَلاَثَةٌ لاَ تُسْأَلُ عَنْهُمْ: رَجُلٌ نَازَعَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ رِدَاءَهُ فَإِنَّ رِدَاءَهُ الْكِبْرِيَاءُ وَإِزَارَهُ الْعِزَّةُ، وَرَجُلٌ شَكَّ فِي أَمْرِ اللهِ، وَالْقُنُوْطُ مِنْ رَحْمَةِ اللهِ

“Ada tiga golongan manusia yang tidak akan ditanya di hari Kiamat yaitu: manusia yang mencabut selendang Allah; dan sesungguhnya selendang Allah adalah kesombongan dan kainnya adalah al-‘izzah (keperkasaan); manusia yang meragukan perintah Allah; dan manusia yang putus harapan dari rahmat Allah.” (HR. Ahmad, Thabarani, al-Bazar)

Diantara sikap keliru lain yang dikembangkan sebagian kaum muslim adalah mengabaikan perjuangan menegakkan syariah dan Khilafah, dengan alasan menunggu datangnya imam Mahdi. Pemahaman seperti ini tidak tepat, karena menegakkan khilafah Islamiyyah adalah kewajiban syariat. Seorang muslim tidak boleh abai dengan kewajiban ini, atau tidak berupaya memperjuangkannya dengan sungguh-sungguh. Sebab, khilafah Islamiyyah adalah thariqah syar’i untuk menerapkan Islam secara sempurna.

Adapun hadits-hadits yang berbicara tentang turunnya imam Mahdi, sama sekali tidak menafikan kewajiban menegakkan khilafah Islamiyyah atas kaum muslim. Hadits-hadits tersebut juga tidak memerintahkan kaum muslim untuk hanya menunggu datangnya imam Mahdi, dan berdiam diri terhadap kewajiban menegakkan khilafah Islamiyyah.

Penutup

Kaum muslim wajib bersungguh-sungguh menyongsong kabar gembira Rasulullah SAW. Tegaknya khilafah akan mengembalikan kemuliaan dan kehormatan umat Islam. Apa yang terjadi sekarang ini, menggambarkan bahwa kita hidup saat ketiadaan perisai yang menjaga agama dan melindungi umat. Maka perlu ada upaya serius untuk menorehkan kembali sejarah agung peradaban Islam, mengembalikan kehidupan Islam dengan tegaknya al-khilafah ‘ala minhaj al-nubuwwah di muka bumi. Kaum muslim sudah seharusnya bangkit dari keterpurukan, dimana mereka terpuruk di tengah limpahan potensi sumber daya yang ada. Imam Ibn Muflih al-Hanbali (w. 763 H) menuturkan:

كَالْعِيسِ فِي الْبَيْدَاءِ يَقْتُلُهَا الظَّمَا * وَالْمَاءُ فَوْقَ ظُهُورِهَا مَحْمُولُ

“Bagaikan unta di padang pasir yang mati kehausan * Dan air di atas punggungnya tersimpan.” (Ibnu Muflih al-Maqdisi, Al-Adab al-Syar’iyyah, juz III, hlm. 104).

Sumber:

tsaqofah.id