Tampilkan postingan dengan label Headline. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Headline. Tampilkan semua postingan

Tidak Ada Ajaran Terorisme Dalam Islam, Justru Munculnya Terorisme Dari Orang-orang Kafir

Tidak Ada Ajaran Terorisme Dalam Islam, Justru Munculnya Terorisme Dari Orang-orang Kafir

Tsaqofatuna.id - Menangggapi adanya upaya mendiskreditkan para pejuang di Gaza Palestina sebagai teroris, Gus Tuhu Pengasuh Majelis Taklim mengukapkan bahwa tidak ada dalam Islam ajaran terorisme justru muncul dari orang-orang Kafir.

“Kalau kita berbicara terorisme, di dalam Islam sama sekali tidak ada ajaran teroris itu, tidak ada terorisme. Fakta yang sesungguhnya, justru yang terjadi terorisme itu munculnya dari orang-orang Kafir,” ungkapnya dalam acara Multaqo Ulama Aswaja Tapal Kuda Probolinggo: Penghalang Kita Adalah Tembok Gaza Dan Ashobiyah Nasionalisme, Selasa (28/11/2023), di Kanal YouTube NgajiPro ID.

“Kalau dicatatan PBB, Hamas dimasukkan sebagai organisasi teroris. Tapi itu tidak mengherankan, Kenapa? Karena yang mengesahkan mensetujui tegaknya negara Yahudi itu ya PBB,” imbuhnya.

Karena menurutya, ketidakjujuran Barat dalam pelebelan terorisme hanya diberikan kepada umat Islam yang sebenarnya hanya membela tanah air nya. Padahal menurut penelitian pakar-pakar terorisme ada namanya state terrorism (terorisme negara), seperti halnya Amerika yang meluluhlantakkan Irak, Afganistan dan Vietnam, begitu juga yang dilakukan oleh Zionis Yahudi di Gaza Palestina saat ini.

“Memborbadir di daerah Gaza gambaran dari state terrorism, itu negara yang memunculkan, kalau itu mereka menyebut negara, memunculkan ketakutan pada orang-orang sipil. Bahkan menurut peraturan yang mereka buat sendiri, Palang Merah bagian-bagian kesehatan orang-orang sipil yang membantu orang-orang yang lemah, tidak boleh dibunuh, ada ambulans berisi ibu-ibu anak-anak orang sakit dihabisi oleh tentara Zionis Yahudi,” ungkapnya.

“Masih banyak lagi fakta-fakta yang menunjukkan bahwa Zionis Yahudi itu sesungguhnya apa yang mereka lakukan sesungguhnya adalah gambaran dari terorisme negara karena mereka menimbulkan ketakutan-ketakutan,” tandasnya.[]Lukman Indra Bayu

Menyoal Nasionalisme, Gus Tuhu: Lemah Sebagaimana Sarang Laba-laba

Menyoal Nasionalisme, Gus Tuhu: Lemah Sebagaimana Sarang Laba-laba

Tsaqofatuna.id - Mengungkapkan persoalan Nasionalisme, Gus Tuhu Pengasuh Majlis Taklim Al-Mustanir Probolinggo menyatakan bahwa Nasionalime itu ikatan yang lemah sebagaimana sarang laba-laba.

“Apa yang disebut dengan nasionalisme itu sebenarnya sangat lemah, kita berani menyebut di sini nasionalisme itu lemah sebagaimana lemahnya sarang laba-laba,” ungkapnya dalam program Kajian Islam Tematik Al-Mustanir: Nasionalisme, Masih Relevankah Hari Ini?, Senin (27/11/2023) di kanal Youtube NgajiProID.

Karena menurutnya, ikatan kebangsaan ini telah tumbuh berabad-abad lamanya seketika bisa mudah hilang dan tergantikan dengan satu kepentingan, pemahaman dan ikatan yang lebih tinggi cakupannnya daripada kepentingan nation satu bangsa. Bukti-bukti bahwa paham kebangsaan atau nasionalisme sebenarnya akan hilang dan lenyap oleh adanya musik, bisnis, harta atau uang, olahraga, ambisi kekuasaan dan mudah tergantiakn oleh ideologi lainnya.

“Jadi paham kebangsaan itu bisa lenyap hanya oleh musik, di mana para pecinta musik itu menyebut bahwa musik itu lintas teritorial, bahwa musik itu adalah mondial, alamiah, mendunia, musik tidak bisa dibatasi oleh sekat-sekat kebangsaan,” tegasnya.

“Nasalionalisme luntur hilang lenyap oleh bisnis, apalagi kalau pemain bisnisnya adalah Oligarki, tidak ada lagi kata nasionalisme,” imbuhnya.

Gus Tuhu lalu menjelaskan, satu-satunya penguat paham kebangsaan hanya jika ada pihak luar dari bangsanya datang menyerang secara fisik menjajah negerinya, setelah itu selesai maka hilanglah rasa kebangsaan nya.

“Jadi tidaklah mengherankan ketika pihak asing dan aseng datang merampok sumber alam dalam bentuk kerja sama atau investasi dan hal itu sah menurut konstitusi. Maka tidak ada satu pun bagi anak bangsa yang protes atau melawan perampokan resmi ini. Pertanyaannya dimana rasa Nasionalismenya? pungkasnya.[] Muhriz

Sikap Penguasa Negeri IslamTerhadap Gaza, Direktur Rumah Inspirasi Perubahan: Dipasung Sekat- sekat Nasionalisme

Sikap Penguasa Negeri IslamTerhadap Gaza, Direktur Rumah Inspirasi Perubahan: Dipasung Sekat- sekat Nasionalisme

Tsaqofatuna.id - Menaggapi sikap penguasa negeri-negeri Islam yang hanya bisa mengecam dan membisu terhadap genosida dilakukan oleh Entitas Yahudi di Gaza, Ustaz Indra Fakhrudin Direktur Rumah Inspirasi Perubahan Probolinggo mengungkapkan bahwa hal tersebut dikarenakan negeri-negeri islam telah dipasung oleh sekat-sekat nasionalisme (ashobiyyah).

“Karena negeri-negeri Islam telah dipasung oleh sekat-sekat Nasionalisme (ashobiyyah),” ujarnya dalam acara Multaqo Ulama Aswaja Tapal Kuda Probolinggo: Penghalang Kita Adalah Tembok Gaza Dan Ashobiyah Nasionalisme, Selasa (28/11/2023), di Kanal YouTube NgajiPro ID.

Begitu halnya dengan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) berangotakan 57 negara tersebar di empat benua tidak berdaya dibuatnya, katanya. Seharusnya penguasa negeri-negeri Islam mengerahkan pasukan nya, kekuatan miiter untuk membantu saudara-saudara Muslim di Gaza.

“Bahasan nasionalisme dan akar sejarahnya yang secara historis dan empiris telah menjadi tembok penghalang gaza selama ini, inysaAllah akan dibahas oleh para Alim (Ulama) yang sudah hadir di Multaqo Ulama Aswaja Tapal Kuda Probolinggo malam ini,” ujarnya.

Direktur Rumah Inspirasi Perubahan ini melanjutkan bahwa para Ulama sangat berkewajiban menjadi garda terdepan dalam membela umat , menjadi rujukan umat dalam berbagai persoalan khususnya menyampaikan gagasan syar’i dan ideologis berkenaan dengan persoalan Palestina.

“Dan kita para ulama akan terus memantau persoalan ini, walaupun gencatan senjata sementara sudah dilakukan antara kedua belah pihak. Namun kita sangat paham bagaimana karakter munafik kaum Zionis Yahudi yang kerap berkhianat,” pungkasnya.[] Lukman Indra Bayu

Benarkah Hizbut Tahrir Wahabi ?

Benarkah Hizbut Tahrir Wahabi ?

Soal:

Siapa sebenarnya Wahabi? Benarkah Hizbut Tahrir Wahabi atau setidaknya mirip Wahabi? Jika tidak, ada apa sebenarnya di balik tuduhan seperti ini?

Jawab:

Tsaqofatuna.id- Wahabi adalah gerakan Islam yang dinisbatkan kepada Muhammad bin Abdul Wahhab (1115-1206 H/1701-1793 M). Muhammad bin Abdul Wahhab sebenarnya merupakan pengikut mazhab Hanbali, kemudian berijtihad dalam beberapa masalah, sebagaimana yang diakuinya sendiri dalam kitab, Shiyânah al-Insân, karya Muhammad Basyir as-Sahsawani.1 Meski demikian, hasil ijtihadnya dinilai bermasalah oleh ulama Sunni yang lainnya.

Nama Wahabi sendiri telah dikubur oleh para pengikut dan penganutnya. Boleh jadi karena sejarah kelam pada masa lalu. Namun, mereka mempunyai alasan lain. Menurut mereka, ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab adalah ajaran Nabi Muhammad, bukan ajarannya sendiri. Karenanya, mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafi atau Muwahhidûn, yang berarti “orang-orang yang mentauhidkan Allah”, bukan Wahhâbi.

Secara historis, gerakan Wahabi telah mengalami beberapa kali metamorfosis. Mula-mula adalah gerakan keagamaan murni yang bertujuan untuk memurnikan tauhid dari syirik, tahayul, bid’ah dan khurafat, yang dimulai dari Uyainah, kampung halaman pendirinya tahun 1740 M. Di kampungnya, gerakan ini mendapatkan penentangan. Muhammad bin Abdul Wahhab pun terusir dari kampung halamannya dan berpindah ke Dar’iyyah. Di sini, pendiri Wahabi itu mendapat perlindungan dari Muhammad bin Saud, yang notabene bermusuhan dengan Amir Uyainah. Dalam kurun tujuh tahun, sejak tinggal di Dar’iyyah, dakwah Wahabi berkembang pesat.

Tahun 1747 M, Muhammad bin Saud, yang notabene adalah agen Inggris, menyatakan secara terbuka penerimaannya terhadap berbagai pemikiran dan pandangan keagamaan Muhammad bin Abdul Wahhab. Keduanya pun sama-sama diuntungkan. Dalam kurun 10 tahun, wilayah kekuasaan Muhammad bin Saud berkembang seluas 30 mil persegi. Muhammad bin Abdul Wahhab pun diuntungkan, karena dakwahnya berkembang dan pengaruhnya semakin menguat atas dukungan politik dari Ibn Saud. Namun, pengaruhnya berhenti sampai di wilayah Ihsa’ 1757 M.

Ketika Ibn Saud meninggal dunia tahun 1765 M, kepemimpinannya diteruskan oleh anaknya, Abdul Aziz. Namun, tidak ada perkembangan yang berarti dari gerakan ini, kecuali setelah tahun 1787 M. Dengan kata lain, selama 31 tahun (1957-1788 M), gerakan ini stagnan.

Namun, setelah Abdul Aziz, yang juga agen Inggris itu, mendirikan Dewan Imarah pada tahun 1787 M, sekaligus menandai lahirnya sistem monarki, Wahabi pun terlibat dalam ekspansi kekuasaan yang didukungnya, sekaligus menyebarkan paham yang dianutnya. Tahun 1788 M, mereka menyerang dan menduduki Kuwait. Melalui metode baru ini, gerakan ini menimbulkan instabilitas di wilayah Khilafah Utsmani; di semenanjung Arabia, Irak dan Syam yang bertujuan melepaskan wilayah tersebut dari Khilafah. Gerakan mereka akhirnya berhasil dipukul mundur dari Madinah tahun 1812 M. Benteng terakhir mereka di Dar’iyyah pun berhasil diratakan dengan tanah oleh Khilafah tahun 1818 M. Sejak itu, nama Wahabi seolah terkubur dan lenyap ditelan bumi.2

Namun, pandangan dan pemikiran Wahabi memang tidak mati. Demikian juga hubungan penganut dan pendukung Wahabi dengan keluarga Ibn Saud.

Metamorfosis berikutnya terjadi ketika mereka mengubah nama. Nama Wahabi tidak pernah lagi digunakan, mungkin karena rentan. Akhirnya, mereka lebih suka menyebut diri mereka Salafi. Namun, pandangan dan cara mereka berdakwah tetap sama. Inilah fakta sejarah tentang Wahabi. Dari fakta ini jelas sekali, bahwa Wahabi (Salafi) ikut membidani lahirnya Kerajaan Arab Saudi. Karena itu, tidak aneh jika kemudian Wahabi (Salafi) senantiasa menjadi pendukung kekuasaan Ibn Saud sekalipun Wahabi (Salafi) bukan merupakan gerakan politik.

Ini jelas berbeda dengan Hizbut Tahrir. Hizbut Tahrir adalah partai politik yang berideologi Islam. Tujuannya adalah untuk mengembalikan kehidupan Islam dengan mendirikan Khilafah yang menerapkan sistem Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Politik adalah aktivitasnya.3 Meski begitu, Hizbut Tahrir tidak pernah terlibat dalam pendirian rezim manapun yang berkuasa saat ini di dunia. Hizb juga tidak pernah terlibat dalam dukung-mendukung kekuasaan/negara manapun. Sebabnya, semua negara yang ada di seluruh dunia saat ini bukanlah negara yang dibangun berdasarkan akidah Islam dan memerintah berdasarkan hukum-hukum Allah. Dalam pandangan Islam, menurut Hizb, satu-satunya negara bagi umat Islam di seluruh dunia adalah Khilafah, yang notabene pernah dirongrong oleh konspirasi Inggris dan agennya, dinasti Ibn Saud, termasuk di dalamnya menggunakan Wahabi.

Pandangan keagamaan Wahabi sebenarnya bukan hal yang baru. Dalam masalah akidah, misalnya, Wahabi, banyak mengambil pandangan Ibn Taimiyyah dan muridnya, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah. Tauhid, menurut mereka, ada dua yaitu: tauhid rububiyyah wa asma’ wa shifat dan tauhid rububiyyah. Tauhid yang pertama bertujuan untuk mengenal dan menetapkan Allah sebagai Rabb, dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Tauhid yang kedua terkait dengan tuntutan dan tujuan (at-thalab wa al-qashd).4 Syaikh ‘Abd al-’Aziz bin Baz, kemudian membagi tauhid tersebut menjadi tiga: tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah dan tauhid al-asma’ wa as-shifat.5

Ini berbeda dengan Hizb. Dalam tauhid, Hizb tidak mengenal klasifikasi seperti ini. Dalam pembahasan tentang sifat, misalnya, Hizb tidak membahas sifat dan asma dalam konteks itsbât bilâ tahrîf wa la ta’thîl wa la takyîf wa la tamtsîl (menetapkan sifat dan asma Allah, tanpa menyelewengkan, mengabaikan, mendes-kripsikan tatacara-Nya dan menyerupakannya dengan yang lain), sebagaimana lazimnya Wahabi.6 Hizb membahas sifat justru untuk meluruskan perdebatan yang tidak berkesudahan, antara Muktazilah, yang menyatakan bahwa sifat Allah sama dengan Dzat-Nya, dan Ahlussunnah, yang menyatakan, bahwa sifat Allah tidak sama dengan Zat-Nya. Dalam pandangan Hizb, perdebatan seperti ini tidak bisa dan tidak boleh dilakukan, karena tidak berangkat dari fakta, melainkan didasarkan pada asumsi mantik.7

Bagi Wahabi, masalah utama umat Islam adalah masalah akidah; akidah umat ini dianggap sesat, karena dipenuhi syirik, tahayul, bid’ah dan khurafat. Karena itu, aktivitas dakwah mereka difokuskan pada upaya purifikasi (pemurnian) akidah dan ibadah umat Islam. Akidah dimurnikan dari syirik, baik syirik ashghar (syirik kecil), akbar (syirik besar) maupun syirik khafi (syirik yang samar-samar); juga tahayul dan khurafat. Ibadah juga harus dimurnikan dari bid’ah, yang didefinisikan sebagai membuat metode yang tidak dicontohkan sebelumnya. Dalam pandangan mereka, bid’ah ada dua: bid’ah dalam adat dan tradisi; bid’ah dalam agama. Bid’ah yang pertama, menurut mereka, hukumnya mubah/boleh. Bid’ah yang kedua semuanya haram dan sesat (dhalalah). Bid’ah yang kedua ini mereka bagi menjadi dua: Bid’ah qawliyyah i’tiqadiyyah, seperti ucapan dan pandangan Jahmiyah, Muktazilah, Rafidhah dan sebagainya; bid’ah fi al-’ibâdah.8

Ini berbeda dengan Hizb. Pandangan seperti ini, menurut Hizb, juga berbahaya karena menganggap seolah-oleh umat Islam belum berakidah Islam. Ini tampak pada pandangan mereka terhadap kaum Muslim yang lain, selain kelompok mereka, yang dianggap sesat. Bahkan mereka tidak jarang saling sesat-menyesatkan terhadap kelompok sempalan mereka. Pandangan ini, menurut Hizb, sebagaimana disebutkan dalam kitab Nidâ’ al-Hâr, tidak proporsional. Betul, bahwa ada masalah dalam akidah umat Islam, tetapi tidak berarti mereka belum berakidah Islam. Bagi Hizb, umat Islam sudah berakidah Islam. Hanya saja, akidahnya harus dibersihkan dari kotoran dan debu, yang disebabkan oleh pengaruh kalam dan filsafat. Karena itu, Hizb tidak pernah menganggap umat Islam ini sesat. Hizb juga menganggap, bahwa persoalan akidah ini, meski penting, bukanlah masalah utama. Bagi Hizb, masalah utama umat Islam adalah tidak berdaulatnya hukum Allah dalam kehidupan mereka. Karena itu, fokus perjuangan Hizb adalah mengembalikan kedaulatan hukum Allah, dengan menegakkan kembali Khilafah.

Bagi Hizb, akidah umat harus dibersihkan agar bisa menjadi landasan yang kokoh dalam kehidupan pribadi, masyarakat dan negara. Setelah itu, akidah yang hidup di dalam diri umat ini akan mampu membangkitkan mereka dari keterpurukan, dan akhirnya mendorong mereka untuk memperjuangkan tegaknya Khilafah dan hukum Allah di muka bumi.

Dengan pandangan Wahabi seperti itu terhadap akidah umat Islam, ditambah ketidaktahuan mereka tentang konstruksi masyarakat—yang terdiri dari manusia, pemikiran, perasaan dan system—maka wajar jika sejarah Wahabi berlumuran darah kaum Muslim. Situs-situs penting dan bersejarah di dalam Islam pun mereka hancurkan. Semuanya dengan dalih membebaskan umat Islam dari syirik dan khurafat. Ini jelas berbeda dengan Hizb. Hizb tahu persis konstruksi masyarakat sehingga dalam dakwahnya tidak pernah menyerang manusia atau obyek-obyek fisik, seperti situs-situs penting dan bersejarah; melainkan menyerang pemikiran, perasaan dan sistem yang diyakini dan dipraktikkan oleh manusia. Itulah yang menjadi fokus serangan Hizb. Karena itu, dakwah Hizb dikenal sebagai dakwah fikriyyah lâ ‘unfiyyah (intelektual dan non-kekesaran).

Pendek kata, perbedaan Hizb dengan Wahabi begitu jelas dan nyata. Menyamakan Hizb dengan Wahabi bisa jadi karena tidak mengerti tentang kedua-duanya, atau sengaja untuk melakukan monsterisasi terhadap Hizb, agar disalahpahami, dibenci dimusuhi dan dijauhi oleh umat. Inilah yang sebenarnya hendak dilakukan. Lalu siapa yang diuntungkan dengan semuanya ini, tentu bukan Islam dan kaum Muslim, melainkan kaum kafir penjajah dan para boneka mereka, yang tetap menginginkan negeri-negeri Muslim, seperti Indonesia, ini tetap terjajah. Na’ûdzu billâh. [] KH Hafidz Abdurrahman

Catatan kaki:

1 Lihat, Muhammad Basyir as-Sahsawani, Shiyânah al-Insân, hlm. 475.

2 Lihat, ‘Abdul Qadîm Zallûm, Kayfa Hudimat al-Khilâfah, Dâr al-Ummah, Beirut, 1994.

3 Taqiyuddîn an-Nabhâni, Mafâhîm Hizb at-Tahrîr, Min Mansyûrat Hizb at-Tahrîr, cet. ke-6, edisi Muktamadah, 2001, hlm. 84.

4 Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan ‘Ali as-Syaikh, Fath al-Majîd: Syarah Kitâb at-Tawhîd, Muassasah Qurthubah, t.t., hlm. 25.

5 Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Bâz, Al-Ahkam al-Mulimmah ‘ala ad-Durus al-Muhimmah li ‘Ammati al-Ummah, Makatabah al-Malik Fahd al-Wathaniyyah, cet. II, 1423 H, hlm. 30.

6 Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan ‘Ali as-Syaikh, Fath al-Majîd: Syarh Kitâb at-Tawhîd, hlm. 25; Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Bâz, Al-Ahkam al-Mulimmah ‘ala ad-Durus al-Muhimmah li ‘Ammati al-Ummah, hlm. 20.

7 Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah al-Juz al-Awwâl, Min Mansyûrat Hizb at-Tahrîr, cet. ke-6, edisi Muktamadah, 2003, hlm. 116-124.

8 Dr. Fauzan bin ‘Abdullah Fauzan, ‘Aqîdah at-Tawhîd, Mamlakah al-’Arabiyyah as-Sa’udiyyah, Muassasah al-Haramain al-Khairiyyah, Riyadh, hlm. 176-177.

Sumber:

tsaqofah.id

Benarkah Rasulullah SAW Tidak Membangun Pemerintahan Islam?

Benarkah Rasulullah SAW Tidak Membangun Pemerintahan Islam?

dr. Mohammad Ali Syafi'udin

Tsaqofatuna.id-

Ada seseorang yang berpendapat bahwa politik itu tidak ditetapkan oleh syariat Islam sehingga bentuk Pemerintahan Islam itu bisa bermacam-macam dan tidak baku.

Ia berargumentasi dengan pendapat Imam Abul Wafa Ibnu ‘Aqil Al Hambali,

السِّيَاسَةُ مَا كَانَ مِنْ الْأَفْعَالِ بِحَيْثُ يَكُونُ النَّاسُ مَعَهُ أَقْرَبَ إلَى الصَّلَاحِ وَأَبْعَدَ عَنْ الْفَسَادِ ، وَإِنْ لَمْ يُشَرِّعْهُ الرَّسُولُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا نَزَلَ بِهِ وَحْيٌ ؛

“Politik (siyasah) adalah semua tindakan yang dengannya manusia lebih dekat dengan kebaikan dan semakin jauh dari kerusakan, meskipun tidak disyariatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak ada wahyu yang turun tentangnya.(I’lamul Muwaqqi’in ‘an rabbil’ alamin II/649, daru Ibnu al-jauziy, dan ath-thuruq al-hukmiyah fii as-siyasati asy-syar’iyyah oleh Ibnu Qayyim al-jauziyah hal 17, darul hadis)

Dari kalimat ”Meskipun tidak disyariatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak ada wahyu yang turun tentangnya” inilah ia mengatakan Rasulullah Saw tidak membangun pemerintahan Islam karena memang tidak disyariatkan.

Seharusnya ia jujur dalam mengutip pendapat ulama, tidak asal memotong penjelasan Ibnu Aqil berikutnya. Penjelasan berikutnya secara utuh dari Ibnu Aqil yaitu

فَإِنْ أَرَدْتَ بِقَوْلِكَ ” لَا سِيَاسَةَ إلَّا مَا وَافَقَ الشَّرْعَ ” أَيْ لَمْ يُخَالِفْ مَا نَطَقَ بِهِ الشَّرْعُ فَصَحِيحٌ ، وَإِنْ أَرَدْتَ مَا نَطَقَ بِهِ الشَّرْعُ فَغَلَطٌ وَتَغْلِيطٌ لِلصَّحَابَةِ ؛ فَقَدْ جَرَى مِنْ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ الْقَتْلِ وَالْمَثْلِ مَا لَا يَجْحَدُهُ عَالِمٌ بِالسِّيَرِ ، وَلَوْ لَمْ يَكُنْ إلَّا تَحْرِيقُ الْمَصَاحِفِ كَانَ رَأْيًا اعْتَمَدُوا فِيهِ عَلَى مَصْلَحَةٍ ، وَكَذَلِكَ تَحْرِيقُ عَلِيٍّ كَرَّمَ اللَّهُ وَجْهَهُ الزَّنَادِقَةَ فِي الْأَخَادِيدِ ، وَنَفْيُ عُمَرُ نَصْرَ بْنَ حَجَّاجٍ .

Jika yang Anda maksud dengan Pernyataanmu ‘Tidak ada politik kecuali harus sesuai dengan syariat’ dalam arti politik tidak boleh bertentangan dengan apa yang disebutkan oleh syariat, maka itu benar. Tetapi jika yang anda maksudkan dengan siyasah hanyalah yang disebutkan oleh syariat, maka itu kesalahan dan sekaligus menyalahkan para sahabat nabi.”

Para khulafa’ur rasyidin telah banyak melakukan kebijaksanaan sendiri, terkait dengan hukuman bunuh dan jenis hukuman berat lainnya yang tidak dibantah/ditentang oleh (para sahabat nabi) yang mengetahui. Pembakaran semua mushhaf (kecuali mushhaf Utsmani dalam rangka menyatukan) maka semata-mata pendapat yang dipegang demi tercapainya maslahat. Demikian pula Ali bin Abi Thalib yang membakar orang zindiq di Akhadid dan Umar bin Al Khathab juga pernah mengasingkan Nashr bin Hajjaj.” (I’lamul Muwaqqi’in ‘an rabbil ‘alamin II/649, daru Ibnu al-jauziy, dan ath-thuruq al-hukmiyah fii as-siyasati asy-syar’iyyah oleh Ibnu Qayyim al-jauziyah, hal 17, darul hadis).

Dari penjelasan berikutnya oleh Ibnu Aqil bisa ditarik kesimpulan bahwa politik itu harus sesuai dengan hukum syariat, namun tidak semua politik itu dijelaskan secara tekstual oleh syariat. Contohnya seperti yang beliau sebutkan diatas yaitu kebijakan para Khulafaur Rasyidin.

Jika kita kaitkan contoh-contoh aktivitas politik para Khulafaur Rasyidin yang dijelaskan oleh Ibnu Aqil dengan definisi yang rumus beliau, maka akan tampak bahwa aktivitas politik yang tidak disebutkan secara tekstual oleh syariat adalah Masalah ijtihadiy terhadap masalah yang muncul yang mana masalah tersebut belum ada pada zaman Rasulullah.

Ibnu Aqil mencontohkan Khalifah Usman bin Affan r.a. memerintahkan untuk membakar semua mushaf dan mengharuskan umat Islam untuk berpegang kepada hanya satu mushaf saja demi menjaga persatuan dan untuk kemaslahatan umat. Ali bin Abi Thalib r.a menghukum kaum zindiq dengan membakar supaya menjadi pelajaran yang lain. Umar bin Khattab mengasingkan Nasr bin hajjaj supaya tidak timbul fitnah karena banyak wanita yang tertarik kepadanya.

Ini semua adalah wilayah ijtihadiy para Khulafaur Rasyidin yang memang menjadi wewenang mereka untuk mengadopsi hukum tertentu

Perbedaan kebijakan para Khulafaur Rasyidin, selain masalah ijtihadiy, juga bisa terjadi terhadap masalah tekhnis (uslub) dan sarana (wasilah) dalam menjalankan suatu perintah dari nas. Memang masalah tehnis (uslub) ini merupakan masalah cabang yang tidak membutuhkan dalil khusus dan cukup hanya dengan dalil umum pada perbuatan pokoknya.

Ketika syariat telah menjelaskan dengan dalil pada aktivitas pokok maka dalil itu juga meliputi aktivitas-aktivitas cabang yang merupakan cabang dari aktivitas pokok tersebut.

Contoh:

وَءَاتَوُا۟ ٱلزَّكَوٰةَ

“Tunaikan zakat” (QS Al-Baqarah 277)

Ini merupakan dalil yang bersifat umum. Namun tidak terdapat dalil yang menjelaskan tata cara pengumpulannya, apakah pergi dengan naik kendaraan atau jalan kaki, apakah boleh mempekerjakan para pekerja untuk membantunya ataukah tidak, apakah harus dicatat dalam daftar, apakah harus ditetapkan di tempat tertentu untuk mengumpulkannya, apakah harus digunakan brankas dan seterusnya. Semua itu dan semisalnya merupakan perbuatan-perbuatan cabang dari perintah Tunaikan zakat (QS Al-Baqarah 277).Semua telah tercakup di dalam dalil-dalil umum tersebut.

Cara-cara administrasi atau cara-cara manajemen itu juga termasuk masalah teknis yang bersifat universal dimana memungkinkan bisa diambil dari sistem manapun kecuali jika terdapat dalil spesifik yang melarang satu cara administrasi tertentu. Contoh Umar bin Khattab r.a. telah mengambil diwan, meniru yang dilakukan oleh raja di Syam, sebagai cara untuk mencatat nama-nama tentara dan rakyat. Catatan itu dibuat dalam rangka membagikan harta kepada mereka baik yang berasal dari harta kepemilikan umum maupun kepemilikan negara dalam bentuk pemberian negara atau gaji.

Jadi perbedaan kebijakan politik para Khulafaur Rasyidin bukan menandakan tidak adanya perintah untuk mendirikan pemerintah Islam atau tidak adanya sistem baku pemerintah Islam. Perbedaan itu bisa terjadi pada Ijtihad para Khalifah yang menjadi wewenangnya terhadap persoalan yang baru dan mungkin juga terjadi pada masalah tehnis. Namun yang penting kebijakan para Khulafaur Rasyidin semuanya berpijak dan bersandar kepada dalil-dalil Al-Qur’an dan as-sunah.

Sementara itu Rasulullah Saw memerintahkan kepada kita untuk berpegang pada sunahnya dan sunah Khulafaur Rasyidin. Dan diantara sunah Khulafaur Rasyidin adalah menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum-hukum Allah. Artinya kita wajib meniru sistem pemerintahan para Khulafaur Rasyidin yaitu sistem khilafah.

Rasulullah Saw bersabda:

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

Maka wajib atas kalian berpegang teguh pada sunnahku dan Sunnah khulafaur rosyidin yang mendapatkan petunjuk, Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

Jika kita kaji dalil-dalil baik dari Al-Qur’an, as-sunah, ijma’ sahabat dan qiyas maka kita akan mendapatkan gambaran sistem pemerintahan Islam yang khas yang berbeda dengan sistem pemerintahan yang lainnya.

Juga akan didapatkan perkara-perkara pokok yang menjadi pilar pemerintahan Islam yaitu kedaulatan ditangan Syara’, kekuasaan adalah milik umat, mengangkat seorang Khalifah adalah wajib bagi kaum muslim dan hanya Khalifah yang memiliki hak untuk Mengadopsi hukum dan undang-undang negara.

Jadi jelas bahwa Rasulullah Saw telah mensyariatkan sistem pemerintahan Islam, berikut sistem politiknya baik dalam negeri maupun luar negeri.

Makna politik

Secara bahasa politik (siyasah) berasal dari kata “Sasa-yasusu-siyasatan” yang berarti mengurus kepentingan seseorang.

Berkata pengarang kamus mukhith : “sustu ar-ra’iyyah siyasatan amartuha wa nahaituha” artinya Mengatur urusannya dengan perintah dan larangan

Secara istilah maknanya telah dijelaskan oleh Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah di dalam Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’ :

السياسية: رعاية شئون الامة بالداخل والخارج وفق الشريعة الاسلامية

“Siyâsah (politik) adalah pengaturan urusan umat baik dalam maupun luar negeri berdasarkan syari’at Islam.”

Namun definisi yang lebih komprehensif adalah yang dijelaskan oleh Syeh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Afkarun Siyasiyatun.

السـياسـة هي رعاية شـؤون الأمة داخلياً وخارجياً، وتكون من قبل الدولة والأمة، فالدولة هي التي تباشر هذه الرعاية عملياً، والأمة هي التي تحاسب بها الدولة

“Politik (siyasah) adalah pengaturan urusan umat baik dalam negri maupun luar negeri, yang dilaksanakan oleh negara (pemerintah) maupun umat, dimana negara adalah institusi yang mengatur urusan tersebut secara praktis sedangkan umat mengoreksi kepada pemerintah dalam melakukan tugasnya.”

Definisi politik (siyasah) ini adalah definisi syar’i yang berasal dari dalil-dalil syar’i. Hal ini difahami dari adanya nas-nas yang menjelaskan tugas dan tanggung jawab penguasa dan juga adanya nas-nas yang menjelaskan tentang kewajiban muhasabah umat kepada penguasa atau hubungan antar sesama kaum muslim dalam mengurus urusan mereka maka semua itu menunjukkan makna politik yakni mengurus kepentingan umat.

Definisi politik ini juga merupakan definisi yang umum pada semua orang karena menggambarkan realitas aktivitas politik. Sehingga istilah tersebut mempunyai makna tunggal. Namun demikian masing-masing kelompok manusia mempunyai aturan dan hukum-hukum yang berbeda dalam sistem politik mereka. Jika sistem politiknya adalah sistem Islam maka pasti akan mengantarkan kemaslahatan dan keadilan, tetapi jika sistem politiknya sekuler maka pasti akan mengantarkan kedzaliman.

Oleh karena itu Imam Ibnu Qayyim al-jauziyah dalam kitab i’lamul muwaqqi’in dan ath-thuruq al-hukmiyah fii as-siyasati asy-syar’iyyah, membagi siyasah ada dua jenis yaitu

as-siyasah al-‘adilah dan as-siyasah adz-dzalimah.

Demikian juga Imam Syafi’i memberikan batasan bahwa politik itu harus sesuai dengan syariat sebagaimsna yang dinukil oleh Imam Ibnu Qayyim al-Jawziyyah (w. 751 H):

لَا سِيَاسَةَ إلَّا مَا وَافَقَ الشَّرْعَ السِّيَاسَةُ

“Tidak ada siyasah kecuali yang sejalan dengan hukum syari’ah.” Yakni yang tidak menyelisihi hukum syari’ah.

Wallahu a’lam bis shawab

Sumber:

tsaqofah.id

MEMAKNAI HADITS KEMBALINYA KHILAFAH

MEMAKNAI HADITS KEMBALINYA KHILAFAH

Oleh: Yuana Ryan Tresna| Mudir Ma’had Khadimus Sunnah Bandung

Hadits tentang Kabar Gembira Kembalinya Khilafah

Tsaqofatuna.id- Hadits yang mengabarkan berita gembira kembalinya khilafah sangatlah banyak. Adalah tidak benar bahwa hadits bisyarah nabawiyyah (kabar gembira kenabian) akan datangnya khilafah hanya didasarkan pada hadits riwayat Imam Ahmad. Masih banyak hadits-hadits lain yang secara makna sejalan dengan hadits tersebut.

Misalnya hadits riwayat Muslim, Ahmad dan Ibnu Hibban tentang khalifah di akhir zaman yang akan ‘menumpahkan’ harta yang tidak terhitung jumlahnya; hadits tentang akan datangnya khilafah di Baitul Maqdis (HR. Abu Dawud, Ahmad, al-Thabarani, al-Baihaqi); dan hadits tentang kekuasaan umat Nabi Muhammad yang akan melinggkupi dari timur hingga barat (HR. Muslim, Tirmidzi, Abu Daud). Hadits ini didukung oleh banyak hadits lain dengan makna yang sama, seperti masuknya Islam ke setiap rumah, al-waraq al-mu’allaq, hijrah setelah hijrah, penaklukan kota Roma, dst. Makna hadits kembalinya Khilafah ‘ala minhaj nubuwwah ini diriwayatkan oleh sekitar 25 shahabat, yang kemudian diriwayatkan oleh sekitar 39 tabi’in, kemudian diriwayatkan oleh sekitar 62 tabi’ al-tabi’in.

Berikut adalah hadits dari Hudzaifah ra., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:

«تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ»

“Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian, atas izin Allah ia tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan yang zhalim; ia juga ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan diktator yang menyengsarakan; ia juga ada dan atas izin Alah akan tetap ada. Selanjutnya akan ada kembali khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” (HR Ahmad, Abu Dawud al-Thayalisi dan al-Bazzar).

Hadits ini merupakan hadits maqbul, artinya diterima dan dapat dijadikan sebagai hujjah. Al-Hafizh al-‘Iraqi mengomentari: “Hadits ini hadits shahih, Imam Ahmad meriwayatkannya dalam Musnad-nya.” (al-‘Iraqi, Mahajjat al-Qurb ila Mahabbat al-‘Arab, hlm. 176).

Periode terakhir pada hadits di atas adalah periode kembalinya khilafah yang mengikuti metode (manhaj) kenabian. Ini merupakan berita gembira akan tegaknya kembali Khilafah setelah keruntuhannya. Makna yang sama juga diriwayatkan dalam banyak riwayat. Sebagai kabar gembira, hadits ini bukan dalil pokok kewajiban menegakkan khilafah. Kewajiban menegakkan khilafah dalilnya adalah al-Quran terkait kewajiban taat kepada ulil amri dan kewajiban menerapakan hukum-hukum Allah; dan hadits-hadits yang mewajiban adanya baiat dan adanya imam sebagai junnah (perisai).

Menjawab Keraguan terkait Otentisitas dan Validitas Hadits

Sebagian pihak mengatakan bahwa hadits tentang akan datangnya khilafah dari segi kritik sanad dan matan telah gugur. Tuduhan pada aspek kritik matan sangatlah lemah dan sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan. Adapun terkait kritik sanad, ini juga sangat tergesa-gesa. Menurut mereka, bahwa hadits yang dijadikan landasan utama oleh pejuang khilafah, dalam perspektif kritik sanad bermasalah karena ada seorang rawi bernama Habib bin salim al-Anshari yang dianggap tidak tsiqah (terpercaya). Alasannya adalah karena Habib bin Salim mendapatkan penilaian yang negatif (al-jarh) dari imam al-Bukhari yang menilai dengan sebutan “fihi nazhar”, dan juga komentar yang senada dari Ibn Adi. Lalu, mereka menyimpulkan, bahwa hadits tentang kekuasaan khilafah tersebut dari segi kritik sanad sudah gugur.

Jika kita meneliti penilaian para ulama jarh wa ta’dil, tampak jelas bahwa rawi Habib bin Salim dinyatakan tsiqah oleh sebagian ulama jarh wa ta’dil dan dikatakan jarh oleh sebagian lainnya. Jadi para ulama tidak satu suara ketika menilai rawi bernama Habib bin Salim. Oleh karenanya, peneliti seharusnya adil dan objektif menelaah setiap ungkapan tersebut.

Lalu benarkah rawi yang dinilai “fihi nazhar” oleh imam al-Bukhari sudah pasti dha’if? Memang pada keumumannya, “fihi nazhar” itu berkaitan dengan penilaian jarh dari imam al-Bukhari. Pada umumnya jarh ringan. Tapi tidak sesederhana itu. Tidak bisa memutlakan kedha’ifan hadits yang terdapat rawi yang dinilai “fihi nazhar”.

Ungkapan “fihi nazhar” tergantung qarinah-qarinahnya (indikasi-indikasinya). Qarinah ini perlu diteliti dan dikaji. Sayangnya sebagian pihak tergesa-gesa memutlakan kedha’ifan hadits yang di dalamnya ada rawi yang dinilai “fihi nazhar” oleh imam al-Bukhari tanpa memperhatikan qarinah-qarinahnya. Termasuk penilaian para ulama jarh wa ta’dil lainnya ketika menilai rawi yang dikomentari “fihi nazhar”.

Meski ungkapan “fihi nazhar” adalah cela ringan, tetapi masih membuka ruang penelitian. Imam al-Bukhari sendiri adakalanya menolak dan adakalanya menerima rawi yang dinilai “fihi nazhar”. Demikian juga dengan penilaian para ulama hadits lainnya, seperti Yahya bin Ma’in, Abu Hatim, Ibnu Adi, dll., berbeda-beda tergantung rawi yang ditelitinya. Ringkasnya, “fihi nazhar” memberikan peluang kesimpulan mulai dari kadzdzab (pendusta) hingga tsiqah. Sebuah rentang peluang yang sangat lebar.

Paling tidak ada 80 rawi yang dinilai “fihi nazhar” oleh imam al-Bukhari. Ini baru yang ungkapan “fihi nazhar”. Belum lagi yang dinilai “fi isnadihi nazhar, fi haditsihi nazhar, fihi ba’dhu nazhar, dll”. Untuk rawi bernama Habib bin Salim, Maula Nu’man bin Basyir, dalam al-Tarikh al-Kabir (al-Bukhari, 2/2606), al-Dhu’afa’ al-Kabir (al-Uqaili, 2/66) dan al-Kamil fi Dhu’afa al-Rijal (Ibnu Adi, 2/405), imam al-Bukhari menilainya “fihi nazhar”.

Imam Ibu Hatim, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban menilai Habib bin Salim sebagai seorang tsiqah. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani menilai “la ba’sa bihi”. (Lihat al-Jarh wa Ta’dil, 3/102; al-Tsiqat, 4/138; al-Kamil, 2/405; al-Taqrib, 1/151). Imam Muslim menggunakan rawi Habib bin Salim dalam hadits cabang sebagai mutaba’ah. Imam Ahmad dan al-Darimi juga meriwayatkannya.

Meski demikian, imam al-Bukhari menilai shahih riwayat Habib bin Salim, sebagaimana dijumpai dalam ‘Ilal al-Tirmidzi no. 152. Indikasi lainnya, imam al-Bukhari berhujjah dengan perkataan Habib bin Salim dalam biografi Yazid bin Nu’man bin Basyir (Tarikh al-Kabir, 8/365).

Pembahasan ini juga dibahas dalam kitab Muthalahat al-Jarh wa al-Ta’dil wa Tathawwuruha al-Tarikhiy fi al-Turats al-Mathbu’ li al-Imam al-Bukhari ma’a Dirasah Musthalahiyyah li Qaul al-Bukhari (Fihi Nazhar), hlm. 621-644.

Catatan lainnya, bahwa manhaj yang dipegang oleh para ahli hadits dan fuqaha adalah bahwa penilaian dha’if dan shahih suatu hadits tidak selalu disepakati semua ahli hadits dan bersifat mutlak. Bagi fuqaha, penilaian shahih menurut sebagian ahli hadits sudah cukup dapat dijadikan sebagai dalil.

Sebagaimana telah disinggung, bahwa Habib bin Salim al-Anshari adalah salah satu rijal dalam shahih Muslim. Imam Muslim (II/598) meriwayatkan hadits tentang bacaan pada shalat ‘ied dan jum’ah dari al-Nu’man bin Basyir. Artinya, menurut Imam Muslim, Habib bin Salim al-Anshari memenuhi syarat yang telah beliau tetapkan dalam muqaddimah kitab shahihnya. Maka bisa dimengerti mengapa Ibnu Hajar dalam Taqrib al-Tahdzib menyatakan “la ba’sa bihi”.

Adapun tuduhan pada rawi lainnya, seperti Ibrahim bin Dawud al-Wasithi, sungguh telah ditsiqahkan oleh Abu Dawud al-Thayalisi dan Ibnu Hibban. Selain kedua rawi tersebut, adalah para rawi yang tsiqah.

Dengan demikian, tidak benar bahwa hadits bisyarah nabawiyyah akan datangnya khilafah itu dha’if hanya karena sorotan pada rawi bernama Habib bin Salim. Para ulama justru telah menerima periwayatan Habib bin Salim. Adapun ungkapan “fihi nazhar” dari imam al-Bukhari sudah terjawab dalam penjelasan sebelumnya.

Jadi merupakan suatu kesalahan yang fatal kalau menganggap bahwa perjuangan untuk menerapkan hukum Islam melalui khilafah hanya didasarkan pada hadits dha’if. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad tentang akan kembalinya khilafah adalah shahih atau minimal hasan. Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh Syu’aib al-Arna’uth dalam Musnad Ahmad bi Hukm al-Arna’uth, juz 4 No. 18.430 dan dinilai shahih oleh al-Hafizh al-‘Iraqi dalam Mahajjah al-Qurab fi Mahabbah al-‘Arab (2/17).

Sikap yang Benar terhadap Kabar Gembira Kembalinya Khilafah

Sikap yang benar yang harus ditunjukkan seorang mukmin terkait janji kekhilafahan adalah: Pertama, seorang mukmin wajib menyakini sepenuhnya janji akan berkuasaanya kembali umat Islam (QS. Al-Nur: 55), karena Allah SWT pasti menunaikan janji-janji-Nya. (QS. (18):108 dan (73):18). Yakin kepada janji Allah termasuk bagian keimanan; dan siapa saja ingkar atau ragu terhadap janji Allah SWT, keimanannya telah rusak; Kedua, seorang mukmin harus membenarkan kabar gembira dari Rasulullah SAW, sebagaimana yang Rasulullah kabarkan dalam banyak hadits shahihnya; Ketiga, bersungguh-sungguh mewujudkan kabar gembira tersebut dengan rasa optimis sebagai wujud ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Keempat, tidak menunggu kemenangan dengan berpangku tangan, pesimis, atau sekadar menunggu datangnya al-Mahdi.

Pada dasarnya, para ulama dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah menggariskan hal-hal penting berkaitan dengan khilafah islamiyyah: Pertama, mengangkat seorang khalifah untuk menduduki tampuk khilafah Islamiyyah adalah kewajiban. (al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz 6, hlm. 291); Kedua, mengangkat seorang khalifah setelah berakhirnya zaman nubuwwah adalah kewajiban yang paling penting. (al-Haitsami, Shawa’iq al-Muhriqah, juz 1, hlm. 25); Ketiga, Allah SWT telah menjanjikan kekhilafahan kepada kaum mukmin hingga akhir zaman. (al-Syaukani, Fath al-Qadir, Juz 5, hlm. 241); Keempat, menegakkan kekuasaan Islam (khilafah Islamiyyah) termasuk sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT yang paling agung. (Ibnu Taimiyyah, al-Siyasah al-Syar’iyyah, hlm. 161).

Dalam menegakkan khilafah Islamiyyah sebagai kewajiban syariat, sikap yang seharusnya bagi seorang mukmin adalah tunduk, patuh, dan berusaha menunaikan kewajiban itu dengan sebaik-baiknya. Seorang mukmin dilarang mempertanyakan, meragukan, menggugat, atau menghindari kewajiban agung ini dengan alasan apapun. Sebaliknya, ia wajib menerimanya dengan sepenuh keimanan dan ketundukan. Alasannya, kewajiban menegakkan khilafah Islamiyyah sama kedudukannya dengan kewajiban-kewajiban lain, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan lain-lain.

Sedangkan dalam konteks menegakkan khilafah Islamiyyah sebagai kewajiban paling penting dan sarana mendekatkan diri kepada Allah yang paling agung, maka seorang mukmin harus menyibukkan dan memfokuskan dirinya pada kewajiban ini, dan menjadikannya sebagai qadhiyyah al-mashiriyyah (persoalan utama) bagi kaum muslim. Alasannya, khilafah Islamiyyah adalah thariqah syar’iyyah (metode syar’i) untuk menerapkan Islam secara sempurna, sekaligus melangsungkan kepemimpinan kaum muslim di seluruh penjuru dunia.

Sebaliknya, sikap putus asa adalah perkara yang diharamkan. Contoh sikap putus asa adalah tidak peduli, dan cenderung mencemooh pejuang dan perjuangan penegakkan khilafah Islamiyyah. Padahal, sikap putus asa, pesimis, dan mencemooh kewajiban yang dibebankan Allah SWT termasuk perbuatan dosa. Nabi SAW bersabda:

وَثَلاَثَةٌ لاَ تُسْأَلُ عَنْهُمْ: رَجُلٌ نَازَعَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ رِدَاءَهُ فَإِنَّ رِدَاءَهُ الْكِبْرِيَاءُ وَإِزَارَهُ الْعِزَّةُ، وَرَجُلٌ شَكَّ فِي أَمْرِ اللهِ، وَالْقُنُوْطُ مِنْ رَحْمَةِ اللهِ

“Ada tiga golongan manusia yang tidak akan ditanya di hari Kiamat yaitu: manusia yang mencabut selendang Allah; dan sesungguhnya selendang Allah adalah kesombongan dan kainnya adalah al-‘izzah (keperkasaan); manusia yang meragukan perintah Allah; dan manusia yang putus harapan dari rahmat Allah.” (HR. Ahmad, Thabarani, al-Bazar)

Diantara sikap keliru lain yang dikembangkan sebagian kaum muslim adalah mengabaikan perjuangan menegakkan syariah dan Khilafah, dengan alasan menunggu datangnya imam Mahdi. Pemahaman seperti ini tidak tepat, karena menegakkan khilafah Islamiyyah adalah kewajiban syariat. Seorang muslim tidak boleh abai dengan kewajiban ini, atau tidak berupaya memperjuangkannya dengan sungguh-sungguh. Sebab, khilafah Islamiyyah adalah thariqah syar’i untuk menerapkan Islam secara sempurna.

Adapun hadits-hadits yang berbicara tentang turunnya imam Mahdi, sama sekali tidak menafikan kewajiban menegakkan khilafah Islamiyyah atas kaum muslim. Hadits-hadits tersebut juga tidak memerintahkan kaum muslim untuk hanya menunggu datangnya imam Mahdi, dan berdiam diri terhadap kewajiban menegakkan khilafah Islamiyyah.

Penutup

Kaum muslim wajib bersungguh-sungguh menyongsong kabar gembira Rasulullah SAW. Tegaknya khilafah akan mengembalikan kemuliaan dan kehormatan umat Islam. Apa yang terjadi sekarang ini, menggambarkan bahwa kita hidup saat ketiadaan perisai yang menjaga agama dan melindungi umat. Maka perlu ada upaya serius untuk menorehkan kembali sejarah agung peradaban Islam, mengembalikan kehidupan Islam dengan tegaknya al-khilafah ‘ala minhaj al-nubuwwah di muka bumi. Kaum muslim sudah seharusnya bangkit dari keterpurukan, dimana mereka terpuruk di tengah limpahan potensi sumber daya yang ada. Imam Ibn Muflih al-Hanbali (w. 763 H) menuturkan:

كَالْعِيسِ فِي الْبَيْدَاءِ يَقْتُلُهَا الظَّمَا * وَالْمَاءُ فَوْقَ ظُهُورِهَا مَحْمُولُ

“Bagaikan unta di padang pasir yang mati kehausan * Dan air di atas punggungnya tersimpan.” (Ibnu Muflih al-Maqdisi, Al-Adab al-Syar’iyyah, juz III, hlm. 104).

Sumber:

tsaqofah.id

Urgensi Doa dan Zikir Dalam Perjuangan

UUrgensi Doa dan Zikir Dalam Perjuangan

Irfan Abu Naveed, M.Pd.I; (Penulis Buku “InnaLlâha Ma’anâ”)

Hakikat Zikir: Konsisten pada Islam

Tsaqofatuna.id - Doa dan dzikruLlâh tatkala Islam dan pengemban dakwahnya dipersekusi semakin penting. Doa dan zikir bisa menguatkan ma’iyatuLlâh (kebersamaan dengan Allah) dalam setiap langkah perjuangan. Karena itu doa dan zikir harus menghiasi kalbu dan lisan para pejuang sebagai senjata ampuh (silâh al-mu’min) menghadapi berbagai tantangan. Dengan doa yang khusyuk, seseorang mengingat Allah. Dengan dzikruLlâh ia mawas diri menegakkan Islam dalam kehidupan. Sebab konsistensi pada syariah adalah syarat pengabulan doa dari Allah (lihat: QS al-Baqarah [2]: 172 dan 186; QS al-Mu’minun [23]: 51).

Rasulullah saw. menceritakan tentang seseorang yang melakukan perjalanan panjang. Kumal pakaiannya. Ia menengadahkan tangannya ke langit, lalu berdoa. “Yâ Rabb, yâ Rabb.” Namun, makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dipenuhi dengan yang haram. Lalu bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan oleh Allah?” (HR Muslim dan Ahmad).

Al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H) dalam Fath al-Bâri (XI/96) menegaskan bahwa kehalalan makanan dan pakaian merupakan salah satu syarat pengabulan doa. Dengan demikian doa sangat penting bagi seorang Mukmin. DzikruLlâh yang membuahkan sifat wara’ juga sangat menyokong pengabulan doa.

Dengan demikian konsisten pada Islam (akidah dan syariahnya), baik lahiriah maupun batiniahnya, merupakan dzikruLlâh sesungguhnya:

ٱلَّذِينَ يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمٗا وَقُعُودٗا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَٰذَا بَٰطِلٗا سُبۡحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ

(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Tuhan Kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau. Karena itu peliharalah Kami dari siksa neraka.” (QS Ali Imran [3]: 191).

Ketika menafsirkan ayat tersebut, Al-Hafizh Ibn Jarir ath-Thabari (w. 310 H) dalam tafsirnya (VII, hlm. 474) menjelaskan bahwa potongan kalimat alladzîna yadzkurûnaLlâha qiyâm[an] wa qu’ûd[an] merupakan sifat dari ulul albâb yang disebutkan pada ayat sebelumnya. Kalimat tersebut merupakan kiasan (majâz mursal) dari keseluruhan aktivitas manusia. Semua itu tak akan terwujud kecuali jika seseorang berpegang teguh pada akidah dan syariah-Nya.

Banyak dalil yang menjelaskan keutamaan dzikruLlâh. Al-Hafizh Ibn al-Jauzi (w. 597 H) dalam Bahr ad-Dumû’ menuliskan sub-bab berjudul, “Al-Hatsts ’alâ DzikriLlâh” (Anjuran untuk Mengingat Allah). Sub-bab ini memaparkan dalil-dalil al-Quran dan as-Sunnah mengenai anjuran dan keutamaan dzikruLlâh sehingga sudah selayaknya menghiasi kalbu dan lisan para pejuang.

Senjata Ampuh dalam Dakwah

Doa dan zikir adalah senjata ampuh para nabi dan rasul ‘alayhim as-salâm tatkala menghadapi kesulitan dan kezaliman manusia. Allah SWT berfirman menggambarkan pengabulan doa atas Nabi Dzunnun (Yunus as.) ketika di dalam perut ikan paus (lihat: QS al-Anbiya’ [21]: 87-88). Al-Hafizh Ibn Katsir (w. 774 H) dalam tafsirnya (V/368) menjelaskan: yakni jika orang beriman menghadapi berbagai kesulitan, lantas berdoa dan bertobat kembali kepada Allah. Apalagi jika ia berdoa dengan doa ini:

لَّآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنتَ سُبۡحَٰنَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ

Tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, sungguh aku adalah termasuk orang-orang yang zalim (QS al-Anbiya’ [21]: 87).

Tercatat dalam lembaran emas sîrah NabiyuLlâh al-Mushthafa Muhammad saw. dan para sahabatnya, tatkala menghadapi persekusi kaum Kafir Quraisyi, apa yang mereka ucapkan. Mereka mengucapkan kalimat zikir yang mengandung doa:

ٱلَّذِينَ قَالَ لَهُمُ ٱلنَّاسُ إِنَّ ٱلنَّاسَ قَدۡ جَمَعُواْ لَكُمۡ فَٱخۡشَوۡهُمۡ فَزَادَهُمۡ إِيمَٰنٗا وَقَالُواْ حَسۡبُنَا ٱللَّهُ وَنِعۡمَ ٱلۡوَكِيلُ

(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan, “Sungguh manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian. Karena itu takutlah kalian kepada mereka.” Namun, perkataan itu malah menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (QS Ali Imran [3]: 173).

Baginda Rasulullah saw., dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim, secara khusus berdoa untuk para pemimpin utama kafir Quraisyi, dengan uslûb doa: “Allâhumma ’alayka bi Quraysyin (diulang tiga kali).” Lalu beliau menyebutkan sejumlah nama: Abu Jahal bin Hisyam, Utbah bin Rabiah, Syaibah bin Rabiah, al-Walid bin Uqbah, Umayyah bin Khalaf dan Uqbah bin Abi Muith.

Apa yang terjadi kemudian? Pada Perang Badar, mereka yang disebutkan ini mati mengenaskan.

Rasulullah saw. pun banyak berdoa untuk kemenangan kaum Muslim pada Badr al-Kubra. Setelah beliau mempersiapkan para sahabat baik fisik maupun spirit (berjihad dengan al-quwwah al-rûhiyyah), beliau dan kaum Muslim pun memenuhi hukum sebab-akibat untuk meraih kemenangan. Mereka bermusyawarah merumuskan strategi yang tepat, mempersiap-kan senjata dan mengenakan baju besi. Dalam riwayat al-Bukhari digambarkan bahwa Rasulullah saw. pun banyak berdoa kepada Allah di Qubbah-nya:

اللَّهُمَّ إِنِيّ أَنْشُدُكَ عَهْدَكَ وَوَعْدَكَ اللَّهُمَّ إِنْ شِئْتَ لمَ تُعْبَدْ بَعْدَ الْيَوْمِ

Ya Allah, sungguh aku benar-benar memohon kepada-Mu akan perjanjian dan janji-Mu. Ya Allah, jika Engkau menghendaki (kehancuran pasukan Islam ini) maka Engkau tidak akan disembah lagi setelah hari ini.

Lalu Abu Bakar memegangi tangan beliau dan berkata, “Cukup, wahai Rasulullah saw. Sungguh Tuan telah bersungguh-sungguh meminta dengan terus-menerus kepada Rabb Tuan.”

Saat itu mengenakan baju besi, beliau lalu tampil sambil membacakan firman Allah SWT:

سَيُهۡزَمُ ٱلۡجَمۡعُ وَيُوَلُّونَ ٱلدُّبُرَ ٤٥ بَلِ ٱلسَّاعَةُ مَوۡعِدُهُمۡ وَٱلسَّاعَةُ أَدۡهَىٰ وَأَمَرُّ

Kesatuan musuh itu pasti akan diceriberaikan dan mereka akan lari tunggang langgang. Akan tetapi sebenarnya, Hari Kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka (siksaan) dan Hari Kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit (QS al-Qamar [54]: 45-46).

Rasulullah saw. pun sempat berkata, “Abu Bakar, sampaikan kabar gembira ini, bahwa pertolongan Allah telah tiba. Ini Jibril as. sedang memegang tali kekang kuda yang dia tunggangi berada di antara debu-debu.”

Bi idzniLlâh, kaum Muslim yang berjumlah tiga ratus tiga puluh jiwa mampu menceraiberaikan sekitar seribu pasukan kafir Quraisy. Allah mendatangkan pasukan para malaikat yang membantu kaum Muslim memporakporandakan barisan musuh hingga digambarkan Allah seakan-akan kaum kuffâr menyaksikan kaum Muslim dua kali lipat jumlahnya.

Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qa’ah Ji (w. 1435 H) dalam Ru’yah Siyâsiyyah li as-Sîrah an-Nabwiyyah (hlm. 134) menukil pendapat para ulama bahwa para malaikat tak ikut berperang secara langsung membantu kaum Muslim dalam peperangan selain Perang Badar al-Kubra. Mahabenar Allah Yang berfirman dalam QS Ali Imran [3]: 13 hingga sampai pada ayat:

وَٱللَّهُ يُؤَيِّدُ بِنَصۡرِهِۦ مَن يَشَآءُۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَعِبۡرَةٗ لِّأُوْلِي ٱلۡأَبۡصَٰرِ

Allah menguatkan dengan pertolongan-Nya siapa yang Dia kehendaki. Sungguh pada yang demikian terdapat pelajaran bagi kaum yang mempunyai mata hati (QS Ali Imrân [3]: 13).

Dengan demikian mudah bagi Allah untuk memenangkan hamba-hamba-Nya yang beriman atas kaum kuffâr dan sekutunya, AlLâh al-Musta’ân. Ketika pertolongan itu tiba maka tiada makhluk-Nya yang mampu menghadang-nya:

إِن يَنصُرۡكُمُ ٱللَّهُ فَلَا غَالِبَ لَكُمۡۖ

Jika Allah menolong kalian maka tak ada seorang pun yang dapat mengalahkan ka lian (QS Ali Imran [3]: 160).

اللَّهُمَّ امْنُنْ عَلَيْنَا بِنَصْرٍ عَزِيْزٍ مُؤَزَّرٍ مِنْ عِنْدِك، يُعَزُّ فِيْهِ أَوْلِيَاؤُك، وَيُذَلُّ فِيْهِ أَعْدَاؤُك، وَيُفْرَحُ المؤْمِنُونَ بِنَصْرِك، يا ناصر المؤمنين، يأ أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ، يا ربَّ العَالَمِينَ

Tolak Usulan BNPT Untuk Mengontrol Rumah-Rumah Ibadah

Tolak Usulan BNPT Untuk Mengontrol Rumah-Rumah Ibadah

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Pakar Fiqih Mu’amalah & Kontemporer

Pengantar

Tsaqofatuna.id - Kepala BNPT Rycko Amelza Dahniel dalam rapat dengan Komisi III DPR, pada hari Senin (4/9/2023), mewacanakan pengontrolan terhadap rumah ibadah oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Wacana tersebut konon ditujukan untuk mencegah potensi radikalisme dan mencegah promosi kebencian di tempat-tempat ibadah termasuk masjid.

Kepala BNPT menyampaikan wacana tersebut ketika menanggapi pernyataan anggota DPR Komisi III Fraksi PDIP, Safaruddin, yang awalnya mengulas soal karyawan BUMN, yakni PT KAI, yang terpapar paham radikalisme. Safarudin lalu menyampaikan pengamatannya bahwa ada masjid BUMN di Kalimantan Timur yang selalu mengkritik pemerintah. (detik.com, 6/09/2023).

Bagaimanakah umat Islam menyikapi wacana BNPT tersebut? Bolehkah ada kegiatan mematai-matai (spying, al-tajassus) masjid dengan dalih untuk mencegah radikalisme dan terorisme?

Haram Memata-Matai Masjid

Haram hukumnya memata-matai masjid dengan dalih pencegahan atau penanggulangan radikalisme atau terorisme, dengan 5 (lima) alasan sebagai berikut :

Pertama, rencana tersebut didasarkan pada persangkaan buruk atau kecurigaan terhadap Islam, khususnya terhadap ajaran Islam yang bernama “Khilafah” yang dianggap buruk dan berbahaya.

Padahal Khilafah itu secara normatif nyata-nyata adalah ajaran Islam, karena Khilafah secara nyata telah dipraktikkan oleh Khulafa’ur Rasyidin, yang sekedar melanjutkan sistem pemerintahan Islam yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Khilafah pun telah dinyatakan sebagai kewajiban syariah oleh para ulama secara konsensus (ijma’), tidak ada khilafiyah mengenai wajibnya Khilafah ini. Syekh Abdurrahaman Al-Juzairi berkata :

اتَّفَقَ الْأَئِمَّةُ رَحِمَهُمُ اللَّهُ تَعَالَى عَلَى أَنَّ الْإِمَامَةَ (أَيْ الْخِلافَةَ) فَرْضٌ

“Telah sepakat para imam (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad), rahimahulullahu ta’ala, bahwa Imamah (Khilafah) itu fardhu (wajib) hukumnya.” (‘Abdurrahaman Al-Juzairi, Al-Fiqh ‘Ala Al-Mazhāhib Al-Arba’ah, 5/366).

Khilafah secara historis juga sudah menjadi sejarah yang berumur sangat panjang di tengah umat Islam, sejak 632 M ketika Abu Bakar Shiddiq menjadi Khalifah pertama, hingga Khalifah terakhir dalam Khilafah Utsmaniyyah, yaitu Sultan Abdul Majid II, pada tahun 1924. (‘Abdul Qadim Zallum, Kayfa Hudimat Al-Khilāfah, hlm. 97).

Jadi, Khilafah itu memang sungguh adalah ajaran Islam. Hanya saja, Khilafah memang akhirnya dicitrakan buruk sekali oleh Barat di bawah pimpinan Amerika Serikat. Berbagai lontaran pejabat dan media AS sering menyebarkan Islamophobia terhadap Khilafah melalui istilah-istilah “radikalisme”, “terorisme”, dsb, yang dilekatkan dengan Khilafah. Khilafah dikaitkan dengan kelompok-kelompok yang melakukan kekerasan seperti Al-Qaeda atau ISIS, padahal ada gerakan Islam (harakah Islamiyah) yang tidak melakukan kekerasan untuk memperjuangkan Khilafah. Sebagai contoh, perhatikan pidato George W. Bush yang memberi predikat “radikal” kepada “imperium Islam radikal” (baca : “Khilafah”) dalam pidatonya pada tahun 2005 :

“The militants believe that controlling one country will rally the Muslim masses, enabling them to overthrow all moderate governments in the region and establish a radical Islamic empire that spans from Spain to Indonesia.”

(Para militan percaya bahwa mengendalikan satu negara akan dapat menggalang satu massa kaum Muslimin, yang memungkinkan mereka untuk mengenyahkan semua pemerintahan moderat di kawasan itu dan mendirikan Imperium Islam yang radikal, yang membentang dari Spanyol ke Indonesia”. (http://news.bbc.co.uk/2/hi/americas/4316698.stm diakses 12/09/2023).

Akhirnya tersebarlah kecurigaan atau prasangka buruk (su’uzh zhonn) terhadap Khilafah ini, yang akhirnya disebut sebagai paham radikalisme, terorisme, dsb, yang hakikatnya predikat-predikat buruk itu sebenarnya adalah tuduhan-tuduhan dari kaum kafir penjajah, seperti Amerika Serikat.

Padahal, tidak boleh seorang muslim mempunyai persangkaan buruk (su’uzh zhonn) terhadap Khilafah, yang sebenarnya ajaran agamanya sendiri, tapi diputarbalikkan dan dimanipulasi hakikatnya oleh kaum kafir penjajah seperti Amerika Serikat. Kalau tidak tahu Khilafah, bertanyalah kepada ulama yang mengerti Khilafah, jangan mengimpor kebencian dan persangkaan buruk (su’uzh zhonn) terhadap Khilafah dari kaum kafir penjajah. Firman Allah SWT :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan persangkaan (kecurigaan), karena sebagian dari persangkaan (kecurigaan) itu dosa. ” (QS Al-Hujurat : 12).

Kedua, karena memata-matai umat Islam itu sendiri adalah sesuatu yang sudah diharamkan dalam Islam. Haram hukumnya bagi muslim, melakukan perbuatan memata-matai sesama umat Islam. Perbuatan mata-mata ini, disebut dengan istilah al-tajassus, yang didefisnisikan sebagai al-tafahhushu ‘an al-akhbar (اَلتَّفَحُّصُ عَنِ اْلأخْبَارِ), yaitu perbuatan untuk mencari-cari atau mendalami suatu informasi di kalangan sesama umat Islam. (Rawwas Qa’lah Jie, Mu’jam Lughat Al-Fuqahā`, hlm. 100; Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, Juz II, hlm. 204, Bab “Al-Tajassus”).

Perbuatan al-tajassus ini, jelas dilarang oleh Allah SWT :

وَّلَا تَجَسَّسُوْا

“Janganlah kamu mencari-cari berita (melakukan kegiatan mata-mata).” (QS Al-Hujurat : 12)

Jelaslah, bahwa rencana kegiatan mematai-matai (spying, al-tajassus) masjid dengan dalih mencegah radikalisme atau terorisme untuk memata-matai masjid, adalah haram hukumnya bagi umat Islam. Jadi sudahlah kegiatan mata-matanya itu sendiri haram, apalagi kegiatan mata-mata itu didasarkan pada persangkaan buruk (su’uzh zhonn) yang diimpor dari Amerika Serikat yang kafir.

Ketiga, karena kegiatan memata-matai masjid dengan alasan radikalisme atau terorisme, hanya mengikuti agenda politik Barat yang seringkali mencurigai ajaran Khilafah yang dikait-kaitkan dengan istilah “radikalisme”, “terorisme”.

Padahal perbuatan sebagian umat Islam yang mengikuti agenda Barat dalam memerangi apa yang disebut radikalisme atau terorisme, hakikatnya termasuk perbuatan tasyabbuh bil kuffār (menyerupai kaum kafir) yang sudah diharamkan dalam Islam. Nabi SAW telah bersabda :

مَن تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa menyerupai (meniru-niru) suatu kaum, maka dia termasuk ke dalam golongan mereka.” (HR. Abu Dawud).

Keempat, sesungguhnya rencana untuk memata-matai masjid, merupakan bentuk kerjasama dengan Barat (khususnya AS) untuk melawan ajaran Islam dan membahayakan kaum muslimin.

Padahal Islam telah mengharamkan umatnya untuk melakukan al-muwālāh/al-walā’, yaitu bersikap loyal dan taat kepada kaum kafir, yang dapat menimbulkan mudharat bagi Islam dan kaum muslimin. Banyak ayat dalam Al-Qur`an yang telah melarang umat Islam untuk melakukan al-muwālāh/al-walā’ kepada kaum kafir tersebut. Firman Allah SWT :

لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُوْنَ الْكٰفِرِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ مِنْ دُوْنِ الْمُؤْمِنِيْنَۚ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللّٰهِ فِيْ شَيْءٍ اِلَّآ اَنْ تَتَّقُوْا مِنْهُمْ تُقٰىةً ۗ وَيُحَذِّرُكُمُ اللّٰهُ نَفْسَهٗ ۗ وَاِلَى اللّٰهِ الْمَصِيْرُ

“Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai walinya (pemimpin, teman setia, dsb), dengan meninggalkan orang-orang beriman. Barang siapa berbuat demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apa pun dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu akan diri (siksa)-Nya, dan hanya kepada Allah tempat kembali.” (QS Ali ‘Imran : 28)

Firman Allah SWT :

يـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا لَا تَتَّخِذُوا الۡيَهُوۡدَ وَالنَّصٰرٰۤى اَوۡلِيَآءَ ‌ؔ بَعۡضُهُمۡ اَوۡلِيَآءُ بَعۡضٍ‌ؕ وَمَنۡ يَّتَوَلَّهُمۡ مِّنۡكُمۡ فَاِنَّهٗ مِنۡهُمۡ‌ؕ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهۡدِى الۡقَوۡمَ الظّٰلِمِيۡنَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia(mu) [wali, pelindung atau pemimpin]; mereka satu sama lain saling melindungi. Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia [wali, pelindung atau pemimpin], maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (QS Al-Maidah : 51).

Kelima, sesungguhnya rencana untuk memata-matai masjid, jika benar diwujudkan, sungguh akan dapat menimbulkan berbagai konflik sosial yang mengerikan yang sangat tidak kita inginkan, baik konflik vertikal antara umat Islam dengan penguasa, maupun konflik horizontal antara umat yang mendukung penguasa dengan umat yang menentang penguasa. Pengalaman buruk pada zaman Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi, ketika rezim-rezim sekuler yang berkuasa mengambil sikap permusuhan, konfrontatif, dan represif terhadap umat Islam, adalah pelajaran berharga mengenai air mata, harta, darah, dan nyawa, yang perlu untuk diingat hari ini, namun tidak untuk diulangi lagi di masa kini dan masa depan.

Berbagai konflik sosial itu sungguh merupakan bahaya (mudharat, dharar) yang wajib hukumnya untuk kita hilangkan atau kita cegah. Sabda Rasulullah SAW :

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

“Tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri (dharar) dan juga bahaya bagi orang lain (dhirār). “ (HR Ahmad, Ibnu Majah).

Kesimpulan

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa perbuatan muslim yang melakukan kegiatan mata-mata (spying, tal-tajassus), termasuk memata-matai masjid atas nama program anti radikalisme atau anti terorisme, adalah haram hukumnya dalam Syariah Islam.

Maka dari itu, sikap umat Islam sesungguhnya sudah sangat jelas, yakni wacana, atau rencana, atau usulan, atau apa pun namanya, untuk melakukan pengontrolan terhadap rumah ibadah, padahal maksudnya adalah pengawasan masjid secara khusus, oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), wajib ditolak mentah-mentah secara tegas tanpa kompromi dan tanpa negosiasi.

Yogyakarta, 12 September 2023

Muhammad Shiddiq Al-Jawi

Sumber:

shiddiqaljawi.com

Industri di Daulah Khilafah Wajib Dibangun di atas Asas Politik Perang

Industri di Daulah Khilafah Wajib Dibangun di atas Asas Politik Perang

Soal:

Tsaqofatuna.id - Assalamu’alaikum wa rahmatullah barakatuhu.

Syaikhuna al-fadhil, Atha’ al-khair, semoga Allah memberi Anda umur panjang dan menguatkan langkah Anda.

Apa makna “industri dengan jenis-jenisnya di atas asas politik perang” Misal apa yang dinyatakan di buku Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fî al-Hukmi wa al-Idârah, “... dan industri dengan jenis-jenisnya wajib dibangun di atas asas politik perang”.

Adakah contoh atas hal itu?

Semoga Allah melimpahkan keberkahan kepada Anda amiruna dan mendukung Anda dengan tentaranya dan pertolongannya dan memberikan kemenangan kepada Umat Islam melalui tangan Anda.

Jawab:

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Jawaban atas pertanyaan Anda ada di buku Ajhizah halaman 108 file word dan demikian juga di buku Muqaddimah ad-Dustûrjuz i halaam 132 file word. Saya kutipkan apa yang ada tentang ini:

[Dan karena Daulah Islamiyah merupakan negara yang mengemban dakwah islamiyah melalui metode dakwah dan jihad, maka negara terus menerus siap untuk melakukan jihad. Dan ini menuntut industri di negara, industri berat atau ringan, dibangun di atas asas politik perang, sehingga jika diperlukan untuk mengubahnya ke industri yang menghasilkan industri perang dengan jenis-jenisnya maka mudah bagi negara melakukan hal itu kapan saja diinginkan. Oleh karena itu semua industri di Daulah al-Khilafah wajib dibangun di atas asas politik perang, dan semua pabrik baik yang menghasilkan industri berat atau menghasilkan industri ringan, dibangun di atas asas politik ini, untuk memudahkan pengalihan produksinya ke produksi perang kapan saja negara memerlukan hal itu] selesai.

Yakni bahwa semua pabrik di Daulah al-Khilafah harus dibuat ke arah yang sedemikian rupa memungkinkan roda produksinya dapat dengan mudah dialihkan untuk menghasilkan produk-produk yang berkaitan dengan aspek militer yang tidak diproduksinya dalam kondisi normal. Misalnya jika ada pabrik kendaraan sipil maka harus dibangun sedemikian rupa yang memungkinkan dari aspek teknis dan praktis untuk mengalihkan roda produksi di situ untuk membuat kendaraan militer yang digunakan oleh negara dalam perang melawan orang-orang kafir ...

Misalnya, jika ada pabrik pakaian, maka harus dibuat sedemikian rupa yang memungkinkan produksinya dapat dengan mudah dialihkan menjadi pembuatan pakaian militer... Begitulah, kebijakan (politik) pembangunan pabrik didasarkan pada politik perang dalam hal roda produksi, dan bangunan pabrik, dan dalam kemungkinan mencegah pemogokan di dalamnya, dan dalam kemungkinan bekerja di dalamnya di gedung bawah tanah ... dll., di antara hal-hal yang ditentukan oleh para ahli dan diseupervisi oleh negara.

Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

15 Muharram 1445 H

02 Agustsu 2023 M

3 Nasehat Da’i Muda Probolinggo Untuk Mempersipkan Datangnya Nasrullah

3 Nasehat Da’i Muda Probolinggo Untuk Mempersipkan Datangnya Nasrullah

Tsaqofatuna.id-Mempersiapkan akan datanagnya Nasrullah (pertolongan Allah SWT) di akhir zaman ini berupa Khilafah Ar Rosyidah Ala Minhaji Nubuwah, Da’i Muda Probolinggo Ustaz Abu Ibrohim memberikan tiga nasehat untuk menyambutnya.

“Kita menyiapkan diri menyambut datangnya Nasrullah atau menyambut tegaknya kembali Daulah Khilafah Ala Ar Rosyidah Ala Minhaji Nubuwah,” ujarnya dalam acara Multaqo Ulama Aswaja Probolinggo: Kemerdekaan Yang Hakiki, Dengan Demokrasi Atau Khilafah, Selasa (29/8/2023), di Kanal YouTube NgajiPro ID.

Pertama, ia menjelaskan, ketaatan dan kepasrahan terhadap syari’at Allah SWT, menjahui semua yang dilarang dan mentaati semua yang diperintahkan Nya dan RasulNya.

“Lihat Quran surat Al-A'raf ayat 96:

وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ

Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan,” jelasnya.

Kedua, lanjutnya, wajib menjaga ukhuwah islamiyah, bersatu berjam’ah dalam satu ikatan akidah Islam, tidak terpecah belah.

“Lihat surat Al-Imran ayat 103:

وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْ

Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai,” tambahnya.

Ia juga menjelaskan, ketiga, melarang untuk menjadikan orang Kafir sebagai teman, apalagi sebgai idola dalam hidupnya.

“Kita lihat Quran Surah Al-Ma'idah ayat 51:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُوْدَ وَالنَّصٰرٰٓى اَوْلِيَاۤءَ ۘ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۗ وَمَنْ يَّتَوَلَّهُمْ مِّنْكُمْ فَاِنَّهٗ مِنْهُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia(mu); mereka satu sama lain saling melindungi. Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. Maka tiga nasihat ini, perlu kita lakukan dalam kehidupan kita sehari-hari, sehingga berharap Nasrullah segera datang pada kita, amin ya robbal alamin,” pungkasnya. []Lukman Indra Bayu

Gus Tuhu: Bergabunglah Dalam Jama’ah Yang Menyerukan Kepada Islam Kaffah!

Ustadz Labib: Sebuah Kezaliman Menjamu Israel yang Memerangi Palestina

Tsaqofatuna.id-Pengasuh Majelis Taklim Al Mustamir Kraksan Probolinggo Gus Tuhu mengajak kepada Umat untuk bergabung ke dalam jama’ah, kelompok atau partai yang menyerukan kepada Islam kaffah melakukan aktivitas amar ma'ruf nahi mungkar.

“Maka kalau ketemu kelompok yang menyeru itu maka bergabunglah! Marilah menjadi bagian dari Jama’ah, kelompok, partai yang menyeru kepada Islam kaffah, melakukan aktivitas amar ma'ruf nahi mungkar, sampai kemudian Allah SWT menurunkan pertolongannya,” serunya dalam acara Multaqo Ulama Aswaja Probolinggo: Kemerdekaan Yang Hakiki, Dengan Demokrasi Atau Khilafah, Selasa (29/8/2023), di Kanal YouTube NgajiPro ID.

“Bukan Islam campuran, Islam liberal, Islam sosialis bukan Islam nusantara, tetapi Islam Islam yang diwariskan oleh Nabi, Islam yang dipegang oleh para sahabat, Islam yang sampai ke tabiin, Islam yang sampai kepada kita. Siapapun yang diberi nikmat kemampuan oleh Allah, wajib bergabung bersatu dalam aqidah Islam,” tambahnya.

Nasrullah (pertolongan Allah SWT) tidak turun dengan senidirinya, ia menjelaskan, harus ada yang mengusahakan, mengupayakan nya. Tidak akan berubah keadaan suatu kaum samppai kaum itu sendiri merubahnya “ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (Surah Ar-Ra'd, Ayat 11).

“Berarti harus ada upaya, maka sungguh tepat ketika Allah memerintahkan di antara Umat ini harus ada satu golongan

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.( Surat Ali 'Imran Ayat 104),” jelasnya.

Lanjutnya, ketika di tengah-tengah Umat itu hadir satu jam’ah, satu kelompok, satu komunitas yang terus-menerus menyuruh Islam, terus-menerus melakukan aktivitas Amar ma'ruf, maka InsyaAllah Nasrullah itu seperti gayung bersambut.

“Apakah hari ini sudah ada segolongan umat itu yang menyuruh kepada Islam kaffah? Tentu jawabannya sudah ada,” lanjutnya.

Ia mengambarkan, pertolongan Allah segera hadir dengan tanda-tanda kebinasaan, kehancuran sistem Kapitalis Demokrasi dari penerapan libralisme nya yang melapaui batas. Dengan kebangkitan Umat cahaya Islam akan bersinar kembali.

“Namun sekali lagi, harus dibarengi dengan usaha dari umat untuk menyongsong Nasrullah itu,” tutupnya. [] Lukman Indra Bayu

Wajibnya Belajar Bahasa Arab

Ustadz Labib: Sebuah Kezaliman Menjamu Israel yang Memerangi Palestina

Tsaqofatuna.id-Di antara kewajiban seorang Muslim adalah mempelajari dan memahami Al Qur'an sebagai kitab yang Allah turunkan kepada Umat ini, yang di dalamnya terdapat petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.

Allah SWT menurunkan Al Qur'an dengan bahasa yang sangat fasih dan dengan bahasa terbaik yaitu dengan bahasa arab, sebagai firman Nya :

اِنَّا اَنْزَلْنٰهُ قُرْاٰنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ

"Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al Qur'an) dengan bahasa arab, agar kalian berfikir".(Q.S. Yusuf : 2)

Di ayat yang lain Allah menegaskan:

وَهٰذَا كِتٰبٌ مُّصَدِّقٌ لِّسَانًا عَرَبِيًّا لِّيُنْذِرَ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا ۖوَبُشْرٰى لِلْمُحْسِنِيْنََ

.

"Dan inilah kitab (Al Qur'an) yang membenarkan (kitab sebelumnya) dengan bahasa arab untuk memberikan peringatan kepada orang-orang yang berbuat dzolim dan sebagai kabar gembira bagi orang-orang yang berbuat baik".(Q.S. Al Ahqof : 12)

Pada dua ayat di atas dengan sangat jelas Allah SWT menyebutkan bahasa Al Qur'an adalah bahasa arab, ketika Allah menurunkan kitab terbaiknya dengan menggunakan bahasa arab maka hal itu memberikan pemahaman bagi kita bahwasanya bahasa arab adalah bahasa terbaik yang Allah pilih untuk digunakan sebagai bahasa Al Qur'an.

Di berbagai surat dan banyak ayat dijelaskan petunjuk dan jalan yang mengantarkan manusia pada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Tentu akan sulit bahkan bisa dikatakan mustahil memahami Al Qur'an dengan benar untuk mendapatkan petunjuk dan menggali hukum yang terkandung di dalamnya tanpa dibekali dengan pemahaman bahasa yang digunakan oleh Al Qur'an. Oleh karena itu mempelajari bahasa arab yang merupakan bahasa Al Qur'an adalah wajib bagi kaum muslimin

Sebagaimana kaidah yang mengatakan:

ما لا يتمّ الواجب الا به فهو واجب

.

"Suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu hal, maka sesutu hal tersebut adalah wajib."

Kewajiban memahami Al Qur'an tidak bisa kita dapatkan kecuali dengan memahami bahasa arab maka memahami dan belajar bahasa arab hukumnya wajib.

Sehingga Imam Asy Syafi'i mengatakan:

يَجِبُ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ أَنْ يَتَعَلَّمَ مِنْ لِسَانِ العَرَبِ مَا يَبْلُغُ جُهْدَهُ فِي أَدَاءِ فَرْضِهِ

“Wajib bagi setiap muslim untuk mempelajari bahasa Arab dengan sekuat tenaga agar bisa menjalankan yang wajib.”

Umar bin Khattab juga mengatakan :

تعلموا العربية فإنها من دينكم

“Pelajarilah bahasa Arab, sesungguhnya ia bagian dari agama kalian,”

Maka pelajarilah bahasa arab sebagai bagian dari kewajiban kita dan kunci keberhasilan dari belajar adalah SABAR.

Wallahu a'lam bis showab.

Multaqo Ulama Aswaja Probolinggo 1445 H: Kemerdekaan Hakiki Belum Teraih

Ustadz Labib: Sebuah Kezaliman Menjamu Israel yang Memerangi Palestina

Tsaqofatuna.id- Menyelenggarakan Multaqo Ulama Aswaja Tapal Kuda Probolinggo 1445 H untuk menyikapi euforia menyambut HUT Kemerdekaan RI ke -78, Shohibul Hajah Kiai Mas Ikhwan Affandi menyampakan bahwa kemerdekaan hakiki belum teraih.

“Tapi pada hakikatnya kemerdekaan hakiki itu belumlah kita raih,” ujarnya dalam acara Multaqo Ulama Aswaja Probolinggo: Kemerdekaan Yang Hakiki, Dengan Demokrasi Atau Khilafah, Selasa (29/8/2023), di Kanal YouTube NgajiPro ID.

Karena menurutnya, kemerdekaan sekarang ini hanya terlepas dari penjajahan secara fisik saja sejak proklamasi kemerdekaan 1945, tetapi penjajahan secara pemikiran, ekonomi, ideologi masih berlangsung.

“Karena walaupun sudah terlepas dari penjajahan fisik tapi pemikiran-pemikiran kita masih terbelenggu dengan pemikiran-pemikiran Barat, secara ekonomi kita pun masih terbelenggu dengan sistem kapitalistik yang mengatasnamakan demokrasi,” jelasnya.

Hal yang senanda diutarakan oleh Kiai Abdul Muiz Pengasuh Majelis Taklim Al Hidayah Lumajang dengan mungutip pendapat Musthafa bin Muhammad Salim al-Ghaliyini dalam kitab Idhatun Nasyi’in bahwa kemerdekaan hakiki secara induvidu yaitu pendidikannya dari Islam, jiwa bersih, berpegang tegung dengan amalan-amalan baik dan terbebas dari penghambaan selalin hanya kepada Allah SWT.

“Kalau kita kiaskan kepada negara yang kita cintai ini, sudahkah negara ini terbebas dari belenggu-belengg oleh negara luar?” tanyanya.

Pengasuh Majelis Taklim Al Furqon Probolinggo Ustaz Ishaq salah satu Ulama yang datang menyampaikan, kemerdekaan yang diraih tidak lepas dari revolusi jihad para Kiai dan Santri kala itu. Tetapi makna jihad sekarang dibelokan ke arah yang negatif, disamakan dengan terorisme.

“Seringkali dimaknai dengan istilah yang negatif, sehingga digiring maknanya kepada teroris, padahal teroris itu sangat beda sangat jauh konteksnya dengan Islam,” ungkapnya.

Sementara itu, Ustaz Haris Abu Wasil Pengasuh Majelis Taklim Nurul Islam Lumajang menambahkan bahwa jihad fisabilillah untuk melakukan futuhat yaitu pembebasan, pembukaan negeri-negeri dari penghambaan terhadap makluk Nya menuju menyembah hanya kepada Allah SWT, berbeda dengan penjajahan dalam Demokrasi.

“Di situ diterapkan hukum-hukum Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan rahmat Allah turun,” tambahnya.

Maka daripada itu, Da’i Muda Probolinggo Ustaz Yuniar menjelaskan dalam surat al-A’raf ayat 86, Negara ini agar selalu berkah dan mendapatkan pertolongan Allah SWT berupa datangnya Khilafah ala Minhaji Nubuwah maka harus menjahui semua yang dilarang dan mentaati yang diperitahkan Allah SWT.

“Yang kedua, yang wajib kita lakukan adalah menjaga ukhuwah bersatu berjemaah dalam satu ikatan akidah Islam dan tidak terpecah belah lihat surat al-imran 103:

وَاعۡتَصِمُوۡا بِحَبۡلِ اللّٰهِ جَمِيۡعًا وَّلَا تَفَرَّقُوۡا

dan yang terakhir adalah jangan menjadikan orang kafir sebagai teman sebagai idola bagi kita lihat Quran ayat 10 ayat 51,” terangnya.

Begitu juga, Gus Tuhu Pengasuh Majelis Taklim Al Mustamir Kraksan Probolinggo menyerukan mengajak semua masyarakat untuk ikut bergabung mejadi

bagian jamaah, hizbun dari partai yang meyerukan kepada Islam, amar ma'ruf nahi mungkar agar Allah segera menurunkan pertolongan Nya.

“Sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat. Yakinlah! Allah tidak akan pernah menyalahi janjinya, dalam surah an-nur ayat 55:

وَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى الْاَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْۖ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِيْنَهُمُ الَّذِى ارْتَضٰى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِّنْۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ اَمْنًاۗ

jadi tidak ada keraguan lagi bagi kita orang beriman untuk menyongsong pertolongann Allah SWT,” pungkasnya.[] Lukman Indra Bayu

Hukuman Mati Pertama di Dunia untuk Postingan di Media Sosial

Hukuman Mati Pertama di Dunia untuk Postingan di Media Sosial

Tsaqofatuna.id Pada tanggal 10 Juli 2023, Pengadilan Kriminal Khusus, pengadilan kontraterorisme Arab Saudi, memvonis Muhammad al-Ghamdi, 54, seorang pensiunan guru Saudi, atas beberapa pelanggaran pidana yang hanya terkait dengan ekspresi damainya secara online. Pengadilan menjatuhkan hukuman mati padanya, menggunakan tweet, retweet, dan aktivitas YouTube-nya sebagai bukti yang memberatkannya. Keputusan tersebut mungkin merupakan hukuman mati pertama bagi postingan di media sosial.

Menurut dokumen pengadilan, dakwaan yang dikenakan terhadap pensiunan guru tersebut termasuk “mengkhianati agamanya,” “mengganggu keamanan masyarakat,” “berkonspirasi melawan pemerintah,” “menyalahkan kerajaan dan putra mahkota” dan menyebarkan berita palsu “dengan tujuan melakukan kejahatan teroris”.

Saudara laki-laki Muhammad, Saied al-Ghamdi, men-tweet bahwa hukuman yang dijatuhkan kepada saudaranya mungkin merupakan upaya “untuk membuat saya kesal secara pribadi setelah upaya yang gagal untuk mengembalikan saya ke negara ini”. Saied, seorang cendekiawan Islam, tinggal di pengasingan di London dan dicari oleh otoritas Saudi.

Arab Saudi telah menggunakan penangkapan anggota keluarga di masa lalu sebagai cara untuk menekan mereka yang berada di luar negeri agar kembali ke negaranya, kata para aktivis dan mereka yang menjadi sasaran di masa lalu.

Hukuman tersebut langsung menuai kritik dari kelompok hak asasi internasional. “Penindasan di Arab Saudi telah mencapai tahap baru yang mengerikan ketika pengadilan dapat menjatuhkan hukuman mati hanya untuk tweet yang bersifat damai,” kata Joey Shea, peneliti di Human Rights Watch.

Arab Saudi adalah salah satu negara yang paling banyak melakukan eksekusi hukuman mati di dunia, setelah Tiongkok dan Iran pada tahun 2022, menurut Amnesty International.

Jumlah orang yang dieksekusi di Arab Saudi tahun lalu – 196 narapidana – merupakan jumlah tertinggi yang dicatat oleh Amnesty dalam 30 tahun terakhir. Dalam satu hari saja pada bulan Maret lalu, kerajaan tersebut mengeksekusi 81 orang, eksekusi massal terbesar yang diketahui dilakukan di kerajaan tersebut dalam sejarah modernnya.

Namun, kasus al-Ghamdi tampaknya menjadi kasus pertama dalam tindakan keras yang menerapkan hukuman mati terhadap seseorang karena perilaku online mereka di media sosial. [] Muhammad Bajuri

DUTA DALAM ISLAM

DUTA DALAM ISLAM

Tsaqofatuna.id Soal: Assalamu ’alaikum wa rahmatullah barakatuhu. Saya memohon kepada Allah agar menguatkan Anda dan memberi Anda kesehatan selalu dan umur panjang dan mengizinkan Anda menyaksikan kembalinya al-Khilafah dan memimpin kami, amin.

Saya punya pertanyaan terkait draft Konstitusi Hizb. Pada Pasal 7 ayat e dinyatakan: “Negara akan melaksanakan hukum-hukum syariah dan semua perkara syariah, seperti muamalah, sanksi, kesaksian, sistem pemerintahan, sistem ekonomi dan lainnya terhadap Muslim dan non Muslim. Negara juga akan menerapkannya secara sama terhadap semua orang mu’ahad dan musta’min serta semua orang yang hidup di bawah kekuasaan Islam sebagaimana diterapkan terhadap seluruh rakyat, kecuali duta, konsul dan semisalnya karena mereka memiliki kekebalan diplomatik”.

Pertanyaan saya tentang point terkait duta. Realitanya, kadang ada duta yang bersifat temporer yang hanya tinggal sementara waktu kemudian kembali ke negara mereka dan ada duta permanen yang tinggal di dalam wilayah al-Khilafah secara permanen. Apakah pasal ini berlaku terhadap kedua tipe duta tersebut?

Juga, jika salah seorang dari duta itu melakukan tindakan kriminal atau melakukan tindakan ilegal di luar wewenangnya sebagai duta, apakah dia akan diadili dan dihukum oleh al-Khilafah? Atau duta yang temporer dan duta permanen diperlakukan berbeda dalam masalah ini?

Semoga Allah memberi Anda balasan yang lebih baik. Dari Syaifuddin Abdullah

Jawab:
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu. Semoga Allah melimpahkan keberkahan kepada Anda atas doa Anda yang baik untuk kami, dan kami mendoakan kebaikan untuk Anda.

1- Berkaitan dengan pertanyaan Anda seputar duta permanen dan dua temporer, maka tidak ada perbedaan dari aspek syar’iy di antara keduanya. Selama seseorang itu berlaku atasnya madlul kata rasûl (duta) maka dia memiliki kekebalan diplomatik selama dia tinggal di daulah al-Khilafah tanpa ada perbedaan ... Dahulu pada zaman Nabi saw, para sahabat dan era berikutnya, belum ada duta permanen yang berdiam terus menerus, tetapi yang ada adalah duta-duta yang mereka itu diutus untuk menyampaikan pesan kemudian kembali ke negeri mereka, yakni mereka menurut ungkapan Anda adalah duta temporer ...

Kemudian muncullah duta permanen dan duta-duta di dunia akibat kompleksnya hubungan dan perlunya komunikasi kontinyu di antara negara-negara serta adanya rakyat negaranya duta itu, sehingga jadilah negara-negara itu menerima dibukanya kedutaan-kedutaan permanen milik negara-negara lain di dalam wilayahnya dan menerima digunakannya duta permanen yang bermukim di negara-negara itu ... Adapun sebelum itu maka dua atau utusan itu pergi sekali untuk menunaikan misi tertentu ... Dan inilah yang dipahami dari hadis yang mulia terkait utusan. Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra., ia berkata:
«جَاءَ ابْنُ النَّوَّاحَةِ وَابْنُ أُثَالٍ، رَسُولاَ مُسَيْلِمَةَ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ، فَقَالَ لَهُمَا: أَتَشْهَدَانِ أَنِّي رَسُولُ اللَّهِ؟ قَالاَ: نَشْهَدُ أَنَّ مُسَيْلِمَةَ رَسُولُ اللَّهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: آمَنْتُ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ، لَوْ كُنْتُ قَاتِلاً رَسُولاً لَقَتَلْتُكُمَا، قَالَ عَبْدُ اللَّهِ: قَالَ: فَمَضَتِ السُّنَّةُ أَنَّ الرُّسُلَ لاَ تُقْتَلُ»
“Ibnu an-Nawahah dan Ibnu Utsal dua orang utusan Musailamah datang kepada Nabi saw., maka Beliau bersabda kepada keduanya: “apakah kalian bersaksi bahwa aku adalah rasulullah?” Keduanya berkata: “kami bersaksi bahwa Musailamah adalah rasulullah”.

Maka Nabi saw bersabda; “aku beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, seandainya aku boleh membunuh utusan niscaya aku bunuh kaliamn berdua”. Abdullah berkata: “dia berkata: “maka berlaku as-sunnah bahwa para utusan itu tidak boleh dibunuh” (HR Ahmad dan dinilai hasan oleh al-Haytsami). Jelas dari hadis ini bahwa pembicaraan itu adalah seputar dua orang utusan yang diutus oleh Musailamah al-kadzdzab untuk sekali saja.

2- Adapun terkait permintaan Anda penjelasan seputar hukuman terhadap duta dan utusan maka jawabannya ada di penjelasan Pasal 7 ayat e di Muqaddimah ad-Dustûr, berikut teksnya: [Dan adapun ayat e maka berkaitan dengan penerapan semua hukum Islam, dalilnya adalah apa yang sudah dijelaskan bahwa orang kafir dibebani dengan pokok (al-ushûl) dan juga dibebani dengan cabang (al-furû’) dan dituntut dengan semua hukum Islam.

Dan ini bersifat umum mencakup kafir dzimmi dan selain kafir dzimmi, orang yang hidup di bawah kekuasaan Islam. Semua orang kafir yang masuk ke Dar al-Islam baik mereka dzimmi, mu’ahad atau musta’min, wajib diterapkan atas mereka hukum-hukum Islam, kecuali akidah dan semua perbuatan yang dinilai bagian dari akidah, dan semua perbuatan yang disetujui oleh Rasul saw atasnya. Hanya saja, dikecualikan dari hal itu duta dan orang yang termasuk duta.

Hukum-hukum sanksi tidak diterapkan terhadap mereka. Mereka diberi apa yang disebut kekebalan diplomatik. Hal itu karena apa yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dari Ibnu Mas’ud ra., ia berkata:
«جَاءَ ابْنُ النَّوَّاحَةِ وَابْنُ أُثَالٍ، رَسُولاَ مُسَيْلِمَةَ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ، فَقَالَ لَهُمَا: أَتَشْهَدَانِ أَنِّي رَسُولُ اللَّهِ؟ قَالاَ: نَشْهَدُ أَنَّ مُسَيْلِمَةَ رَسُولُ اللَّهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: آمَنْتُ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ، لَوْ كُنْتُ قَاتِلاً رَسُولاً لَقَتَلْتُكُمَا، قَالَ عَبْدُ اللَّهِ: قَالَ: فَمَضَتِ السُّنَّةُ أَنَّ الرُّسُلَ لاَ تُقْتَلُ»
“Ibnu an-Nawahah dan Ibnu Utsal dua orang utusan Musailamah datang kepada Nabi saw, maka Beliau bersabda kepada keduanya: “apakah kalian bersaksi bahwa aku adalah rasulullah?” Keduanya berkata: “kami bersaksi bahwa Musailamah adalah rasulullah”.

Maka Nabi saw bersabda; “aku beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, seandainya aku boleh membunuh utusan niscaya aku bunuh kaliamn berdua”. Abdullah berkata: “dia berkata: “maka berlaku as-sunnah bahwa para utusan itu tidak boleh dibunuh” (HR Ahmad dan dinilai hasan oleh al-Haytsami). Hadis ini menunjukkan diharamkannya membunuh duta yang datang dari orang-orang kafir, dan semisal pembunuhan itu adalah seluruh sanksi. Hanya saja, ini untuk orang yang padanya berlaku sifat duta, seperti duta, dan pelaksana tugas dan orang yang sejenisnya. Adapun orang yang padanya tidak berlaku sifat duta seperti konsul, wakil dagang dan semacamnya maka dia tidak memilki kekebalan semisal duta, karena padanya tidak berlaku sifat duta.

Dan dalam hal itu merujuk kepada konvensi (‘urf) internasional sebab itu merupakan lafal istilahi yang dalam mengetahui realitanya merujuk kepada urf dan itu bagian dari bab tahqîq al-manâth, yani mengetahui apakah ini dinilai termasuk duta atau tidak], selesai kutipan dari buku Muqaddimah ad-Dustûr. Jadi tidak dijatuhkannya hukuman bunuh dan semua hukuman itu berlaku terhadap duta permanen dan duta serta utusan temporer selama realita ar-rasûl (duta/utusan) terpenuhi pada keduanya. Tidak ada perbedaan dalam topik tidak dijatuhkannya hukuman di antara duta permanen dan duta temporer, karena keduanya adalah duta dan terhadapnya berlaku hukum-hukum duta dalam masalah sanksi.

Adapun tentang bagian terakhir dari pertanyaan Anda: “dan apakah jika salah seorang dari duta itu melakukan tindakan kriminal atau melakukan tindakan ilegal di luar wewenangnya sebagai duta, apakah dia akan diadili dan dihukum oleh al-Khilafah?

Atau duta yang temporer dan duta permanen diperlakukan berbeda dalam masalah ini?”. Sungguh kami belum merinci realita sanksi-sanksi yang masuk dalam kekebalan dan sanksi-sanksi yang tidak masuk. Dan kami akan merinci ini dalam peraturan pelaksanaan untuk pasal-pasal konstitusi yang kami mulai, dan kami memohon pertolongan Allah dalam menyempurnakan itu dalam waktu yang tepat, insya’a Allah.

Saya berharap dalam hal itu ada kecukupan, wallâh a’lam wa ahkam.

Saudaramu

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
06 Shafar 1445 H
22 Agustus 2023 M

Hukum Wanita yang Keluar ke Medan Pertempuran Dan Hubungan Daulah Islamiyah dengan Negara-negara Muhariban Fi’lan

Hukum Wanita yang Keluar ke Medan Pertempuran Dan Hubungan Daulah Islamiyah dengan Negara-negara Muhariban Fi’lan

Tsaqofatuna.id Pertanyaan: Assalamu ‘alaikum, Dalam diskusi antara saya dengan salah seorang syabab, kami berbeda pendapat tentang topik wanita di dalam perang, apakah diberlakukan pada mereka hukum wanita yang keluar ke medan perang untuk menyemangati pasukan atau diberlakukan atas mereka hukum tawanan, perlu diketahui bahwa diantara mereka hari ini ada yang berperang sebagaimana laki-laki, menyandang senjata dan menjadi pilot tempur, penembak dan angkatan laut …

1. Di Masyrû’ ad-Dustûr Dawlah al-Khilâfah pada pasal 188 ayat 4 dinyatakan sebagai berikut: “ … negara-negara muhariban fi’lan seperti Israel misalnya, wajib dengannya diambil kondisi perang sebagai asas untuk semua tindakan dan perlakuan seolah-olah kita dan mereka sedang dalam perang riil baik diantara kita dengan mereka ada gencatan senjata atau tidak, dan seluruh rakyatnya dilarang masuk ke negeri …”. Saya merujuk ke Muqaddimah ad-Dustûr dan saya tidak menemukan perincian pasal ini yakni empat ayatnya. Pertanyaannya apakah daulah al-Khilafah boleh mengikat gencatan senjata dengan negara Yahudi sementara negara Yahudi itu mencaplok wilayah daulah al-khilafah …

Jawaban:
Wa ‘alaikum as-salam wa rahmatullah wa barakatuhu. Pertama, benar, hukum terkait wanita yang keluar ke medan pertempuran, baik apakah untuk menyemangati tentara atau untuk berperang bersama tentara, hukumnya adalah sama. Namun wanita yang keluar ke medan pertempuran untuk menyemangati tentara tidak boleh dibunuh. Sedangkan wanita yang berperang maka boleh dibunuh. Hal itu seperti yang ada di dalam hadits Muttafaq ‘alayh dari nafi’, bahwa Abdullah ra. Telah memberitahunya:

أَنَّ امْرَأَةً وُجِدَتْ فِي بَعْضِ مَغَازِي النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَقْتُولَةً، «فَأَنْكَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَتْلَ النِّسَاءِ وَالصِّبْيَانِ»
bahwa seorang wanita ditemukan di beberapa peperangan Nabi saw terbunuh. Maka Rasulullah saw mengingkari pembunuhan wanita dan anak-anak. Demikian juga apa yang dikeluarkan oleh Abu Dawud di dalam hadits shahih dari Umar bin al-Muraqqa’ bin Shayfiy bin Rabah, ia berkata: telah menceritakan kepadaku bapakku, dari kakeknya Rabah bin Rabi’, ia berkata:
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزْوَةٍ فَرَأَى النَّاسَ مُجْتَمِعِينَ عَلَى شَيْءٍ فَبَعَثَ رَجُلًا، فَقَالَ: «انْظُرْ عَلَامَ اجْتَمَعَ هَؤُلَاءِ؟» فَجَاءَ فَقَالَ: عَلَى امْرَأَةٍ قَتِيلٍ. فَقَالَ: «مَا كَانَتْ هَذِهِ لِتُقَاتِلَ»
kami bersama Rasulullah saw dalam peperangan lalu beliau melihat orang-orang berkumpul atas sesuatu maka beliau mengutus seorang laki-laki dan berkata: “lihatlah atas apa mereka berkumpul?” Maka laki-laki itu datang dan berkata: “atas seorang wanita yang terbunuh”. Maka Rasulullah saw bersabda: “selama wanita ini berperang”.

Mafhumnya seandainya ia berperang maka boleh ia dibunuh. Ini adalah perbedaannya. Adapun hukum-hukum selain itu maka tidak ada perbedaan antara orang yang keluar ke medan pertempuran untuk meyemangati tentara atau untuk berperang bersama mereka. Ini semua jika wanita keluar ke medan pertempuran. Adapun jika wanita itu tetap berada di dalam rumahnya tanpa keluar ke medan pertempuran maka tidak ada apa-apa atas mereka.

Dan di dalam seluruh kondisi maka penerapan hukum-hukum syara’ atas para wanita tiu kembali kepada khalifah, bukan kembali kepada komandan medan. Khalifah bertindak mengikuti politik perang yang diharuskan dalam memperlakukan musuh. Itu adalah muamalah diantara muamalah perang yang masalahnya diserahkan kepada khalifah.

Khalifah boleh bertindak sesuai pendapatnya dan apa yang diharuskan oleh sikap terkait musuh sesuai hukum-hukum syara’. Sedangkan hukum tawanan perang maka itu berlaku atas laki-laki yang berperang. Sebab kata asîr jika dimutlakkan maka kembali kepada laki-laki yang berperang. Dan hukum tawanan perang sudah dijelaskan di dalam surat Muhammad saw:
فَإِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا فَضَرْبَ الرِّقَابِ حَتَّى إِذَا أَثْخَنْتُمُوهُمْ فَشُدُّوا الْوَثَاقَ فَإِمَّا مَنًّا بَعْدُ وَإِمَّا فِدَاءً حَتَّى تَضَعَ الْحَرْبُ أَوْزَارَهَا ذَلِكَ وَلَوْ يَشَاءُ اللَّهُ لَانْتَصَرَ مِنْهُمْ وَلَكِنْ لِيَبْلُوَ بَعْضَكُمْ بِبَعْضٍ وَالَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَلَنْ يُضِلَّ أَعْمَالَهُمْ

Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir. Demikianlah apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain. Dan orang-orang yang syahid pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka. (TQS Muhammad [47]: 4)

Yakni adakalanya dibebaskan “manan” dan adakalanya tebusan mereka dengan harta atau dengan tawanan semisal mereka dari kaum Muslimin atau ahu adz-dzimmah, dan tidak boleh selain itu.

Kedua, hubungan Daulah Islamiyah dengan negara-negara muhariban fi’lan:
1. Tampaknya Anda masih merujuk kepada cetakan lama dari Muqaddimah dimana Anda sebutkan bahwa pasal itu yaitu pasal 188. Perlu diketahui pasal itu di cetakan muktamadah yang dikeluarkan tahun 1431 H – 2010 M nomor pasalnya pasal 189. Dan masalah yang lain, pada cetakan lama pasal tersebut tidak dirinci. Dan yang saya maksudkan adalah topik gencatan senjata dalam kondisi perang riil. Sedangkan di cetakan muktamadah yang baru, topik itu telah dirinci.

Kami jelaskan di situ bahwa gencatan senjata permanen tidak boleh sebab itu mengabaikan jihad. Sedangkan gencatan senjata temporer maka boleh diikat dengan negara-negara kafir yang entitasnya tegak di wilayahnya yang belum ditaklukkan oleh kaum Muslimin sama sekali. Dalilnya adalah perjanjian Huadibiyah dengan Quraisy yang berada di wilayah yang belum ditaklukkan oleh kaum Muslimin.

Adapun entitas yang tegak di atas wilayah islami yang diduduki, maka tidak boleh mengikat perjanjian damai dengannya baik permanen atau temporer. Terhadapnya tidak diberlakukan perjanjian Hudaibiyah dengan Quraisy sebab faktanya berbeda. Quraisy itu entitasnya tegak di wilayah milik Quraisy yang belum ditaklukkan oleh kaum Muslimin. Sedangkan negara yahudi maka entitasnya tegak di wilayah yang dirampasnya dari kaum Muslimin. Jadi faktanya berbeda sehingga tidak diterapkan atas entitas ini perjanjian Hudaibiyah.

Akan tetapi wajib diteruskan kondisi perang riil sedang terjadi dengannya, baik apakah di sana ada gencatan senjata yang diikat oleh para penguasa yang tidak syar’iy di negeri-negeri kaum Muslimin ataukah tidak. Hal itu hingga entitas perampas itu dilenyapkan dan wilayah yang dirampasnya dikembalikan kepada pemiliknya.
وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ
dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (TQS al-Baqarah [2]: 191)

Hal itu karena gencatan senjata dengan entitas Yahudi perampas berarti pengakuan terhadapnya, yaitu pemberian konsesi kepadanya dari wilayah yang dirampasnya. Dan ini secara syar’iy tidak boleh, akan tetapi itu merupakan kejahatan besar yang dosanya akan memberatkan orang yang melakukannya. Dan topik tersebut tela dirinci dengan lengkap di Muqaddimah.

Saudaramu

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
16 Sya’ban 1434
25 Juni 2013