Tampilkan postingan dengan label Berita Internasional. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Berita Internasional. Tampilkan semua postingan

Amerika Serikat Tidak Menginginkan Yaman Dekat Dengan Inggris

Amerika Serikat Tidak Menginginkan Yaman Dekat Dengan Inggris

Tsaqofatuna.id - Menanggapi petarungan dua negara besar AS dan Inggris di Yaman, Direktur Indonesia Justice Monitor Agung Wisnuwardana menyatakan bahwa Amerika Serikat tidak menginginkan Yaman didekati oleh Inggris.

"Yaman lebih dekat kepada Inggris dan Amerika Serikat tidak menginginkan Yaman yang strategis itu dekat dengan Inggris, maka yang dilakukan AS adalah menimbulkan konflik di Yaman,“ ujarnya di Kanal Youtube Justice Monitor, AS vs Houthi: Serangan Nyata atau Sandiwara, Senin (15/1/24).

Ia melanjutkan, dengan memunculkan konflik menggunakan milisi Houthi. Kerjasama Houthi dan AS terlihat juga saat menurunkan militer dari udara di kawasan yang dikendalikan oleh Houthi dengan alasan mengejar terorisme dan juga adanya pernyataan duta besar AS akan kerja sama politik dan militer dengan sebuah kelompok (Houthi).

"Disisi yang lain AS membangun hubungan kemitraan dengan Houthi, duta besar AS untuk Yaman membenarkan kerjasama negaranya dengan kelompok Houthi ini dan keberadaan Amerika masih beroperasi di Sana'an," bebernya.

Maka oleh karena itu, lanjutnya, adanya sebuah kejanggalan saat AS dan Inggris beserta beberapa negara Barat termasuk Bahrain mengempur sejumlah tempat kelompok Houthi. Catatan pada tahun-tahun sebelumnya, milisi Houthi berhasil merebut Aden (Pelabuhan Internasional di Yaman yang menjadi lintasan Laut Merah, Terusan Suez dan Laut Tengah Mediterania) yang menjadi jalur sibuk pelayaran.

“AS tidak memukul sangat keras atas tindakan Houthi ini, padahal AS memiliki sistem kendali atas kawasan-kawasan serta jalur dan juga kendali militer disejumlah titik-titik strategis seperti selat Hormuz, Bab Al-Mandeb, selat Mulaka, pengawasan di Terusan Suez, Selat Turki, dan lain-lain.,” pungkassnya.[] Lukman Indra Bayu

Mesir Melarang Niqab di Sekolah, Hanya Pengalihan Isu

Mesir Melarang Niqab di Sekolah, Hanya Pengalihan Isu

Tsaqofatuna.id- Mesir melarang penggunaan niqab atau cadar di sekolah. Aturan ini mulai resmi berlaku per 30 September mendatang saat tahun ajaran baru dimulai.

Kontan aturan ini mengundang beragam respons dari masyarakat Mesir. Sebab, 90 persen lebih populasi Mesir merupakan umat Muslim.

Sebagian masyarakat menolak larangan ini, sementara yang lainnya mendukung aturan baru ini. Masyarakat yang menolak aturan ini menganggap larangan niqab melanggar kebebasan beragama dan kebebasan sipil yang dijamin oleh konstitusi Mesir. Mereka menegaskan pemerintah tidak boleh mendikte pilihan pakaian keagamaan seseorang.

Sementara itu, masyarakat yang mendukung aturan ini menganggap penggunaan niqab mengaburkan proses pendidikan yang seharusnya “transparan”.

Jadi apa alasan Mesir melarang penggunaan niqab dan cadar di sekolah?

Dikutip Wion, Menteri Pendidikan Mesir Reda Hegazy mengatakan larangan ini bertujuan untuk mencapai keseimbangan antara masalah agama dan menjaga lingkungan pendidikan yang jelas.

Hegazy menegaskan perempuan tetap boleh menggunakan hijab dan kerudung di sekolah, namun tidak boleh menutupi wajah dengan cara apa pun.

Larangan niqab sebenarnya bukan hal yang baru di Mesir. Berbagai lembaga publik dan swasta di Mesir telah menerapkan larangan penggunaan niqab dan cadar sejak lama.

Universitas Kairo bahkan telah menerapkan larangan penggunaan niqab bagi para staf dan pengajar sejak 2015. Aturan itu bahkan dikukuhkan oleh Pengadilan Mesir pada 2020 (www.cnnindonesia.com, 13/9/2023).

Proposal larangan niqab yang diajukan di parlemen Mesir dalam beberapa tahun terakhir ditarik atau ditolak. Padalah pemerintah Mesir telah membuat negaranya terpuruk dengan proyek-proyek sia-sia dan pinjaman yang justru memperburuk perekonomian dibandingkan memperbaiki keadaan. Jadi, dalam konteks ini, maka fokus pada niqab merupakan pembelokan dari permasalahan nyata yang tengah menghantui negara ini. Artinya, apa yang dilakukan oleh pemerintahan Mesir terkait larangan niqab hanya pengalihan isu saja dari masalah utama. [] Muhammad Bajuri

Hukuman Mati Pertama di Dunia untuk Postingan di Media Sosial

Hukuman Mati Pertama di Dunia untuk Postingan di Media Sosial

Tsaqofatuna.id Pada tanggal 10 Juli 2023, Pengadilan Kriminal Khusus, pengadilan kontraterorisme Arab Saudi, memvonis Muhammad al-Ghamdi, 54, seorang pensiunan guru Saudi, atas beberapa pelanggaran pidana yang hanya terkait dengan ekspresi damainya secara online. Pengadilan menjatuhkan hukuman mati padanya, menggunakan tweet, retweet, dan aktivitas YouTube-nya sebagai bukti yang memberatkannya. Keputusan tersebut mungkin merupakan hukuman mati pertama bagi postingan di media sosial.

Menurut dokumen pengadilan, dakwaan yang dikenakan terhadap pensiunan guru tersebut termasuk “mengkhianati agamanya,” “mengganggu keamanan masyarakat,” “berkonspirasi melawan pemerintah,” “menyalahkan kerajaan dan putra mahkota” dan menyebarkan berita palsu “dengan tujuan melakukan kejahatan teroris”.

Saudara laki-laki Muhammad, Saied al-Ghamdi, men-tweet bahwa hukuman yang dijatuhkan kepada saudaranya mungkin merupakan upaya “untuk membuat saya kesal secara pribadi setelah upaya yang gagal untuk mengembalikan saya ke negara ini”. Saied, seorang cendekiawan Islam, tinggal di pengasingan di London dan dicari oleh otoritas Saudi.

Arab Saudi telah menggunakan penangkapan anggota keluarga di masa lalu sebagai cara untuk menekan mereka yang berada di luar negeri agar kembali ke negaranya, kata para aktivis dan mereka yang menjadi sasaran di masa lalu.

Hukuman tersebut langsung menuai kritik dari kelompok hak asasi internasional. “Penindasan di Arab Saudi telah mencapai tahap baru yang mengerikan ketika pengadilan dapat menjatuhkan hukuman mati hanya untuk tweet yang bersifat damai,” kata Joey Shea, peneliti di Human Rights Watch.

Arab Saudi adalah salah satu negara yang paling banyak melakukan eksekusi hukuman mati di dunia, setelah Tiongkok dan Iran pada tahun 2022, menurut Amnesty International.

Jumlah orang yang dieksekusi di Arab Saudi tahun lalu – 196 narapidana – merupakan jumlah tertinggi yang dicatat oleh Amnesty dalam 30 tahun terakhir. Dalam satu hari saja pada bulan Maret lalu, kerajaan tersebut mengeksekusi 81 orang, eksekusi massal terbesar yang diketahui dilakukan di kerajaan tersebut dalam sejarah modernnya.

Namun, kasus al-Ghamdi tampaknya menjadi kasus pertama dalam tindakan keras yang menerapkan hukuman mati terhadap seseorang karena perilaku online mereka di media sosial. [] Muhammad Bajuri